Satu persatu perahu tertambat kembali ke limbung, tersisa enam perahu yang disadau oleh beberapa penumpang. Tiga perahu berisi pasukan paruh baya, juga sepasang kekasih yang begitu romantis, sudah tidak ada. Barangkali mereka telah pulang. Beberapa orang berdiri di atas jembatan Castille, Aragon, Navarre, dan Loon, mengamati kanal, juga berfoto. Di alun-alun juga tidak terlalu ramai yang berjalan, mungkin karena gelap hampir tiba, pertunjukkan flamenco masih berlanjut di beberapa kompartemen setiap sudut, juga ada yang duduk bersantai menikmati keindahan plaza, angin tak henti bertiup, lembut dan sejuk menyapu pergerakan dedaun yang berserakan, juga mengugurkan daun dari ranting kayu. Mataku kini menelik air mancur Vicente Traver Fountain. Tidak ada yang berubah, masih sama, mengalir begitu saja.
“Aku pikir mereka tidak akan pernah bersatu. Ternyata dugaanku salah.” Aku diam mematung, tidak menyahut perkataan Gibran.
“Kau tahu? Aku pikir Saraswati itu kau Adena, ternyata aku salah lagi,” Aku tersedak, seperti ada yang mengganjal di kerongkonganku, seketika mendengar ucapan Gibran, mataku berkelik padanya.
“Apa kau tahu? Aku juga tidak pernah ingin menjadi Saraswati. Apa kau pikir itu menyenangkan? Tidak! sama sekali tidak.” Suaraku ketus, sesaat semua terlintas, aku benci mengingatnya, entah kenapa bias di mataku rasanya tertumpuk, aku berusaha mencabar dan menahan, aku tidak mau menangis di depan Gibran.
“Hei! Apa kau menangis? Sudahlah. Apa kisah ini yang membuat kau selalu bersedih ketika melihat perahu di kanal? terlebih di hari ulang tahunmu?” Gibran menyipitkan mata, menyelidikku. Aku melengos darinya sengaja.
“Kau tidak perlu tahu. Itu tidak penting!” Aku berkata keras.
“Baiklah señora. Akan kucari tahu sendiri. Apa kau pikir aku bodoh? Tentu tidak, aku tidak sepertimu,” Gibran mengolok-olokku.
“Apa kau bilang aku bodoh? Kau itu yang bodoh! Sudahlah, bukankah kau berkata akan pergi dari hidupku, jadi pergilah sekarang!” Aku mendelik geram padanya.
“Bisakah kau lebih tenang sedikit señora? Aku akan pergi, tapi setelah kau menyelesaikan kisah ini, kau tau? Gelang untir yang kau pakai, persis seperti gelang dalam cerita kau ini, apa itu gelang dari Sandi?” Aku kelu, memang ada gelang di tanganku.
“Bukan. Pasti itu jawabanmu. Sudahlah, aku juga tidak peduli dengan gelang itu. Aku hanya ingin tahu apa hubungan Rinjani, Damar, juga Saraswati dengan kau, Adena? Kau belum memberitahuku. Dan satu hal lagi, menurutku keluarga mereka hidup bahagia. Bahkan sangat bahagia, bisa kurasakan dari kebahagian ketiganya.” Gibran kembali melekam kuas, menyentuh kanvas, wajahnya cerah mengatakan itu.
“Kau salah Gibran! Kau tidak tahu, apa yang terjadi setelah itu.” Aku merasakan bias itu semakin menggerogoti mataku, aku tidak mampu mencegatnya, pecah dan jatuh di ujung mataku sebelah kanan. Aku masih menyembunyikannya dari Gibran.
“Jadi, apa yang terjadi?” Gibran berhenti melukis, berkutat menduga-duga jawabannya, dahinya berkerut. Tapi, tidak satupun jawabannya benar.
“Kau tau Gibran? Itu senyum terakhir Saraswati. Tidak ada lagi kebahagian setelah itu. Tidak ada.” Gibran terpegun, lamat-lamat memahami ucapanku. Nafas kuhela pelan, mencari ruang keteguhan jika ada. Walau harus kutikam hatiku saat mengulang kisah itu. Tidak apa. Aku melanjutkannya.
***