Bab 4 Kabar Duka
Kerlap-kerlip lampu jalan menyala terang. Warnanya berbeda di beberapa titik. Awan-awan berarak, menemani baskara yang berpulang ke barat. Tidak ada pertanda hujan di sana. Sisa tanah basah, tetesan air di atas daun, atau payung-payung terkembang. Langit Yogyakarta cerah malam itu. Mobil limusin melewati rumah-rumah berloteng, pemukiman kaum elite. Suasana masih saja lengang. Tidak ada perbincangan. Rinjani tidak lagi menghadapkan wajahnya pada kaca mobil, kini wajah itu miring ke arah laki-laki di sebelahnya. Dia tertidur. Damar hanya bisa menilik wajah Rinjani dengan kerinduan. Rindu ingin bercerita, rindu berbalas kisah. Tapi, Damar tidak mampu. Pedal gas melambat, sinar mobil menimpa satu buah jalan menuju sebuah rumah besar, atapnya bergaya tradisional joglo, dengan empat tiang utama bersusun khas berupa tiang-tiang berlapis. Mobil berhenti, sontak membuat Rinjani terbangun. Dia mengambil nafas sadar, matanya menyipitkan menatap sesuatu yang berada di depan. Rumah bercat putih, dengan ukuran yang cukup besar.
“Selamat datang di rumah kita, Rinjani,” Damar mengalihkan pandangannya pada Rinjani. Namun dia masih saja bergeming. Damar turun, mengambil barang bawaan, lalu kembali ke depan. Langkahnya terhenti di samping Rinjani yang sudah berada di luar mobil. Halaman rumah itu sangat luas, dengan kolam air di sudut rumah.
“Besok kita akan menanam bunga-bunga di halaman ini. Rose, Jasmine, orchid, sunflower, atau bahkan edelweis, agar rumah kita tampak indah dan asri. Penuh kesejukan, kedamaian, juga keharmonisan. Apa kamu bersedia menemaniku menanam bibit-bibit bunga itu?” Tidak ada jawaban. Tapi Damar tetap tersenyum, memandang damai wajah perempuan di sebelahnya.
Damar berjalan lebih dulu, Rinjani di belakangnya. Ada dua lampu teplok yang tergantung di samping pintu utama. Mata Rinjani menyelisik gerakan dari cahaya api dalam lampu itu. Tenang seperti meditasi. Damar mengambil kunci di sakunya, lalu membuka pintu rumah. Lantai berwarna putih bersih, mengkilap, kursi tamu dan lemari, dengan lampu gantung yang terlihat seperti lilitan bola permata di plafon.
“Kamu tau Rinjani, kenapa rumah ini didominasi warna putih? Aku menyukai warna itu. Bersih dan tenang. Seperti wajahmu. Aku ingin tetap tinggal di sini bersamamu. Nanti kita akan mengisi waktu, aku yang bermain gitar, dengan kamu penarinya, atau kita akan menyanyikan lagu-lagu lawas juga klasik kesukaanmu, hingga hitam dirambut kita memutih nantinya.” Mata Damar nampak berkaca-kaca, dia terus memandang Rinjani yang tidak sedikitpun berkutik.
“Sebegitu bencinya kamu padaku Rinjani? Kenapa hanya diam yang sedari tadi kamu suguhkan? Tidak apa-apa. Mungkin aku yang terlalu memaksamu. Barangkali kamu butuh istirahat, aku akan mengantarmu ke kamar.”
“Bisa antarkan saya pulang? Saya tidak ingin di sini.” Rinjani menatap nanap wajah laki-laki itu.
“Tidak Rinjani. Di sini rumahmu. Kamu adalah istriku. Kenapa kamu ingin pergi?” Damar berusaha mengendalikan nafasnya yang tersengal mendengar ucapan Rinjani.
“Ini bukan rumah saya Tuan.” Rinjani bersikeras, membancang diri.
“Aku bukan Tuanmu! Apa yang harus kulakukan agar kamu mau mendengarkanku? Aku tidak akan membiarkan kamu pergi lagi.” Damar menyergap tangan Rinjani, buram di matanya semakin jelas.
“Baik. Saya akan tetap di sini. Tapi dengan satu syarat,” Rinjani menantang mata Damar, berusaha melepas sergapan di tangannya.
“Apa syaratnya?” Wajah Damar pias.
Rinjani bergerak membalik posisi, membelakangi Damar. “Saya akan tinggal di sini, di ruangan saya sendiri. Tanpa siapapun.” Rinjani menundukkan kepala. Lantai marmer berwarna putih menyiratkan bayangan Rinjani di sana.
Malam membawa angin datang, menyelinap di sisi kosong ventilasi, merambat masuk, menyapu keseimbangan. Matanya kembali membias, semakin ditahan. Tidak ada yang boleh tau, apa yang berperang dalam hati keduanya malam itu.
“Baik. Apapun alasannya. Aku tidak akan membiarkan kamu pergi. Kamu akan selalu tetap di sini. Bersamaku.” Damar takzim menerima syarat itu.
Ada tiga kamar, berada di lorong pertengahan rumah. Deretan pertama milik Damar. Dua lainnya kosong. Rinjani memilih di ruang kamar paling belakang, barang-barang Rinjani, diletakkan Damar di sana, beserta dengan kuncinya. Rinjani beranjak masuk, ada keraguan ketika kakinya melangkah. Damar terpaku di depan pintu, memperhatikan Rinjani yang menutup pintu, meninggalkan dia sendiri.
Ruangan yang berukuran 6x5 meter, didominasi warna putih, sebuah dipan berukuran sedang, nakas dengan lampu tidur di atasnya. Ada dua sekat di ruangan itu. Bagian kiri kamar mandi. Dan bagian kanan adalah ruangan kosong berdinding putih bersih, dengan satu meja dan kursi yang mengungkung di tengah-tengah, juga jendela di sampingnya. Rinjani menyibakkan gorden, menatap lamat-lamat mencari hangat malam jika ada. Jendela itu menghadap ke timur, jika ingin melihat mentari datang, dia bisa menumpukan diri di tempat itu. Merenung di depan jendela saat malam, adalah hal menenangkan untuk Rinjani. Memicingkan mata, membiarkan angin datang, memeluk kesepian. Dia hanya ingin berdamai dengan keadaan, mencari titik pulang dari semua yang terjadi. Kepada buku itu Rinjani meginterpretasikan suka dukanya, menjadi teman, kekasih, juga dunia untuk Rinjani. Kembali dia keluarkan buku kecil itu, membuka lembaran selanjutnya di atas meja. Menuangkan kisah kesah yang terjadi.
Pukul 5 subuh. Rinjani terbangun. Dia tidur di meja semalaman. Buku itu masih terbuka, kembali Rinjani simpan di laci meja. Rinjani telat bangun pagi, segera dia bergegas mandi lalu shalat subuh. Baru saja hendak membuka pintu, langkahnya terselap seketika. Itu bukan kontrakan Rinjani, tapi rumahnya Damar. Rinjani terpegun, lantas meyakinkan diri untuk membuka pintu, lalu ke luar menyusuri rumah, sekitar lima belas menit. Dia balik ke kamar. Menyibakkan gorden menumpukkannya ke ujung, menunggu semburat fajar hadir di sana. Rinjani mengambil tas, mengeluarkan kemeja warna delima dengan rok hitam netral, lalu dia pakai. Kembali rambut itu disanggul, juga sedikit riasan di wajah. Ada cermin besar rangkap satu dengan lemari. Rinjani mematik dirinya, dia akan pergi pagi itu.
Aroma masakan tercium kuat. Mengundang indera pembau laki-laki yang sedang berjalan ke arah dapur. Ada sepiring nasi goreng juga segelas teh hangat di meja makan. Damar terpegun, senyum-senyum sendiri, menyantap lahap sarapan paginya. Segelas teh hangat sampai tegukan terakhir, diambilnya tisu yang terletak di kotak kecil di samping piring, Damar melekam selembar tisu, tapi itu bukan tisu, melainkan sebuah surat. Surat dari Rinjani.
“Selamat pagi Tuan.