Lo Siento, Te Amo

silvha darmayani
Chapter #1

Bab 1 Plaza De España

Plaza De España

Pukul tujuh waktu kota Seville. Pagi yang indah di musim gugur. Semilir angin kecil berlarian menyentuh daun-daun. Tak ada lagi warna hijau, sempurna menguning jingga mewarnai sudut-sudut kota. Berjatuhan satu per satu, berserak di taman-taman dan jalanan. Bangunan-bangunan besar khas kota itu masih tegap kokoh. Aktivitas komuter sudah bermulai. Pagi yang damai di Plaza De España. Benar. Tempat yang kentara akan sejarah. Bangunannya megah berbentuk ruang terbuka semi lingkaran, berarsitektur moorish, muslim di Utara Afrika, kombinasi merah bata di dindingnya adalah seni khas Andalusia. Sentuhan warna biru menghiasi genting juga bagian bawah bangunan itu. Para penjual suvenir dengan kios-kios kecil sudah ramai di bagian luar plaza, menawarkan ramah jika ada pembeli yang datang. Sedangkan di dalam, orang-orang nampak berlalu lalang, menikmati aroma musim di tengah Taman Maria Lusia. Beberapa dari mereka duduk bersantai di bagian depan menatap takjub plaza. Ada yang berdiri di balkon, sekadar mengambil foto, atau berjalan di alun-alun yang berukuran lima kali lapangan sepak bola itu, sambil bergandengan tangan. Ada juga yang berdiri di atas jembatan, ada empat jembatan di sana; Castille, Aragon, Navarre, dan Loon. Sebagian yang lain memilih naik perahu dayung, bersuka ria, bernyanyi riang, menyusuri kanal sepanjang 500 meter. Di tengah plaza terdapat air mancur yang indah, itu Vicente Traver Fountain. 

Ada satu hal yang menarik perhatian, sebuah tari di pelataran alun-alun plaza, tepatnya di bagian yang kosong. Di sanalah aku berada. Benar. Aku di sana. Bukan sebagai pengunjung, turis atau sejarawan. Tapi sebagai seorang penari dari tarian khas dan terkenal di Spanyol yaitu tari flamenco. Aku menyukainya. Sangat menyukainya. Lihat saja di sekelilingku, selalu ramai yang menyaksikan setiap hari. Aku memakai gaun merah panjang, aku juga menyukai warna ini, rambut yang disanggul bulat berpita bunga mawar, anting kecil berwarna gold, juga sepatu hitam dengan hak 10 sentimeter. Aku menari lincah, mengikuti irama dari petikan gitar flamenco, menggerakan kaki sesuai dengan ritmenya, tangan yang gemulai dengan lentikkan jari, kemana arah gitar mengalun ke sana aku merasukinya, melengkungkan punggung, merentangkan tangan, juga hentakkan kaki secara ritmik. Semua menyatu dalam tarian, semakin cepat ritme musik itu mengalun, semakin cepat pula gerakanku dalam menari. Bagiku menari adalah sebagian dari diriku, aku tidak bisa mengelak. Aku sudah jatuh cinta saat melihat tarian itu untuk yang pertama kali. Suara tepukan tangan tanda tarianku berakhir. Biasanya aku tidak sendiri menari, tapi berduet dengan Bibi Camelia. Aku memanggilnya Bibi Lia, usianya memang dua kali usiaku. Dia Bibi yang baik dan cantik. Meski sudah berkepala empat, wajahnya tetaplah segar, cerah juga damai. Bibi tidak ikut menari bersamaku sejak seminggu yang lalu. Ya, seminggu lalu, persis seperti pagi ini, wajahnya tidak secerah biasa, senyum pudar, bibir Bibi pucat pasi. Baru saja alunan gitar dan kakinya akan mulai menari, Bibi jatuh pingsan. Aku sangat panik, berusaha menopang kepalanya dengan tanganku. Beruntung ada Gibran di sana, dia anak Bibi Lia. Gibran memang musuh bebuyutanku, aku dan Gibran sering bertengkar, tapi tidak dengan keadaaan yang seperti itu, kami sadar akan situasi. Bibi dibawa ke rumah sakit, tidak jauh dari plaza. Kondisi Bibi ketika itu memang lemah, dan harus diopname. Tapi hari ini jauh lebih baik daripada beberapa hari sebelumnya. Mungkin satu atau dua hari lagi, Bibi sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Sebenarnya aku tidak mau meninggalkan Bibi sendirian di rumah sakit, siapa yang akan menjaganya, Gibran? Apa mungkin dia pandai menjaga Mamanya itu? Tidak kurasa. Laki-laki yang berusia lima tahun di atasku itu, tubuhnya saja yang tinggi besar, tapi bagaimana mungkin dia ahli dalam bidang rawat merawat. Tapi kalau urusan seni lukis serahkan padanya, apapun akan dia lakukan. Sebenarnya Gibran juga sayang pada Bibi Lia, sangat sayang padanya. Gibran bahkan sudah mampu mencari penghasilan sendiri, dengan kemampuan seninya itu, puluhan lukisan mulai dari bangunan bersejarah kota Spanyol telah ia rampungkan, seperti lukisan Plaza den Bossa, Ibiza Old Tow, Plaza de España, juga tempat wisata yang indah di Madrid, Barcelona, Valencia, dan Málaga. Banyak dari lukisan itu yang ditawari dengan harga yang cukup fantastis, ada yang diterima Gibran, juga ada yang ditolak. Banyak pameran yang mengundang Gibran hadir, maka tak heran, salah dua lukisan Gibran terpajang mantap di dinding museum kota Seville. Aku dan Gibran bukanlah saudara, tapi aku sudah tinggal bersama keluarga Bibi Lia sejak usia lima tahun, aku menganggap Bibi sebagai Mamaku sendiri, meski aku harus berhadapan dengan Gibran, musuhku itu. Tapi meskipun begitu, pada masa tertentu kami akan akur, contohnya saja, ketika Bibi sedang sakit saat ini. Aku tidak mau melihat kondisinya semakin drop, hanya karena kelakuanku dan Gibran. Aku masih ingat ketika usiaku sepulun tahun, Bibi mengajakku ke luar membeli es krim, tanpa Gibran, sesampai di rumah, Gibran menyergahku dan membawa es krimku pergi. Aku menangis sedu, Bibi terpaksa membelinya lagi, tidak satu ternyata, tetapi dua, kali ini Gibran menangis, Bibi menyuruhnya diam. Tapi Gibran tetap menggerutu, lalu merebut dua es krimku tangkas, belum sempat dia memakannya, kedua eskrim itu meleleh jatuh ke lantai, aku dan Gibran menangis. Bibi berkutat, naik pitam, kemudian meninggalkan kami. Sejak saat itu aku dan Gibran bermusuhan, seperti kucing dan tikus. Kadang-kadang dia baik sendiri, membantu menyelesaikan tugas kuliahku, jika aku mengerjakan hingga larut malam hingga ketiduran. Aku dan Gibran juga kuliah di salah satu Universitas terbaik di kota Seville. Jika waktuku kosong, aku akan pergi ke plaza untuk pertunjukkan tari. Tarian yang sangat bermakna dalam. Menarik bukan? Menjadikah hobi sebagai pekerjaan. Aku selalu merasakannya, menyukainya. Karena ada hal yang selalu hidup di sana, meski dengan kisah yang tidak lagi sama.

Siang hari di musim gugur, dengan angin yang berkesiur. Daun-daun yang telah berubah warna berserak di atas pelipiran kanal. Perahu-perahu dayung penuh dan ramai. Ada yang bersama kekasih, teman, juga anak-anak kecil bersama orang tuanya. Ramah sekali perjalanan sepanjang kanal, deretan perahu pertama, ada tiga perahu yang saling beriringan, mereka terbahak-bahak, itu adalah pasukan paruh baya, barangkali mereka sudah lama tidak berjumpa, lalu bertemu hangat. Deretan berikutnya, sepasang kekasih yang begitu romantis, memberi gadisnya setangkai rose lalu mengabadikan momen berharga itu. Dan deretan yang berbanjar, banyak perahu yang dinaiki penumpang. Ada satu perahu yang mengundang perhatianku. Seorang ayah dengan putri kecilnya, begitu manja meminta perhatian. Perahu mereka berlayar pelan, aku rasa putri kecil itu berusia sekitaran 5 tahun, kurang atau lebih, aku tidak tau. Tapi aku tetap menilik pergerakan dayungan itu, pelan dan damai. Dia ayah yang baik menurutku, aku berjalan menyusuri alun-alun dengan gaun yang menyapu marmer, mengikuti pandangan mataku. Aku berjalan tanpa melihat ke depan. Tak sadar. Seseorang menyergahku. Laki-laki bertubuh sekitar 180 sentimeter, dengan potongan rambut undercut. Dia memakai baju kaus hitam kasual dan celana panjang bergaris warna orange.

“Tidakkah kau melihatku señorita? Apa kau tidak memilki mata?” Dia menatapku nanap. Posisinya yang awal duduk menghadap kanvas, berdiri membancangku. Sudah kuduga. Aku pasti akan bertemu dengan laki-laki ini setiap hari, tidak di rumah, di tempat pertunjukan, bahkan di plaza. Siapa lagi kalau bukan musuh bebuyutanku, Gibran. 

“Kenapa kau selalu mengganggu kehidupanku? di mana-mana kau selalu mengikutiku!” Aku mendelik pada Gibran, dia lagi-lagi membuatku naik pitam. 

“Mengikutimu? Untuk apa orang sehebatku mengikutimu? Menjauhlah dariku, atau kusiram dengan cat air ini!” Gibran mengancamku, matanya yang membulat besar itu terlihat seperti hendak melompat keluar. Aku hanya cengengesan, mencibir padanya, merebut kanvas yang terletak di atas sandaran kayu, lalu menghitung langkah kemudian berlari di sepanjang alun-alun. Wajah Gibran merah padam, aku tak henti menahan gelak tawa, dia semakin mengejarku. Jangan salah, meski aku seorang perempuan, kalau untuk berpacu lari, selalu aku yang menang. Aku menantangnya, mencibir dari jarak sepuluh meter, menaiki jembatan. Banyak orang yang melihat tingkah kami. Ada yang terpegun, tertawa. Aku terus berlari. Tapi, tiba-tiba kakiku seakan terkatung. Langkahku terhenti di sana. Mataku menatap nanap. Bahkan jika adapun ruang untuk berlari, aku tidak peduli. Gibran memelankan frekuensi kakinya melangkah padaku, tak pelak lagi. Dia merebut kanvas itu tangkas. Aku hanya diam. Bukan karena Gibran yang berwajah murka atau kanvas yang kupegang. Melainkan karena gadis kecil di atas perahu. Sudut mataku terhenti. Terdiam tanpa alasan. Lidahku kelu. 

“Apa yang terjadi?” Gibran bertanya padaku. Tatapannya nanar. Tak ada kemarahan. Gibran melihat ke arah yang sama. Menilik titik tuju arah pandanganku. Aku masih bergeming. 

“Apa kau lihat gadis kecil itu?” Aku menatap ke arah gadis itu tanpa berkedip. “Dimana?” Mata Gibran mencari keberadaaan sosok yang kukatakan. 

“Satu perahu yang berada di tengah dua perahu di sebelah kanan dan kirinya, gadis kecil itu. Kau melihatnya?” Mataku membias jelas. 

“Aku tidak melihatnya! Apa kau membohongiku?” Gibran menyipitkan mata. Tidak percaya dengan keberadaan gadis kecil itu.

“Aku benci pada hal seperti ini Gibran! Kau tau? aku sangat membencinya! Aku akan ke sana, menolong gadis itu!” Aku berusaha turun. Tapi Gibran mencegatku, 

“Tidak ada gadis kecil di sana, apa matamu sudah serabun itu sekarang?” Gibran merengkuh pergelangan tanganku. Kuat. Aku melawan, untuk melepas sergapan Gibran.

“Lepaskan tanganku bodoh! Kau yang rabun! lihatlah, gadis kecil yang sendirian di sana. Dia menangis di atas perahu. Tadi aku melihat, dia dan Ayahnya berdua di atas perahu. Mereka tertawa. Tapi kemana perginya laki-laki itu? Dia meninggalkan gadis kecilnya sendirian? Dia Ayah yang jahat!” Aku kalap seketika. Benar. Tidak ada gadis kecil di sana. Hanya deretan perahu yang diisi pasukan paruh baya yang berjumpa hangat tadi, juga sepasang kekasih yang romantis. Tak ada gadis kecil juga Ayahnya. 

“Kau tau? Kau selalu seperti ini setiap kali menjelang ulang tahunmu.” Gibran menyeringai, sembari menyembunyikan kanvas lukisan itu. Seharusnya aku tidak perlu mengambil kanvas bodohnya itu. Dan tetap fokus untuk pertunjukan tari flamenco siang ini. Karena itu jauh lebih penting. 

“Kau tau ulang tahunku? Rupanya kau diam-diam mengingatnya.” Ucapku mengalihkan, membalik arah ke posisi Gibran. 

“Tidak! Untuk apa aku mengingatnya? Sangat tidak penting!” Gibran menggaruk-garuk kepala menatap ke arah lain.

Kanvas itu disembunyikan Gibran di belakang punggungnya, aku menatap tajam dengan mata yang masih membias. “Itu lukisan apa? Aku ingin lihat!” Aku memaksa. Gibran kekeh membancang diri.

“Kau menangis? Kenapa?” Gibran mengalihkan dengan pertanyaaan itu lagi. “Aku tidak menangis!” Aku bersikeras. 

“Kau belum menjawab pertanyaanku tadi, kenapa kau selalu bertingkah aneh setiap kali melihat perahu di kanal itu? bahkan kau juga menangis,” Gibran lebih serius bertanya, tatapannya kembali menyelidik. Aku hanya diam. Berusaha untuk menghindar dari percakapan. Tapi tidak bisa. Gibran bersikeras seperti batu.

“Aku membencinya Gibran, jangan hidupkan lagi cerita itu!”. “Tidak kau salah! Kau selalu larut menyembunyikan kesedihan itu sendiri, mencabik-cabik, membungkus penuh, lalu menguburnya dalam. Kenapa kau tidak pernah bercerita padaku atau Mama. Apa seburuk itu? Apa sebegitu bencinya kau pada kisah itu? Kau justru memilih bungkam. Menampung kisah-kisah itu sendiri, seakan itu tidak pernah terjadi dalam hidupmu.” Gibran menatap jauh memunggungi jembatan. Menyandarkan tubuhnya di sana.

Lihat selengkapnya