Sisa-sisa embun bergelantungan di ujung daun, mengikuti garis takdir. Setetesnya jatuh menimpa tanah basah, menghadirkan ambu kesejukan. Pagelaran mentari masih menguncup, merapung di antara cahaya awan, belum mekar sepenuhnya. Dua merpati putih bertengger di atas genting. Bercengkrama di pagi hari. Satu merpati itu melagu merdu untuk merpati yang satunya. Begitu harmonis. Romantis sekali. Seperti sepasang kekasih yang sedang menikmati hari-hari bahagia. Rinjani dan Damar. Pagi yang indah di hari Minggu. Tidak ada pekerjaan, pergi ke kampus, atau pergi ke pabrik. Keduanya sedang meramu waktu bersama, berkebun di halaman depan. Seperti yang pernah Damar katakan, mereka akan menanam bunga-bunga di halaman itu. Rose, Jasmine, orchid, sunflower, atau bahkan edelweis, agar rumah tampak indah dan asri. Walau sebenarnya tidak memungkinan bunga edelweis tumbuh di sana. Rinjani hobi sekali bekebun sejak kecil, dia sudah terbiasa menanam bermacam tanaman, apalagi bunga-bunga. Dia menyukainya.
Sepatu bot, baju kaus lengan pendek, dan celana kombor, mereka mengenakan itu. Satu persatu bibit bunga mulai ditanam. Rambut Rinjani yang sebahu kini sudah mulai panjang, dia menguncirnya, agar tidak menganggu saat berkebun. Damar tetap berada di samping Rinjani membantu, sembari memperhatikan wajah istrinya itu, menggombali dengan rayuan, membuncah fokus Rinjani yang memerah wajahnya. Damar juga memodifikasi kolam air yang berada di sudut rumah, dia menernakan ikan mas. Tak butuh waktu lama, semua bibit bunga itu sudah rampung ditanam, Rinjani mengambil tong air, lalu lahan itu dia sirami. Hanya beberapa bagian yang terkena air, Rinjani terhenti, tubuhnya melemah, badannya huyung. Damar terkesiap, lantas mengejar Rinjani dan memapahnya ke dalam rumah. Baru saja mendudukkan diri di kursi depan, Rinjani terlalah ke toilet, dia mual-mual. Wajah Damar panik, sudah beberapa pagi istrinya seperti itu, mulai dari Rinjani kehilangan nafsu makan, lebih sensitif, kadang-kadang marah, sedih, emosinya pun berubah-ubah. Damar khawatir, takut terjadi apa-apa pada istrinya. Dia memutuskan membawa Rinjani ke dokter siang itu.
Adakah yang lebih indah dari sebuah kabar kedatangan? Benar. Dia telah datang. Tepat saat dokter menyampaikan kabar itu. Damar menitikkan air mata Haru. Rinjani positif hamil, usia kandungannya dua minggu. Adalah kejutan terbesar untuk mereka di bulan November di tahun itu. Suatu kebahagiaan yang tidak bisa diungkapkan, tak henti-hentinya Damar mengucap rasa syukur kepada sang pencipta. Damar berjanji akan menjaga Rinjani dengan baik, dari awal kehamilan hingga buah hati mereka lahir ke dunia. Dia akan menjaganya.
Perubahan demi perubahan terjadi pada Rinjani. Jika di trimester pertama, Rinjani sering mual, emosinya berubah-ubah, hilang nafsu makan, dan sering lelah. Pada trimester kedua, rasa mual itu mulai mereda, emosi Rinjani lebih terkendali, tubuhnya tidak lagi terasa mudah lelah, dan tidurnya pun lebih nyenyak. Rinjani bahkan terlihat lebih cerah dan cantik selama hamil. Perubahan fisik Rinjani mulai terlihat, perutnya semakin membesar. Meskipun begitu, dia tetap semangat menjalani pekerjaannya sebagi dosen di kampus, melakukan rutinitas sebagai seorang istri, berberes rumah, menyiapkan sarapan, makan malam. Dia juga menyediakan waktu untuk menyiram bunga-bunga di halaman depan yang mulai tumbuh mekar. Sangat indah. Seperti rumahnya di Surakarta, bunga-bunga itu direkondisikan, Rinjani memindahkannya ke beberapa pot. Rose, jasmine, dan sunflower di pot biasa, dan bunga orchid di pot gantung. Rinjani menyampirkan pot itu di sudut rumah, berdekatan dengan kolam ikan. Ikan di kolam itu pun juga sudah semakin banyak, yang kecil, menengah, bahkan besar juga ada di dalamnya. Rinjani juga menyempatkan diri mampir ke toko buku, membeli buku-buku seputar kehamilan. Terlebih Damar, dia sedikit lebih protektif terhadap istrinya itu. Sangat protektif. Memenuhi semua kebutuhan juga nutrisi selama masa kehamilan Rinjani, menemani untuk pemeriksaan ke dokter. Dia bahkan memangkas jam kerja, supaya lebih banyak waktu untuk menjaga Rinjani. Jalan tujuh bulan, acara syukuran Rinjani diadakan, tidak banyak yang diundang, seperti kolega Rinjani, rekan Damar, juga Tauke. Nurbaya, ibu Rinjani, juga Hasan dan Husein sudah datang sehari sebelum acara, Damar yang menjemput. Percakapan ringan dan hangat, juga gelak tawa terdengar ramai di ruang tengah, acaranya sederhana, namun bermakna bagi Rinjani dan Damar.
Berat badan Rinjani naik 10 kilogram, kakinya membengkak. Berhubung persalinannya yang tinggal hitungan hari, Rinjani rajin berolahraga, jalan ringan sekitar kawasan perumahan. Jika di akhir pekan, Damar yang akan mengawankan istrinya itu, memberi semangat, membimbing tangan Rinjani, mengajak bicara si buah hatinya. Kamar bayi pun telah dipersiapkan sebagus mungkin, tidak masalah apapun jenis kelamin bayi mereka, jelas yang terpenting lahir dengan sehat dan selamat itu yang terutama. Beberapa kali Rinjani mengalami kontraksi palsu sebelum kontraksi terakhir sebelum kelahiran. Pukul 3 pagi, Rinjani merintih kesakitan, ketubannya pecah, Damar sigap membawa Rinjani ke rumah sakit, sedia di samping Rinjani selama proses melahirkan, menguatkan istrinya.
Tanggal 30 Juli 1991 pukul 6:30 menjadi hari bersejarah bagi sepasang kasih itu. Dia telah lahir ke dunia tanpa kekurangan apapun, dengan berat 3,7 kilogram dan panjang 51 cm. Seorang putri cantik yang melengkapi kehidupan Rinjani dan Damar. Dia bernama ‘Saraswati’. “Terimakasih telah menempatkan aku sebagai bagian dari hidupmu. Terima kasih telah menjadi ibu dari anak-anakku. Aku mencintaimu.” Damar berbisik lirih pada Rinjani yang masih berkondisi lemah setelah melahirkan, dia tersenyum, senyum yang berseling dengan air mata bahagia. Saraswati akan menjadi keindahan sepanjang kisah kasih mereka, seperti namanya.
Masa diopname Rinjani telah berlalu di rumah sakit, dia sudah diperbolehkan pulang, walau belum sepenuhnya stabil, tapi begitulah Rinjani. Seperti ucapan Sudirman, dia adalah perempuan yang kuat. Sosok almarhum, membuatnya terpegun, andai Sudirman masih ada di tengah-tengah Rinjani, tentu dia sangat bahagia melihat cucunya telah lahir. Nurbaya yang menemani Rinjani di rumah, mengajarkan bagaimana cara menjadi ibu yang telaten mengurus bayi. Belajar memandikan, memakaikan gurita, juga membedung. Sejak Saraswati lahir, Damar lebih sering cepat pulang, alasannya karena rindu putri kecilnya itu, baru saja menginjakkan kaki di rumah, langsung box bayi yang dia tuju, mencium dan menggendong putrinya atau jika Saraswati tidur, Damar akan menyentuh hidung kecil mancung Saraswati, atau tangannya yang mungil dan lembut. Damar bahkan berniat mencari pengasuh anak untuk Rinjani, agar istrinya tidak kelelahan, Rinjani menolak tidak ingin menitipkan putrinya pada orang lain, Rinjani akan berusaha menjadi seorang ibu yang baik dan tulus untuk Saraswati, mengandung, melahirkan, menyusui hingga melihat Saraswati tumbuh besar. Itu janji Rinjani.
Rinjani mulai hari pertama mengajarnya, setelah cuti melahirkan selama tiga bulan. Rinjani tetap menyanggul rambutnya, dengan wajah yang dipolesi bedak juga pewarna bibir, terlihat segar dan jiwa keibuan tersirat jelas di wajahnya. Saraswati dijaga oleh Nurbaya, ibunya Rinjani. Jika putri kecilnya itu rewel, sudah disiapkan asi oleh Rinjani di dalam lemari pendingin. Seperti biasa, Rinjani akan menunggu Damar datang menjemput, atau Damar yang lebih dulu menunggu. Tidak ada lagi suasana hening, atau bungkam lagi di atas mobil, berubah hangat dengan cerita kebahagian, selang berseling dengan canda tawa.
“Menurut kamu apa Saraswati tidak kesepian di rumah sendiri?” Damar fokus membawa mobil ketika menanyakan itu, sekilas menatap ke arah Rinjani, matanya lurus menyusuri alur jalan.
“Saya juga berpikiran seperti itu Mas, di satu sisi saya adalah seorang ibu untuk Saraswati yang harus menjaga dan merawatnya seperti janji saya, bukan melimpahkan tanggung jawab saya ke Ibu. Tapi di sisi yang berbeda, ada tanggung jawab lain yang harus saya jalankan sebagai seorang guru di kampus,” Rinjani sedikit berat mengatakan itu, kepalanya menunduk.
“Mas tau itu hal yang pelik bagimu. Bagaimana jika Sarawati kita kasi adik baru, supaya dia tidak kesepian di rumah,” Rinjani yang mendengar ucapan Damar, mencubit lengan suaminya, Damar cengengesan, dia sengaja mengatakan itu, sekadar ingin melihat pipi Rinjani memerah kembali. Rinjani bersitatap jengkel pada Damar,
“Mas, ada yang mau saya bicarakan,” Suara Rinjani pelan tapi pasti, Damar menaikkan alisnya sebelah.
“Bicara apa sayang?” Rinjani kembali berwajah ringis, sudah lama sekali suaminya tidak merayu Rinjani. “Mas, saya serius.” Rinjani menatap telak.
“Iya Mas dengar,” Damar menuruti.
“Ada beasiswa S3 di kampus, untuk melanjutkan studi di universitas terbaik di kota Seville, Spanyol,” Rinjani kelu melanjutkan.
“Ya, lalu?” Damar tidak berkelit, pandangannya fokus ke depan sesekali beralih kepada Rinjani.