Yogyakarta 1990
Aktivitas di kota itu sudah dimulai, bahkan sebelum matahari menyelisik pergelaran ke arah timur. Suara kokokan ayam samar-samar terdengar. Pintu-pintu rumah berderik bergantian. Kain gorden tersibak. Siluet temaram menembus kisi-kisi jendela. Fajar masih merangkak lambat. Derap tapak sendal bersahut-sahut dengan pecakapan ringan menyelingi. Lantunan suara merdu sudah berkumandang jelas. Pertanda waktu subuh telah masuk. Rombongan kaum adam beramai-ramai ke masjid melewati gang-gang sempit. Ada yang masih sempoyongan memakai sarung, ada yang menguap lebar, juga ada yang berjalan tenang memafhumi suara azan. Seperti biasa, pagi itu dia telah bangun. Mandi, kemudian bersegera salat subuh. Dia selalu bersimpuh lama, menggerakan bibir mengucap tasbih, diakihiri dengan doa pengharapan. Dia seorang perempuan yang dahayu. Kulit berwarna kuning langsat, hidung kecil mancung, bola matanya coklat terang juga bulu mata yang panjang melentik, dagunya seperti lebah bergantung, badannya tinggi semampai, rambut hitam legam sebahu. Dulu rambut itu sepinggang, tapi karena suatu hal, dia memotongnya. Dia bernama Rahayu Rinjani.
Orang-orang memanggilnya Rinjani, seperti nama gunung, gunung dengan keelokkan. Rinjani tinggal di rumah kontrakan, tidak terlalu besar, tapi terasa luas untuk dia yang tinggal sendirian. Setiap selesai salat subuh, Rinjani merapikan kamar, mengemasi barang-barang yang berantakan, meja tugas, menyapu dan mengepel lantai, lalu menyampirkan pakaian di tempat jemuran belakang rumah. Itu kebiasaan yang sudah menjadi kebudayaan. Bahkan menganggap itu adalah hal-hal sederhana yang menyenangkan.
Selepas menjemur pakaian, dia bergegas ke dapur, menyiapkan bahan-bahan untuk dimasak. Tidak lama, selang sepuluh menit, nasi goreng dengan telur mata sapi setengah matang telah siap, Rinjani segara menghabiskan. Sudah pukul 5:15 Rinjani berkemas, mengambil kemeja biru tua dan rok hitam, lalu memakainya. Rambut sebahu itu disanggul supaya tidak berantakan. Itu adalah hari senin, Rinjani berangkat lebih awal. Langit temaram mulai menerang, hanya hawa embun yang terasa. Berjarak 500 meter dari kontrakan, untuk menuju jalan lintas. Pagi yang sejuk di kota itu. Kota yang terbungkus oleh kreativitas seni juga masyarakatnya yang ramah. Kota Yogyakarta. Kota impian Rinjani. Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana di salah satu kampus seni terbaik di Surakarta, Rinjani melanjutkan studi pascasarjana di kampus seni terbaik di Yogyakarta. Dia mahasiswi yang pintar, aktif dan kreatif, sehingga mampu menamatkan S2 dengan waktu yang cepat dan nilai terbaik. Rinjani lulus tes dan diterima menjadi dosen termuda di sana. Memilih jurusan seni tari adalah pilihan terbaik bagi Rinjani, karena dengan itu, berarti salah satu hal besar yang ingin diwujudkan telah tercapai. Semburat mentari sudah tampak menyeruak diantara pucuk gedung-gedung berwarna putih, pedagang-pedagang sudah membuka kios, menata dan mengisi barang yang kosong. Juga ada warung kopi, aromanya tercium jauh, beserta asapnya yang mengepul. Yogyakarta terkenal dengan pendidikan, dari dasar hingga perguruan tinggi di setiap sudut kota. Satu per satu sepeda ontel, berlaluan, bapak-bapak membonceng anak-anak pergi sekolah dengan wajah riang mereka. Andong juga sudah berlalu lalang mengantarkan beberapa pejabat. Rinjani paham sekali dengan pemandangan seperti ini, sangat rugi rasanya bila terlewatkan. Seniman seni lukis pun telah mendapat tempat untuk melukis, di atas kursi menghadap gedung, menuang imajinasi di jalan Malioboro. Rinjani tak sungkan untuk menyapa, memang begitulah keramahan di sana. Sembari menunggu becak, Rinjani memerhatikan sentuhan tangan pelukis yang melekam kuas dengan tenang, tak ada keraguan. Beruntunglah tidak lama, becak yang ditunggu Rinjani datang, dia naik lalu duduk nyaman di atas becak. Butuh waktu 20 menit untuk sampai ke kampus tempat dia mengajar. Rinjani lebih suka naik becak, selain ongkosnya yang murah, tukang becaknya juga baik, ramah. Rinjani bisa menikmati kekentalan seni Yogyakarta secara langsung, salah satunya adalah Gedung Seni Sono, pertunjukan tetaer sering diadakan di sana. Rinjani sangat menyukai seni, seni menurutnya adalah bagian dari jiwa, yang telah menyatu, tidak dapat terpisahkan.
“Neng, sudah sampai.” Ucap tukang becak yang membuyarkan pikiran Rinjani.
Rinjani yang tertegun, terperangah seketika, dia bergegas turun, “Terima kasih pak,” Rinjani memberikan dua lembar rupiah pada tukang becak. Bapak itu tersenyum ikhlas sembari menepukkan uang ke bagian atas becaknya, “Matur suhun gusti rejeki pagi ini.” Gumamnya bersyukur. Rinjani kagum melihat rasa syukur laki-laki itu.
Sudah pukul 7:30 Rinjani mempercepat langkah untuk mengisi jadwal mengajar hari itu. Hari ke hari, bulan menuju bulan, tahun berganti, sudah dua tahun lamanya Rinjani menjalankan tugasnya sebagai seorang guru. Jika orang-orang menyebutnya dosen, ia lebih senang menyebut dirinya guru, bagi Rinjani, itu dua hal yang sama, sama-sama memiliki tugas dan kewajiban untuk berbagi ilmu kepada yang lain. Seharian Rinjani melalui harinya di kampus, jika tidak ada jadwal lagi, atau tidak ada pekerjaan lain, Rinjani menyempatkan pergi ke gedung teater kampus, menambah waktu untuk melatih tari mahasiswanya di sana. Rinjani terkenal baik, santai, sederhana, dan bersahaja dengan mahasiswanya, jika diluar kelas, mereka lebih terlihat seperti satu kawanan. Seperti biasa, selepas latihan, Rinjani menyempatkan diri singgah membeli gudeg satu bungkus dan membawanya pulang untuk dimakan di rumah. Ia akan menunggu becak kembali, menikmati arus balik komuter, turun di jalan Malioboro berjalan hingga sampai di kontrakan.
Sang fajar sudah tergelincir turun, menyisakan bias jingga yang menumpuk di awan-awan. Namun itu hanya sebentar, mendung menyelimuti sore yang akan berpulang, diikuti geledek membuat Rinjani berlari-lari cepat menuju rumah. Rinjani terpaku, ada paket di kotak surat di depan rumah, lantas dengan cepat dia ambil, lalu bersegera berteduh ke rumah. Rinjani masuk, membuka sepatu dan meletakannya di rak yang terletak di sebelah pintu depan. Surat itu dia bawa dan diletakkan di atas nakas. Rinjani terkesiap, ada pakaian yang dijemur di belakang, dengan cepat mencari payung, membawa pakaian itu masuk dan menaruhnya di dalam keranjang pakaian, sebagian kuyub, sebagian tidak, akan dia jemur lagi besok pagi. Rinjani mandi, sekalian menunaikan salat magrib, dia tidak pernah meninggalkan ibadah, itu pesan ibunya pada Rinjani. Gorden-gorden yang tadi masih terbuka, sudah tertutup semua. Hujan cukup lebat, padahal saat itu belum musim penghujan, derasnya air yang jatuh terdengar menimpa genting rumah, hawa dingin merasuk tulang. Rinjani memakai jaket tebal dan membuat teh hangat. Gorden jendela kamar disibakkan ke ujung. Hujan malam terlihat samar dari kaca yang berembun, sambil meminum teh hangat dia menikmatinya. Kepulan asap teh berpacu dengan angin, entah siapa yang dulu menang, Rinjani menatapnya lamat-lamat. Ada surat yang terletak di atas nakas, Rinjani mengingat surat itu. Rinjani mengambil lalu membaca isinya.
Surakarta, April 1990
Apa kabar Rinjani? Sudah lama kami tidak mendengar kabarmu. Semoga kamu baik-baik saja di sana. Bagaimana pekerjaanmu Nak? Kamu pasti menyukainya. Ibu harap begitu, bagaimana dengan mahasiswa-mahasiswamu? Apa kalian masih sering latihan menari? Ibu rasa itu hal yang menyenangkan. Adikmu, Hasan dan Husein, akhir-akhir ini sibuk sekali dengan aktivitas di kampus, apalagi Husein, adik bungsumu itu, baru tingkat satu saja, tetapi jarang sekali pulang ke rumah, katanya banyak tugas, kegiatan kemahasiswaan, entah apa itu namanya, Ibu tidak tau. Hasan yang menempuh semester akhir masih berkutat dengan persiapan lomba karya tulis, akhir bulan ini dia dan timnya akan berangkat ke Jakarta untuk ajang se-Nasional. Bapakmu masih seperti dulu, duduk di kursi depan, menyeruput kopi hitam, membaca koran. Dia sering mengungam saat tidur, memanggil namamu, apa kamu tidak ingin pulang ke rumah Nak? Semakin hari waktu semakin berkurang, paling tidak kepulanganmu dapat menghangatkan kembali rumah ini, usia Ibu dan Bapak sudah menua, rambut kami berangsur memutih sehelai demi sehelai. Ibu juga ingin kamu memikirkan masa depanm. Pulanglah ke Surakarta, jika surat ini telah sampai kepadamu. Salam hangat dan rindu dari Ibumu,
Siti Nurbaya
Perempuan yang bernama Siti Nurbaya itu adalah Ibu Rinjani. Berdarah Minang, kedua orang tua dari Siti Nurbaya tinggal di Bungus, Padang Sumatera Barat. Sedangkan Bapak Rinjani bernama Sudirman asli dari Surakarta. Singkat cerita, pertemuan antara keduanya saat kedatangan kapal-kapal besar di pelabuhan Teluk Bayur, Sudirman yang bekerja sebagai awak kapal terperangah melihat wajah ayu Siti Nurbaya yang ketika itu memakai baju kurung berwarna abu-abu dan selendang senanda. Mereka saling menatap satu sama lain, pada saat itu pula rasa kasih itu tumbuh. Cukup panjang perjalanan Sudirman untuk bisa menjadikan Siti Nurbaya sebagai istrinya, orang tua Nurbaya mempertimbangkan bibit, bebet, bobot karena itu sangat krusial dan utama dalam adat mereka. Meski mendapat pergejolakan di awal, namun lambat laun keduanya mendapat restu, dengan syarat Nurbaya dapat terjamin hidupnya setelah menikah. Sudirman memboyong Nurbaya merantau ke kampungnya, di Surakarta, di sana lembaran baru dimulai, sejatinya kehidupan, hingga lahirlah anak pertama mereka Rinjani, kemudian anak kedua Hasan, dan Husein yang terakhir.
Mata Rinjani berkaca-kaca, air mata yang ditahan itu jatuh. Sudah lama. Dua tahun lamanya Rinjani tidak pulang, walau jarak tidak jauh, namun langkahnya terasa berat untuk kembali ke kota itu. Bagaimanapun dia hanyalah seorang perempuan, hatinya lemah, dia tak kuasa menahan rindu kepada bapak, ibu, Hasan dan Husein. Mungkin pulang adalah penawar untuk mengobati rasa itu, sekaligus akan mengingatkan Rinjani pada masa lalu.