Lo Siento, Te Amo

silvha darmayani
Chapter #8

Bab 8 Rinjani Pergi

Pelik sekali hal itu. Saraswati menatap nanap wajah Rinjani, terisak, berusaha menepis air matanya yang jatuh. Damar mengejar, tertinggal 5 langkah di belakang. Tangan Saraswati terlepas dari Rinjani yang tersaruk kakinya di tabir tangga, keseimbangan Rinjani hirap, tubuhnya terselusur ke bawah. Pekik suara Saraswati pecah, di depan matanya semua berlangsung. Staf-staf lantai dua berhamburan keluar, memastikan apa yang terjadi. Damar lekas meraih Saraswati ke pangkuannya, terlalah menuruni anak tangga. Tubuh Rinjani tertelentang lemah di bawah, darah segar mengalir dari sela-sela rambutnya, berceceran di lantai putih. Damar berteriak kepada resepsionis untuk menghubungi pihak rumah sakit segera mengirimkan ambulans ke pabrik. Saraswati diturunkan, dia terkapah menilik Rinjani yang tidak berdaya. Damar menopang kepala Rinjani dengan kedua tangannya, sabak tersirat jelas di wajah Damar, tergugu, penyesalan hadir di setiap nafasnya yang tersengal. Lima menit ambulans datang, tergopoh Damar mengangkat tubuh Rinjani, Saraswati menguntit papanya masuk ke ambulans. Sirine berbunyi, mengiringi perjalanan menuju rumah sakit, Petugas melakukan penanganan pertama gawat darurat. Saraswati memanggil mamanya itu, samar-samar terdengar, Damar memangku Saraswati, mengatakan padanya semua akan baik-baik saja. Sebuah kereta dorong telah dipersiapkan setiba ambulans sampai di rumah sakit, Rinjani dibawa ke UGD, pendarahan di kepalanya belum kunjung berhenti.

Di kursi tunggu keduanya terkelu. Saraswati menekur menatap tas punggung yang dia bawa, air matanya bertitik di atas tas itu, mengamitkan doa untuk mamanya berulang-ulang. Damar tersimpuh, punggungnya bersandar ke dinding, keadaan itu membuatnya terenyuh. Itu pertama kali Saraswati melihat papanya menangis. Setengah jam mereka menunggu, petugas medis berseragam putih keluar, wajahnya datar tertunduk, meminta Damar untuk masuk ke dalam. Lilitan infus terpasang di tubuh Rinjani, balutan perban di bagian kepala, terlalah Damar menuju istrinya itu, meraih tangan, meminta maaf, disertai air matanya yang jatuh. “Maafkan aku Rinjani, Maafkan aku.” Suara Damar lirih, matanya memerah. Rinjani tidak dapat bergerak banyak, matanya saja bahkan tidak berkedip, penuh dengan bias.

”Apa saya salah ditakdirkan tuhan mencintaimu? Apa saya salah ditakdirkan tuhan bersatu denganmu? Apa saya salah ditakdirkan untuk hadir di hidupmu?” Suara Rinjani hilang-hilang timbul. Bias-bias mengaburkan mata Rinjani, pecah di ujung, merabas di pipinya. Saraswati berada di samping mamanya itu, memanggil tergugu-gugu.

“Berkali-kali saya mencoba untuk berdamai atas kejadian beberapa tahun yang lalu, menepis rasa sakitnya, membuang keegoisan saya. Sampai pada satu ketika kepercayaan itu datang kembali, kepercayaan yang telah lama hilang, kepercayaan saya kepada seseorang yang begitu saya cintai. Membangun kehidupan baru bersamanya, hingga seorang bidadari kecil hadir, menambah kebahagian dan rasa cinta itu hingga tumbuh mekar. Bukankah dia sudah berjanji untuk mencintai saya, dan juga putrinya? Bukankah dia sudah berjanji untuk selalu mengenggam tangan ini, saat bahagia maupun di saat kesedihan? Bukankah dia sudah berjanji untuk selalu setia? Tapi dia mengkhianati janjinya. Dia mengkhiantinya,” Ucapan Rinjani bersamaan dengan air matanya yang jatuh. Itu air mata kekecewaan pada Damar. Damar mengkhianatinya.

“Tidak Rinjani. Aku tidak pernah mengkhianatimu. Setelah hal yang pernah terjadi di masa silam. Janjiku pada tuhan, untuk selalu mencintaimu, dan mencintai putri kita, Saraswati. Apa yang kamu lihat tadi, itu tidak seperti yang kamu pikirkan. Beri aku waktu untuk menjelaskan kebenarannya. Aku mohon, aku hanya akan mencintaimu. Hanya itu,” Damar menggengam erat dan menatap lekat Rinjani, genggaman itu berusaha dilepaskan Rinjani perlahan. Dia memanggil putrinya, Saraswati, sayup terdengar. Saraswati meraih tangan mamanya, dia tidak bicara apapun. Diwakilkan oleh tangis yang ditahannya.

“Saraswati. Kamu adalah anak Mama yang paling cantik, paling hebat, paling kuat, kamu bunga hati Mama. Boleh Mama meminta sesuatu padamu?” Saraswati mengangguk pasti.

“Mama ingin kamu tetap menjadi putri kebanggan Mama, kebanggan Papa, kebanggaan semuanya. Kamu sudah berjanji bukan untuk menjadi putri yang kuat? Maka kuatkanlah hatimu Nak, jangan menangis, meski Mama sudah tidak lagi di sampingmu. Selamanya kamu akan selalu ada di hati Mama.” Kata itu tersemat di hati Saraswati. Dia berjanji tidak akan menangis pada mamanya, tidak akan. Damar tidak melayangkan pandangannya dari Rinjani, tetap di sana.

“Apa yang harus aku lakukan agar kamu bisa mempercayaiku lagi Rinjani?” Damar berbisik lirih.

“Saya sudah berjanji untuk berdamai dengan takdir ini, saya menerima semua yang terjadi. Baik dan buruknya, datang dan perginya. Saya sudah ikhlas. Berjanjilah untuk menghidupkan kisah ini dalam keabadian, meski setelah ini kita akan berpisah. Berjanjilah untuk tidak menangis, meski takdir pelik harus datang silih berganti. Hanya itu yang saya inginkan. Terima kasih sudah menjadi bagian dalam hidup saya.” Rinjani terkatung-terkatung mengucapkan itu. Nafasnya tersengal, meminta Damar membisikkan kalimat syahadat, Damar membisikkan pelan, Rinjani mengikutinya. Di ujung kata, mata itu mulai terkatup menitikan sebulir air yang jatuh terakhir. Saraswati memanggil mamanya, tidak ada lagi sahutan. Rinjani hanya diam. Saraswati terpegun, melihat tubuh mamanya itu terbujur kaku, dia mengenggam tangan Rinjani, berharap mamanya itu akan tersenyum, dan memeluk dirinya hangat. Perawat menyelimutkan kain putih ke badan Rinjani penuh, menutup wajahnya. Rinjani sudah pergi. Jauh sekali. Meninggalkan Damar dan Saraswati untuk selama-lamanya. Itu duka terberat. Hari paling menyesakkan. Damar menangis, istrinya telah pergi. Saraswati, dia bergeming, mematung, matanya dipenuhi bias, kuat ditahan. Dia sudah berjanji tidak akan menangis. Saraswati sudah berjanji.

Dokter mengatakan, kerasnya benturan di kepala Rinjani menyebabkan cedera berat pada otak, mengakibatkan pembuluh darah di bagian otaknya pecah, petugas rumah sakit sudah berupaya semaksimal mungkin, berharap kesempatan Rinjani untuk bertahan masih ada, namun lain rencana tuhan, nyawa Rinjani tidak dapat tertolong.

Kabar duka itu telah tersiar, hari itu juga jenazah Rinjani akan dikebumikan di Surakarta, di samping makam bapaknya, Sudirman. Banyak yang datang kolega-kolega Rinjani, kawan-kawan dosen, mahasiswa-mahasiswanya, berwajah murung. Terperangah mendengar berita duka itu. Langit mendung, rintik-rintik hujan turun, melepas Rinjani pergi. Di tanah pemakaman, dia terpaku, menatap nanap mamanya yang pergi jauh. Bunga kamboja jatuh setangakai, menimpa tanah, beraroma basah, bukan karena air yang turun dari langit, tapi air mata kesedihan. Lelaki itu tidak berkedip, sabak di matanya kuat ditahan. Terisak tangis luruh ke dalam hatinya. Duka yang sangat berat. Berat sekali. Melepas kekasih yang paling dicintainya. Pergi ke tempat yang jauh, menuju keabadian. Rinjani tidak akan pulang. Di genggaman tangannya gadis kecil itu mematung menatap gundukkan tanah dengan batu nisan terpancang di atasnya. Saraswati anak yang hebat, seperti yang dikatakan mamanya. Dia anak yang hebat. Hanya kesunyian yang akan hidup setelah itu, tidak ada sentuhan lembut yang menghangatkan tubuhnya, tidak ada senyuman yang akan menghias hari-hari Saraswati. Tidak ada lagi.

“Mama sudah pulang ke rumah Nak, Mama sudah pulang.” Damar berkata lirih pada putrinya itu, memeluk dengan gemetar yang ditahan.

Lihat selengkapnya