Jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga sore, Kirana nampak terlihat gelisah melihat jam tangannya. Sudah hampir tiga jam dia menunggu Alde namun tak kunjung datang.
Kirana memainkan kacamatanya, berharap ada yang berubah, namun tetap saja seperti semula. Saat dia memakai kacamata pandangannya tetap buram, saat ia lepas, bahkan lebih buruk lagi.
Dia mulai kesal dengan dirinya sendiri mengapa terlalu menibukkan diri di depan layar laptop hingga lupa waktu. Mengapa dia terlalu sering tidur hingga larut malam dan dini hari, melupakan waktu istirahat?
Dia hanya bisa meratapi penyesalannya dan berdoa jika ini bukan masalah serius. Pikirannya membuat dirinya semakin tidak sabar dan akhirnya memutuskan untuk berangkat sendiri ke optik tanpa Alde. Toh bermodalkan hp dia bisa berkomunikasi dengan pegawai optik lewat teks.
Kirana mengambil kunci mobilnya dan mulai bergegas ke optik. Saking buru-burunya dia bahkan sampai lupa tidak memberi kabar ke Alde. Dia terlanjur takut dengan kondisinya.
Hari sudah menjelang senja saat Kirana tiba di optik. Dia mencoba menenangkan dirinya dan mencoba meyakinkan dirinya bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan. Dia akan mendapatkan kacamata baru dan permintaan maaf karena kacamata yang dia dapat buruk, dan dia akan pulang dengan perasaan lega.
Hal itu coba ditanamkan di pikirannya agar dia lebih tenang dan tidak diliputi ketakutan yang berlebihan lagi. Dia mencoba menarik nafas dalam-dalam, satu tarikan, dua tarikan, hingga dia merasa lebih tenang, dan bergegas keluar dari mobil.
Kondisi optik sore itu cukup sepi, sehingga Kirana langsung mendapatkan pelayanan dari salah satu petugas yang berjaga.
Seperti diduga, awalnya petugas itu kebingungan saat mengetahui Kirana adalah seorang tuli, namun akhirnya dia bisa menyesuaikan diri dengan komunikasi melalui tulisan, dan melayani Kirana dengan ramah.
Yah, Kirana juga sudah terbisa dengan kondisi seperti ini.
Pegawai optik itu tampak memeriksa kondisi kacamata Kirana, dan dia tampak sedikit kebingungan. Raut wajah heran terlihat dari muka pegawai itu seraya menggaruk pelipis kanannya dengan jari telunjuknya.
Dia sempat bertanya pada temannya dan setelah mereka berdiskusi selama beberapa menit, pegawai itupun kembali ke hadapan Kirana, mengambil hpnya dan mengetik.
“Kak ini kacamatanya masih bagus. Enggak ada yang salah juga sama lensanya. Mungkin minus kakak yang bertambah. Kalau mau kita bisa cek lagi kak," bunyi teks yang diketik oleh si pegawai optik.
Membaca itu mendadak perasaan takut dan panik Kirana kembali muncul. Jantungnya mulai berdebar dan berpacu lebih cepat, dan perasaan tidak nyaman kembali menggelayuti pikirannya.
Bagaimana bisa minusnya bertambah parah hanya dalam waktu sekitar tiga minggu? Sementara kacamata itu rutin dia pakai setiap harinya. Setahu Kirana, minus dan silinder akan bertambah parah apabila dia tidak memakai kacamatanya atau hanya sesekali memakainya.
Memang dalam tiga minggu ini dia masih sibuk di depan laptopnya dan sering tidur larut malam demi menyelesaikan pekerjaan dan bukunya. Namun dia selalu tertib memakai kacamata setiap didepan layar.
Lalu apa yang salah?
“Apakah normal jika minus bertambah hanya dalam waktu kurang dari satu bulan?” Kirana mencoba bertanya ditengah ketakutannya.
“Normalnya sih enggak kak, selama dia selalu rutin memakai kacamatanya. Coba kita cek dulu kak," pegawai optik hanya bisa menjawab dengan ketidakpastian yang diiyakan oleh Kirana.