Hidup adalah sebuah rangkaian perjuangan. Terkadang, saat kita sudah merasa nyaman dengan hidup kita, sebuah rintangan baru datang dan akan lebih berat dari sebelumnya. Tapi seperti itulah hidup, terkadang dia memberikan manis, kadang dia akan memberikan pahit. Namun perjuangan hidup itu yang akan memberitahukan makna kehidupan itu sebenarnya.
Livskamp…. perjuangan hidup.
Aku kembali menatap graffiti di sudut Bergen itu. Aku masih melamun dan berpikir, apakah hidup ini merupakan perjuangan yang tiada henti? Tak adakah waktu untuk kita bisa bersantai sejenak dan menikmati hidup ini dengan damai, tanpa masalah?
Aku membayangkan cerita-cerita dongeng dengan cerita yang happily ever after setelah hanya menghadapi satu masalah hidup yang berat. Oh my….. cerita pengantar tidur jaman kecil dulu memang benar-benar hanya dunia utopis. Tidak perlu berusaha, akah ada penyihir atau sekelompok kurcaci yang akan datang dan menyelesaikan masalah mereka.
Tak perlu berjuang, hanya perlu menderita sebentar kemudian orang lain akan datang menyelesaikan masalahmu dan BOOMM masalah selesai dan hidup bahagia selamanya. Betapa indahnya jika itu terjadi di dunia nyata.
Tapi sadarlah…. kita hidup dalam dunia nyata, tanpa ada penyihir, tanpa ada tujuh orang kurcaci. Yang ada hanyalah diri sendiri yang harus berusaha menghadapi semua masalah yang akan dan sudah datang ini.
Perjuangan hidup ini aku pikir tidak akan berhenti hingga aku menghembuskan nafas terakhirku. Mungkin dunia utopis itu baru akan datang di dunia setelah kematian nanti. Who knows…..
Aku menyalakan batang rokokku. Aku melihat Kirana sedang bercanda di bar dengan Bella, Lisa dan Tania. Dia terlihat ceria menghabiskan waktunya bersama mereka. Wajahnya seakan tak berhenti tersenyum dan tertawa.
Tapi aku tahu….
Dia sedang berusaha menyembunyikan kesedihannya. Benar-benar berusaha untuk terlihat ceria.
Hari ini dia sendiri yang meminta untuk ikut datang ke Bergen. Aku tahu, mungkin dia sedang berusaha mencari pelarian dari segala ketakutannya, dari segala kesedihannya. Dia sedang berusaha mencari suasana baru untuk membuatnya sejenak melupakan masalahnya. Aku tahu itu.
Karena itulah diriku yang dulu…
Kirana memintaku untuk tidak dulu mencaritakan masalah ini kepada anak-anak Bergens. Namun aku tak bisa diam kepada semuanya, Gary dan Bella menjadi satu-satunya yang tahu masalah ini.
“She would be better…. Surely…” Gary duduk di sampingku dan menemaniku merokok.
“Gue gak bisa bantu banyak, tapi gue yakin semua akan baik-baik saja. Akan ada jalan keluarnya. Toh dokternya sendiri kan yang bilang ada cara untuk menyembuhkannya," dia mencoba menenangkanku, dia tahu aku sedang kalut tiap kali aku menyalakan rokok.
“Tapi cangkok kornea mata gak segampang itu Ger. Kita harus menemukan donornya dulu, dan itu gak gampang. Belum lagi biayanya yang gak murah. Dia sedang dikejar waktu Ger… sebelum dunianya menjadi gelap….” Aku menghentikan kata-kataku, menutup mataku dan berharap itu tidak terjadi. Aku benar-benar tidak tega jika cahaya juga harus terenggut darinya, membayangkannya pun sudah membuat hatiku benar-benar teriris perih.
“There is a way… Gue yakin..” Kembali Gary mencoba menenangkanku dengan sembari menyesap rokoknya.
“Lip service Ger? Kalo cuma ngomong emang gampang," seruku. Memang mudah kalau hanya berbicara, menghibur, tapi pada kenyataannya menghibur bukanlah solusi.
“Iya gue tahu. Makanya itu gue ada di sini, anak-anak ada disini untuk membantu. Kalau cuma mengeluh dan meratap juga gak akan ada solusinya De. Lu pikir lu ngeluh terus bakal ada Dumbledore datang dan nyelesaiin masalah lu dengan sihirnya? Kita disini buat mikirin solusinya bareng-bareng!” Nada suara Gary terdengar meninggi. Dia kesal mungkin melihatku yang kalut dan menggerutu terus menerus.
“Gue tau De, dia itu sangat spesial buat lu, tapi apa lu kira kita gak peduli sama dia? She’s also important for me, for us! Kirana, dia wanita yang hebat, sangat hebat sampai-sampai tidak ada satupun dari kita yang tidak kagum padanya. Dan kalau kamu tahu seandainya mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi, aku yakin hati mereka akan sama remuknya dengan lu De…” Nada suara Gary mulai merendah, matanya menunjukkan simpati yang sangat dalam saat menatap Kirana, aku dapat melihat itu.
Aku kembali terbayang ingatan empat hari yang lalu, saat aku menjemput Kirana di klinik penyakit mata itu. Aku panik saat mendengar suaranya dan aku menyesal karena harus menunda untuk menemaninya karena sibuk menyelesaikan pekerjaanku lebih dulu.
Aku syok melihatnya menangis di dalam mobil, dan lebih syok lagi saat mendengar ceritanya. Seakan duniaku runtuh mendengar seseorang yang paling aku sayangi terancam kehilangan penglihatannya.
Aku mencoba mencari kepastian dengan kembali masuk ke klinik. Perawat yang melihatku dan Kirana kembali masuk seakan mengetahui dan memaklumi keadaan kami dan mempersilahkan kami masuk kembali menemui dokter.
Dan hal yang aku dengar benar-benar membuat hatiku hancur. Tak ada pengobatan untuk mata Kirana selain dengan cangkok kornea, atau lambat laun Kirana akan kehilangan penglihatannya hingga akhirnya mengalami kebutaan.
Aku mencoba menanyakan mengenai metode lasik untuk penyembuhan luka di kornea mata, karena aku sempat tahu dulu ada temanku yang melakukan lasik untuk penyembuhan luka di pengelihatannya.
Namun nihil…