Aku akan ingat hari ini
Bagaimana ekspektasi amat menyakiti
Aku merelakan hidup di bawah bayang pendapat orang lain
Dan saat itu, aku selalu salah memilih jalanku.
Hidupku yang singkat, tapi aku hidup di dunia orang lain.
Kemudian kepergiannya telah menunjukkanku ke diri sendiri,
Perjalanan ini hanya perputaran menjadi orang lain
Lalu tengah perjalanan kau akan menemukan tikungan
Yang menuju jalanmu sendiri.
_______________
SATU jam telah berlalu. Lelaki remaja usia 20 tahun itu menghela napas. Bagaimana kalau rencananya sia-sia? Ia amat paham bahwa orang yang akan dihadapinya nanti bukanlah manusia berpikiran normal. Tidak. Bukan begitu. Gadis itu hanya lugu.
Andi, dia bukan anak kecil! Dia sudah 18 tahun!
Pikirannya yang teoritis kembali protes. Ya, bukan anak kecil, memang. Kelihatan seperti teka-teki bahwa dia bisa bertahan selama tiga tahun bersama gadis yang dulu menjadi adik kelasnya itu. Cinta masa remaja memang tak perlu bertanya se-realistis apa kamu, apa saja untuk tetap mengatakan i love you.
“Wahai Andi Potter, aku lulus dan kau harus melihat keajaiban duniaku yang pertama!”
Suara yang sangat ia kenali. Nada yang ceria namun sering terdengar kekanak-kanakan. Gadis yang selalu siap-siap ingin terbang ke dunia sihir padahal fenomena itu tak akan datang. Bibirnya selalu pucat dengan lingkar hitam di bawah mata. Memang, Andi tau gadisnya menderita Anemia akibat begadang membaca buku Harry Potter sejak masih dalam kandungan. Katanya, ia hanya mau berhenti mengulang baca novel itu kalau sudah melihat tempat Harry Potter—negara Inggris.
“Hei, kamu kok melamun? Apa kau sedang di dunia lain? Kamu harus tau, Andi Potter! Aku dapat 75! Putri Dongeng berhasil mengemban amanah dari Raja Matematika! Tanpa Andi Potter, aku nggak mungkin lulus dari jajahan angka kurang ajar itu. Makasih, Raja!”
Remaja putri itu berusaha mengguncang-guncangkan pundak Andi sambil memamerkan hasil Ujian Nasionalnya. Nilai 75—sesuai minimal KKM—mungkin nilai pertama dan terakhir Matematikanya yang lolos. Betapa kesalnya Andi dulu mengajarinya hitung-hitungan yang seringkali anak ini tidak teliti walau mengerjakan penjumlahan saja. Otaknya hanya berisi tentang macam-macam tongkat sihir. Andi bahkan rela menggunakan pendekatan dongeng Raja Matematika dan Penyihir Panjerina. Penyihir Panjerina harus berhasil menjalankan amanah Raja Matematika sesuai Mantera Sakti (rumus Matematika). Kadang, Andi tak tahan dengan dunia khayal Liz.
Namun, melihat Putri Dongengnya tersenyum lepas, Andi mengulas senyum tipis. Ia berhasil menemukan alasan menyukai Liz. Mata besar yang berkilau, gigi kelinci, dan senyum yang lepas. Gadis itu memiliki senyum yang menular.
“Ah, kamu pasti lelah nungguin di gerbang sekolah gini. Udah satu jam pula! Lapar nggak? Kali ini Penyihir Panjerina akan memberikan pelayanan makan siang pada Raja Matematika! Mie ayam, mau?”
Andi memutuskan mengangguk, lalu mereka berdua meninggalkan SMA Adidaya Tembayat yang esok gadis itu tak akan sekolah di sana lagi.
[]
Andi memasang cuping wireless earphone ke telinga sedangkan Liz masih sibuk membicarakan rencana-rencana sehabis lulusnya. Jangan salah paham. Dia tidak akan menceritakan kuliah dengan beasiswa, bekerja di sebuah perusahaan, atau membuat usaha kerajinan. Liz menggebu-gebu berbicara Kerajaan Mimpi yang dihuni beberapa penduduk antah berantah apalah Andi tidak dengar. The Beatless cukup asyik menginterupsi suara Liz.
Liz akhirnya terdiam karena menyadari Andi tak mendengarnya. Ia lalu menekuri nilai-nilai Ujian Sekolah dan Andi teringat rencananya hari ini. Jantungnya berdegup. Apakah pendekatan dongeng bisa meluluhkan Liz?
Setelah pesanan mie ayam mereka datang, Andi langsung menangkap tangan kanan gadis di sampingnya sebelum menyantap makanannya dengan rakus—seperti saat-saat makan bersama sebelumnya. Rambut panjang yang dicepol mengibas, kepalanya yang bulat telur menghadap wajah Andi yang berkulit sawo matang. Tatapan matanya mengajukan pertanyaan.
“Liz, aku pengen bilang sesuatu,” tuturnya gugup.