Sore itu aku kembali ke kelas bahasa isyarat. Kirana seperti biasa duduk di sudut ruangan samping etalase souvenir. Dia selalu di situ, katanya itu sudut favoritnya di basecamp CDC.
“Bagaimana?” Tanya Kirana segera setelah melihaku. Matanya berbinar menunjukkan kecemasan dan rasa ingin tahu, rasa penuh harap.
Aku mengeluarkan hp-ku, membuka galeri foto dan menunjukkan foto lembar penilaian. Di lembar penilaian itu tertulis namaku dan tulisan “LULUS” dengan nilai “B+”.
“Serius??? Akhirnya!!” Kirana tidak mengatakan apapun, namun kata-kata itu yang aku tangkap dari ekspresinya.
Entah karena kegirangan dan meluapkan emosinya, Kirana mendadak berdiri dan memelukku.
DEG…..
Duniaku serasa berhenti. Jantungku terasa berdegup sangat cepat. Aku tak bisa berkata-kata sebelum akhirnya tanganku membalas mendekapnya. Aku tak perduli orang-orang melihat kami. Waktu serasa berhenti bagiku, dan perasaan berdebar mulai berubah menjadi perasaan damai yang belum pernah aku rasakan. Tuhan…. Bisakah aku hentikan waktu saat ini? Di momen ini?
Kirana seakan tersadar kemudian melepaskan pelukannya dariku. Ekspresi wajahnya masih menunjukkan rasa gembira. Entah mengapa aku merasa dia bahkan lebih bahagia dibandingkan aku sendiri.
“Maaf… aku terlalu senang mendengar kabar ini," ucapnya dengan bahasa isyarat.
“Iya, gak apa-apa aku juga kaget," jawabku
“Wow…. Beneran lho kamu lulus?! akhirnya!” Ucap Kirana lagi masih dengan ekspresi kegirangan.
“Ya, dan kamu orang pertama yang tahu setelah orangtuaku. Aku langsung ke sini lho, Almamater aja masih aku bawa," uarku sambil menunjukkan jas almamater yang terlipat di dalam tasku.
“Makasih banyak buat dukungannya, kalau bukan karena kamu, mungkin aku masih terjebak dalam pelarianku. Dan mungkin skripsiku masih menjadi fosil di laci bawah meja belajarku. Terimakasih," hanya ucapan itu yang bisa terucap di mulutku. Namun, lebih dari itu, banyak hal yang tak cukup aku ungkapkan dengan kata-kata untuknya. Dia yang merubahku, dia yang menjadi katalis penggerak roda perjuanganku, dari dia aku belajar apa itu perjuangan hidup, dan apa yang bisa aku lakukan, tidak hanya berpangku tangan.
“Sama-sama. Semua itu juga gara-gara kamu sendiri kok. Kan kita gak akan bisa merubah orang, kecuali orang itu mau berubah dengan sendirinya," Kirana merendah.
“Oh ya, gimana perkembangan masalah program interpreter di Tv itu? sudah ada perkembangan?” Tanyaku tiba-tiba teringat program dari Kirana yang dijawab dengan gelengan kepalanya.
Empat bulan lalu, Kirana bersama beberapa anggota CDC dan komunitas Tuli lain, serta wartawan peduli difabel melakukan audiensi dengan KPI. Hasilnya cukup bagus, sekitar dua bulan lalu program ini menuai kesuksesan kecilnya. Intepreter sudah kembali hadir dengan Bahasa isyaratnya di beberapa program penting, seperti program berita, dan beberapa talkshow.
Namun, itu belum sepenuhnya berhasil. mengingat masih ada beberapa hal yang ingin mereka capai, yakni acara televisi secara menyeluruh dan subtitle di film Indonesia yang tayang di bioskop. Ini yang masih coba diperjuangkan oleh Kirana dan kawan-kawannya, namun masih belum berhasil juga sampai saat ini.
“Emmm.. oke kita lupakan dulu masalah itu. Berhubung aku sudah ada di sini dan sore ini kita tidak ada jadwal kelas Bahasa isyarat, bagaimana kalau kita jalan-jalan saja?” Ajakku mencoba menghibur.
“Bolehh yuk. Kebetulan ada tempat yang ingin aku coba datangi, hihi…” Pinta Kirana.
“Dimana?” Tanyaku penasaran.
“Ke café tempat kamu biasa manggung. Yuk?” Aku agak kaget saat mendengar permintaan Kirana. Aku bukanya tidak mau mengajaknya ke Bergen, tapi agak sensitif juga mengajaknya ke café dengan live music sementara dia sendiri tidak bisa mendengar.
“Gimana?” Tanya Kirana lagi melihatku belum memberi jawaban.
“Oh.. Oke. Yuk. Mau sekarang kah?” Tanyaku agak ragu menjawab pertanyaan Kirana.
“Kamu kepikiran ya karena kondisi aku?” Sekali lagi sepertinya dia selalu bisa dengan tepat membaca pikiranku.
Aku tidak menjawab. Aku juga tidak tahu mau menjawab seperti apa. Antara mau mengangguk atau menggelengkan kepalaku sepertinya dua-duanya ada kemungkinan untuk membuatnya tersinggung.
“Tenang aja, gak usah dipikirin. Aku kok yang pingin lihat kamu manggung. Walau tidak bisa dengar suara kamu, tapi aku bisa lihat kamu dan rasakan getaran dari musik yang kamu mainkan,” Kirana memberi jawaban sendiri tanpa menungguku memberi jawaban.
“Dan lagi udah lama aku gak ketemu Bella sama Tania, kangen juga sama mereka," tambahnya lagi.
Wow… aku terkadang bingung saat berkomunikasi dengan Kirana. Di satu waktu dia bisa melemparkan pertanyaan yang tidak bisa aku jawab, namun di waktu yang sama dia juga bisa meredakan kebingunganku dengan jawaban darinya sendiri. Sungguh wanita yang unik.
“Jadi? Kita berangkat sekarang?” Tanya Kirana lagi.
“Ayo," jawabku singkat tanpa perlu merasa bingung lagi.
Suara musik terdengar dari luar Bergen saat aku dan Kirana sampai di sana. Kami memang sempat mampir makan dulu tadi, sehingga sampai Bergen sudah agak gelap. Suara vokal Lisa yang kuat langsung menyambut kami dari depan pintu masuk Bergen.
“Bergen? Nama café yang unik," kata Tania begitu membaca papan nama café.
“Ya, Bergen. Diambil dari nama salah satu kota di Norwegia. Temanku suka sekali kota itu, jadi dia namai café ini Bergen," jelasku.
“Wow.. Norwegia? Menarik. Kamu juga suka segala sesuatu tentang Norwegia? Kotanya bagus? Pernah ke sana?” Kirana memberondongku dengan pertanyaanya.