Sudah empat bulan ini aku rutin datang ke kelas Bahasa isyarat. Rasanya seperti mendapat tempat singgah kedua setelah Bergen. Aku jadi semakin mengenal anak-anak komunitas CDC yang lain selain Kirana, dan yang membuat aku kagum, mereka banyak yang berprestasi.
Ada Randy yang lulusan sekolah Seni, karyanya pernah dipajang di pameran Seni lukis ternama di Jakarta. Ada juga Stefy yang ternyata lulusan dari Le Cordon Blue, sebuah Cullinary school ternama di London, dan dia sekarang memiliki usaha Cakery online yang dijalankannya sendiri. Ada juga Ray yang jago sekali fotografi, hasil fotonya pernah terpajang di salah satu majalah fotografi ternama. Dan satu lagi yang paling aku kagumi, seseorang yang menyelesaikan studinya di Malaysia dan kini menjadi pengajar favoritku, Kirana.
Well, empat bulan rutin datang ke sini aku juga punya nama isyarat. Ya, nama isyarat. Dalam komunitas tuli, mereka akan memanggil orang dengan nama isyarat, biasanya nama isyarat diberikan dengan tanda isyarat inisial nama ditambah dengan ciri-ciri tubuh ataupun hobi yang bersangkutan. Nama isyaratku sendiri terdiri dari huruf isyarat A dan L yang disimbolkan dengan gerakan naik turun seperti menggenjreng gitar. Menarik.
Dan, tahu sendiri kan siapa yang memberiku nama isyarat ini, tentu saja Kirana! Ini seperti kebanggaan sendiri bagiku, diberi nama isyarat oleh orang yang aku kagumi.
Di sini juga aku mengetahui, bahwa Bahasa isyarat yang berkembang di dunia ada berbagai macam jenis. Di Indonesia sendiri yang paling sering dijumpai adalah penggunaan Bahasa isyarat BISINDO dan adopsi dari American Sign Language (ASL). Perbedaannya sendiri ada pada pelafalan huruf alphabetnya, ASL kebanyakan menggunakan satu tangan, sedangkan BISINDO menggunakan dua tangan. Ada lagi Bahasa isyarat SIBI (Sistem Bahasa Isyarat Indonesia), yang dianggap sebagai sistem tatacara Bahasa isyarat Indonesia yang resmi dan yang diperkenalkan di Sekolah Luar Biasa.
Asal kamu tahu saja ya, belajar Bahasa isyarat sampai bisa berkomunikasi spontan itu sangat susah. namun entah kenapa aku tidak merasa bosan menjalaninya, tidak seperti aku yang mudah menyerah saat mendapat sesuatu hal yang sulit dulu. Entahlah, apakah aku mulai berubah?
Awalnya aku selalu berangkat bersama Bella, namun seiring waktu aku sudah memberanikan diri untuk datang sendiri ke CDC. Dan, sore ini entah sudah ke berapa kalinya aku menginjakkan kaki ke rumah ini.
“Hi.. I’m home..” aku mengetikkan kalimat itu di whatsapp-ku.
“Masuk aja, aku di tempat biasa," Kirana membalas pesanku.
Kami sudah tidak perlu saling mengetik di notes hp lagi sekarang, aku sudah memberanikan diri untuk meminta kontak Kirana, dan, yah beginilah kami sekarang, sudah mulai rajin bertukar pesan.
Setelah mulai mengenal Kirana, rasa kagumku padanya mulai bertambah. Awalnya aku hanya tahu dia lulusan salah satu Universitas di Malaysia, namun setelah aku tahu lebih banyak tentangnya aku semakin kagum. Dia yang rajin menyuarakan ide-ide baru untuk komunitas Tuli, termasuk yang sedang diperjuangkannya saat ini, agar diadakannya interpreter Bahasa isyarat atau setidaknya subtitle Bahasa Indonesia yang bisa dibaca untuk program televisi ataupun film-film Indobnesia.
Kirana sosok yang tekun, fokus pada tujuannya dan tidak mudah menyerah. Walaupun dia memiliki keterbatasan yang lebih dibanding orang-orang pada umumnya, namun dia tidak pernah menjadikan itu suatu alasan untuk berpangku tangan. Sangat bertolak belakang denganku hahaha….
“Datang juga hari ini kamu hehe… Tapi aku hari ini gak ngajar lho," Ketik pesan Kirana saat dia melihatku mendekatinya.
“Gak apa-apa, kamu sibuk ya, persiapan besok lusa mau audiensi ke KPI?” Tanyaku. Minggu ini Kirana dan beberapa kawan CDC memang ada agenda besar untuk audiensi dengan KPI terkait usul untuk adanya interpreter di program televisi.
“Iya, nih, mau buat bahan presentasi yang oke hehe…” Jawab Kirana. Wajah lelah terlihat di mimik mukanya, mungkin dia benar-benar sibuk mempersiapkan ini.
“Oke kalau begitu, istirahat dulu, kita ngobrol sebentar pakai Bahasa isyarat. Kan kamu yang harus ajari aku,” kataku agak memaksa, aku sebenarnya hanya ingin Kirana terlepas sebentar dari laptopnya, kasihan juga aku melihat kantong mata menggantung di wajahnya.
“Haha… kamu mau mecahin fokus aku ya?” Jawab Kirana.
“Iya betul, dan aku juga mau memberi kamu waktu untuk makan roll daging ini,” ucapku seraya mengeluarkan bungkusan berisi roti roll daging dari bakery kesukaan Kirana yang sengaja aku beli sebelum berangkat ke sini tadi.