Lo Siento, Te Amo

silvha darmayani
Chapter #5

Bab 5 Kembalinya Kepercayaan

Bab 5 Kembalinya Kepercayaan

Alunan musik flamenco semakin bertalu-talu. Petikan gitar, tepukan tangan, hentakan kaki castanet, sahut-menyahut. Ada beberapa jenis baile yang dibawakan, alegrias, bullerias, farucca di sudut-sudut kompartemen plaza. Orang-orang semakin ramai, melihat pertunjukan flamenco, berjalan di alun-alun, menyandar di balkon, juga mendayung perahu di kanal. Silir-semilir angin menyejukkan. Menggerakan daun-daun musim gugur. Berwarna orange, merah dan kuning. Sehelai daun luruh, lalu jatuh tepat di tanganku. Aku mengawainya. Daun maple, daun berbentuk jari, aku menyukainya. Aku tahu sedikit filosofi dari daun itu. Saat warnanya berubah seiring perjalanan musim, itu makna dari keharmonisan. Dan saat daun itu gugur hanya di musim gugur itu makna dari kesetian. Aku ingin mengumpulkan daun itu, satu, dua, tiga, atau sebanyak mungkin. Berharap bahwa keharmonisan dan kesetiaan itu benar-benar ada.

Laki-laki itu masih terkelu mendengar ceritaku. Hening, dengan mata yang mengarah pada kanvas yang sedang dia lukis. “Kenapa kau diam? Bukankah tadi kau yang memintaku bercerita?” Aku melihat wajah Gibran sekilas, daun maple itu masih melekam di tanganku.

“¿Crees en el amor, Adena? (Apa kau percaya cinta, Adena?)” Gibran menatap balik padaku.

Yo lo creo. Pero eso fue entonces, ahora no. (Aku mempercayainya. Tapi itu dulu, sekarang tidak.)” Aku berkata ketus pada Gibran. Aku benci pertanyaan semacam itu.

El amor es la razón de todo (Cinta adalah alasan semuanya). Damar laki-laki yang hebat. Dia luar biasa. Aku bebal dengan kisah mereka. Rumit dan menyedihkan. Kau belum mengatakan padaku apa alasan Rinjani membenci Damar. Jadi, apa alasannya?” Gibran mengernyitkan dahi, menatap serius.

“Aku tidak tahu Gibran. Bahkan hingga saat ini. Aku tidak tahu.” Mataku tetap menilik daun maple.

No sé qué decir, pero es triste, (Aku tidak tahu harus berkata apa, tapi itu menyedihkan) Suara Gibran pelan terdengar, kepalanya tertunduk. Aku terpegun. Mataku kembali mengarah pada permukaan air di kanal, sedikit bergelombang, mungkin karena dilewati banyak perahu.

Gibran mengangkat kepala, menatap jauh. “Kau tau? Aku termaktub dengan ucapan itu. Sudirman benar. Kita hadir untuk menerima, lalu memaknai setiap hal yang terjadi. Baik dan buruknya. Datang dan perginya. Ada yang datang membawa mimpi. Ada yang hilang dari sebuah kedatangan. Itulah hakikat kehidupan. Aku masih mengingat hal itu,”

“Mengingat hal apa maksudmu?” Aku menyipitkan mata, menyelidik maksud Gibran.

“Tidak ada. Lupakan saja.” Gibran memilih bungkam, dan beralih pada kanvas di depannya. “Jadi kau begitu? Memaksaku bercerita, sedang kau sendiri enggan untuk bercerita. Baik, aku tidak akan meneruskan cerita ini.” Aku mendelik, memalingkan wajah darinya.

“Baiklah Señora. Akan kuceritakan, tapi nanti. Jadi lanjutkanlah ceritamu dulu,” Gibran lebih lembut mengatakan itu. Aku percaya, itu tipu muslihatnya. Aku tetap bergeming. Gibran berdiri, mencari posisi di sebelahku.

“Kau merajuk? Sudahlah. Aku minta maaf. Dasar anak kecil!” Gibran mengejek, aku geram padanya. Aku membalik badan, lantas mendorong Gibran yang hampir terjerembab. Beberapa orang di atas jembatan melihat ke arah Gibran, tercengang, juga ada yang menahan tawa, sama sepertiku. Wajah Gibran merah padam. Dia bangkit, menepuk-nepuk pakaian.

“Kau puas Adena? Sudah mempermalukanku?” Gibran mendelik padaku.

“Tidak!” Aku menggeleng, menahan tawa.

“Hidupku selalu sial sejak bertemu dengan kau. Lebih baik aku pergi!” Gibran melepas kanvas yang direkatkan di sandaran, lalu membuka langkah.

“Kau mau kemana?” Gibran tak peduli, dia terus saja berjalan.

“Apa kau tidak ingin mendengar cerita selanjutnya?” Aku menilik langkah Gibran, suaraku lebih keras. Dia masih tidak berkutik. Aku sedikit merasa bersalah. Hanya sedikit. Tapi sudahlah, untuk apa memikirkan musuh bebuyutanku itu. Nafas kuambil dalam-dalam, membuangnya pelan. Aku akan melanjutkan pertunjukan flamenco siang ini. Tapi seseorang menyergahku dari belakang.

“Gibran! Kau? Bagaimana?” Aku terlangah. Laki-laki itu tiba-tiba saja sudah berada di belakangku. Cepat sekali dia mengitari alun-alun, mungkin kegesitannya dapat memecahkan rekor muri, atau bahkan bisa mengalahkan pelari nomor satu di dunia. Tetapi kenapa dia begitu lamban saat mengejarku tadi. Sudahlah. Apa peduliku.

“Kau tak perlu heran. Bermanuver sudah jadi keahlianku,” Kanvas itu masih berada di tangan Gibran. Dia kembali duduk meletakkannya lalu direkatkan dengan sandaran. “Jadi kau mau melanjutkan cerita itu? Berceritalah. Aku siap mendengarkan.” Gibran menatapku lamat-lamat. “Aku pikir kau sudah pergi jauh dari hidupku.” Aku menyeringai menatap Gibran.

“Sudahlah Adena. Ayolah. Setelah kau selesai menceritakan semuanya. Aku berjanji akan pergi dari hidupmu.” Aku menyipitkann mata, tidak percaya.

“Kau yakin dengan ucapanmu? Kau selalu membohongiku.” Aku menelik mata Gibran.

 “Aku berkata benar. Terserah kau mempercayai atau tidak. Jadi harus berapa lama aku menunggu? Aku ingin tahu, apa Rinjani dan Damar tidak akan pernah bersatu?” Gibran memasang wajah kalut, memelas. Aku memang sengaja membuat dia bersikap seperti itu. Lagipula tidak mungkin dia akan pergi.

El amor es la razón de todo (Cinta adalah alasan semuanya). Seperti katamu,” Angin sejuk menyapaku lagi. Membelai satu dua helai rambutku yang terlepas, aku menyelipkannya di daun telinga. Menghirum aroma musim gugur, menelabang di langit kota Seville, daun-daun yang berubah warna tertiup angin. Beberapa terlepas dari ranting luruh ke bumi. Begitu indah. Seindah dia dan senyumannya. Rinjani.

 

***

Lihat selengkapnya