Alun-alun plaza semakin ramai pengunjung, sibuk mencari tempat yang autentik untuk berfoto. Suara tepukan tangan terdengar ritmik olehku, mengundang pandang pada penari lain yang tengah larut dalam baile, wajah-wajah riang menyatu dalam gitar flamenco, menunjukkan duende seakan-akan dirasuki emosi dari alunan musik dan tarian itu. Juga anak-anak kecil yang ikut meniru hentakkan kaki, tertawa riang. Satu perahu tertambat kembali di limbungnya. Angin yang kembali datang, menyentuh rambutku, membayang jelas di atas permukaan kanal. Laki-laki di sampingku, masih berkutat menilik kanvas yang dia lukis, entah apa jadinya nanti. Hawa itu masih menelikung. Belum juga hilang.
“Dia perempuan yang kuat, bukan begitu? Apa kau mengenalnya?” Gibran mengalihkan tatapannya padaku.
“Dia perempuan yang kuat, dia juga cantik. Cantik sekali. Aku sangat mengenalnya,” kepalaku menekuk ke bawah, melihat wajahku di atas air.
“Kota yang indah dan ramah, tapi itu jauh sekali. Andai aku bisa ke sana. Sudahlah. Lalu bagaimana dengan lamaran itu, apa Rinjani menerimanya?” Gibran memasang wajah serius.
“Apa aku harus melanjutkan kisah ini. Aku tidak bisa.” Aku mengangkat wajah, beralih memandang perahu yang sudah tidak tertambat, disewakan kembali.
“Ayolah, jangan biarkan aku penasaran seperti ini, bukankah aku harus menyudahi lukisan ini untukmu, jadi berceritalah kembali,” Gibran memelas. Aku tidak pernah melihat dia seperti ini, terkadang laki-laki menyebalkan sepertinya, juga bisa bertingkah lucu. Kenapa aku memikirkan dia? tidak-tidak.
“Seperti katamu, dia perempuan yang kuat. Itu benar. Benar sekali.” Aku memandang langit kota Seville, mencari warna yang hilang di sana, aroma musim gugur tidak berubah. Aku melanjutkannya.
***
Suara merpati mengawali pagi, burung itu bertengger di dahan pohon mangga sebelah rumah. Sekelumit cahaya bertelau-telau menimpa bunga-bunga. Rinjani merekondisikannya kembali, memindahkan sebagian bunga mawar di pot biasa, dan bunga anggrek di pot gantung. Rinjani menyampirkan pot itu di sudut rumah, berjejeran, membentuk kreasi yang indah. Sudirman tidak nampak di luar, biasanya sepagi itu sudah terletak kopi di atas meja. Sudah pukul 8 pagi, tetapi juga belum. Hasan sudah beranjak ke kampus bersama adiknya Husein. Pagi itu mereka akur, mungkin setelah diceramahi semalam. Nurbaya keluar dari pintu, memakai baju kurung rapi, juga selendang di kepalanya, dia memanggil Rinjani.
“Ada apa Bu?” Rinjani yang sedang menyiram bunga, menghampiri Ibunya itu.
“Kamu harus bersiap-siap Nak, pakailah baju yang rapi,” Nurbaya bergegas memegang tangan kiri Rinjani, mengantar ke kamar.
“Ada apa memangnya Bu?” Rinjani kikuk tidak mengerti.
“Nanti kamu akan tau. Mari Ibu temani.” Rinjani menunduk takzim, menuruti arahan Nurbaya padanya.
Rinjani memakai baju kurung, seperti Ibunya, Nurbaya. Baju yang sarat akan makna simbolik Minangkabau. Rambutnya kembali disanggul seperti biasa.
“Apa saya harus menghadapi semua hari ini? Tidakkah masih ada kesempatan untuk saya menundanya,” Rinjani berbisik pada hatinya, matanya kosong menghadap cermin di kamar. Dia ingin menangis, meluruhkan sendu yang tertahan, tapi dia tidak bisa. Nurbaya yang kembali dari luar, memanggil Rinjani yang sedang duduk di kursi kamar, memegang pelan tangan Rinjani, memberi angguk untuk meyakinkan putrinya itu.
“Kamu mempercayai Ibumu bukan? Dekaplah tangan Ibumu ini, kita akan ke depan.” Mata Nurbaya nampak membias jelas, dia berusaha tersenyum pada Rinjani.
Mereka berjalan menuju ruang tamu, ada kursi jepara di sana. Langkah Rinjani terasa bimbang, pelik sekali jalan menuju ruangan itu. Suara Sudirman terdengar gamblang, ada perbincangan di sana. Rinjani menatap lantai, kepala itu hanya tertunduk, wajah yang dipolesi bedak seadanya, juga pewarna bibir. Menambah cantik wajah ayunya. Hanya berjarak lima meter dari kursi jepara, Rinjani mematung diri di balik kursi. Sudirman sedikit terkesiap, dia memanggil Rinjani untuk ikut duduk. Mata itu masih saja menatap lantai marmer, sudah sangat dekat keberadaan Rinjani, sepatu pantufel berwarna hitam, celana bahan hitam, baju kemeja coklat tua. Rinjani menegakkan kepalanya, menatap tepat wajah laki-laki itu. Waktu seakan mengutuk di sana. Rinjani tergugu, lidahnya kelu, tubuhnya terasa huyung. Mata itu. Mata yang sudah pudar di masa lalu. Mata Rinjani membias jelas, dia hanya diam di samping Sudirman, menatap kosong ke bawah. Rinjani tak kuat menahan hatinya, dia ingin sekali berteriak, dan berkata tidak! saat itu, tapi dia tidak mampu.
Damar. Laki-laki yang datang melamar Rinjani. Tidak ada yang tau dia siapa, selain Rinjani sendiri. Luka lama yang telah hilang, kembali memerih. Sudirman memperbaiki posisi duduknya. Perbincangan tentang lamaran dimulai. Rinjani hanya diam, pandai sekali menahan bias yang menggantung di ujung matanya. Damar menyampaikan maksud kedatangan, Sudirman menyerahkan semua pada Rinjani, dengan wajah penuh harapan. Rinjani tergugu, tak satupun kata keluar dari mulutnya.
“Bagaiamana Rinjani, apa kamu menerima lamaran dari Damar?” Sudirman menatap harap pada Rinjani. Tak ada jawaban, Rinjani hanya diam.
“Rinjani? Bagaimana nak?” Sudirman mengulang pertanyaannya.