Livskamp

Andhika Rivani
Chapter #4

Small Step For A New Beginning

Malam itu cerah, tidak seperti pagi hingga sore hari yang diselimuti oleh awan mendung dan hujan tipis. Malam itu langit seolah membuka tirainya.dan menunjukkan kekayaan semestanya. 

Aku terduduk di teras kosku, memandangi masa lalu, ah maksudku memandangi bintang. Baru dua hari berselang, tapi entah kenapa aku sangat menunggu saat kembali ke kelas Bahasa isyarat. 

Entah apa yang sebenarnya aku tunggu. Apakah kelas itu ataukah Kirana. entahlah apa yang aku rasakan sejak sore itu menjadi bias. Apakah aku menciptakan sebuah escape room-ku yang lain, atau apakah sebuah obrolan singkat dengan Kirana telah membawaku ke sesuatu yang lain. 

Entahlah.

Kata orang-orang, seseorang yang baru saja patah hati akan berusaha secepat mungkin untuk mencari pelariannya. Dan bagiku yang merupakan spesialis dari bidang melarikan diri dari masalah ini, mungkin akan lebih cepat pula dalam mencari pelariannya.

Aku sendiri masih merasa bias, apakah sebuah obrolan kecil di ruang depan itu membawaku pada sebuah rasa? Yah aku memang kagum pada Kirana, namun aku kan baru pertama kali bertemu dengannya. 

Ah sudahlah…….. 

Mungkin aku hanya sedang terbawa dalam sisi sentimentilku sendiri dan aku rasa biarlah nanti semesta yang akan menyiapkan tulisan takdir hidupku, biar aku yang menjalaninya saja.

Malam itu aku cukup telat datang ke Bergen. Entahlah aku tak terlalu bersemangat untuk manggung hari ini. Kemarin malam juga aku tidak datang ke Bergen, entahlah mungkin aku masih malas bertemu Tania.

Aku sendiri tak tahu kenapa harus sampai seperti ini, bukankah aku sendiri juga selalu menepis perasaanku padanya? Tapi kenapa kejadian di kelas Bahasa isyarat kemarin cukup membuatku hilang semangat untuk bertemu dengannya lagi? 

Ah masa bodoh…..

Suara vokal Tania mengalun menyelimuti seluruh ruangan Bergen saat aku berjalan masuk. Yah, sudahlah, sekarang aku memulai hari yang baru, lupakan saja yang kemarin, toh tak akan ada pengaruhnya juga dengan hidupku.

“Haloo Mr. Escapologist, sudah puas nyepi seharian di kos?” Sapa Bella begitu dia melihatku.

Better luck next time ya De, haha….” Rian langsung menyahut dan cekikikan.

Aku melihat ke arah Bella dan langsung tahu kalau dia pasti sumber dari menyebarnya cerita ini. “Dasar mulut ember," celetuku.

“Udahlan bro, cewek juga bukan cuma Tania kok. Tapi kaget juga sih, Tania gak pernah cerita ke gue kalau dia udah balikan sama Ucup,” Gary menyambung pembicaraan ini. “Toh sepertinya dia memang sejak awal punya dunianya sendiri, aku yakin dia juga gak akan selamanya di Bergen,” lanjutnya.

“Kamu ini kenapa gak jadian aja sih sama Bella? Dari awal kuliah perasaan bareng mulu,” Rian mencoba memberikan saran yang sama sekali tidak ada dalam opsi kehidupanku.

“Lah tipe kaya aku sih gak cocok buat mas Alde, dia mah harus yang secantik Isyana tuh baru radarnya gerak. Seleranya tinggi!” Dengan santainya Bella menjawab.

“Koreksi, aku enggak lihat fisik sampai segitunya ya. Tapi memang sih kalau dia sama sekali gak masuk hitungan. Bisa mimpi buruk tiap hari aku kalau pacaran sama dia," jawabku sambil menatap ke arah Bella.

“Lagian kalian gak tau sih, udah ada inceran baru tuh dia," Bella tersenyum licik ke arahku.

Sial…. dia melakukannya lagi…

“Bell, udah cukup deh, tukang bikin isu emang nih anak,” aku cepat-cepat menyetop alur pembicaraannya agar tak semakin meracau.

“Waaaahhhhh kenalin dong? Mana? Mana?” Rian langsung heboh menatapku dan Bella.

“Gak ada, percaya amat sama dia sih," aku berusaha menyanggah lagi.

“Udah-udah… kalau emang udah ada, berarti gak ada alasan lagi lo gak main. Udah habis ini lo naik De, bareng Bella,” Gary memotong kehebohan Rian.

Aku mengambil gitar milik Rian yang ada di dekat kami duduk. mengalunkan lirih nada dalam setiap senar yang dipetik. Suara lirih dari gitarku tertelan sepenuhnya oleh musik dari atas panggung, tapi aku masih dapat merasakannya. 

Yah, memang sudah saatnya memantapkan hati. Sudah saatnya kembali lagi bermusik, lupakan semua hal yang mengganggu pikiran, hanya aku dan duniaku.

Aku menengadah menatap Bella dengan mantap, raut wajahku sudah tak menunjukkan kekecewaan lagi, sudah saatnya aku melangkah maju. 

“Bell, Kings of Convenience, Me in You, Ok?” Tawarku kepada Bella yang dilanjutkan dengan tanda setuju dari anggukannya.

Kami menaiki panggung, alunan nada gitar yang aku petik mulai menggaung di tiap sudut Bergen. Membawaku tenggelam dalam tenangnya arus nada, bagaikan terbawa aliran air di sepanjang Fyord di Geirangerfjord, tenang dan damai.

…………………………………………..

Crossroads and given the option

To pass and look back at goals I’ve missed

Rainbows or burning bridges

Lihat selengkapnya