Secangkir kopi terletak di atas meja makan, asapnya menguar jelas, masih penuh belum dia seruput. Selepas subuh, lantai-lantai sudah bersih disapu, sarapan juga telah rampung. Pelipisnya dihinggapi peluh, disekanya berkali-kali. Melelahkan benar. Terpegun Damar, terbayang pengorbanan almarhum istrinya, Rinjani yang tidak pernah mengeluh, sabar dan tenang hati mengemban tugas di rumah. Kenangan tentang Rinjani, akan selalu hidup, sampai kapanpun. Damar sudah belajar cara memasak nasi goreng dan telur dadar yang baik dan benar, temannya yang memberitahu sewaktu di pabrik. Pukul setengah 7 pagi, wajah Damar cerah, berharap Saraswati menyukainya. Damar berjalan menuju kamar Saraswati, mengetuk pintu, memanggil putrinya. Pintu terbuka setelah tiga kali diketuk, Saraswati keluar, sudah rapi dan bersih. Rambutnya digeraikan, dengan bedak yang bertabur acak di wajah yang terlihat polos sekali, biasanya Rinjani yang selalu menata bedak di wajah Saraswati. Damar memuji Saraswati, mengatakan dia bidadari kecil yang cantik, mandiri, dan hebat. Saraswati hanya diam, namun senyum Damar tetap sempurna untuknya, dia menggenggam tangan Saraswati ke meja makan. Setelah kejadian hari lalu, Damar berjanji tidak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi lagi pada Saraswati.
Cukup baik nasi goreng itu dilahap Saraswati, dia mengulang suapan berikutnya. Damar senyum memandang lama wajah putrinya, bertanya tentang rasa nasi goreng buatannya
“Nasi goreng buatan Papa, sedap kan?” Saraswati mengangguk patah-patah, itu cukup menghilangkan kesedihan Damar, meski interaksi mereka belum kembali seperti dulu. Damar akan tetap berusaha mengembalikan senyum merekah Saraswati.
Telepon rumah berbunyi, letaknya di ruangan tengah. Damar menghentikan makan, beranjak untuk mengangkat telepon. Itu telepon dari tauke yang menanyakan kondisi Saraswati, cucunya. Damar menjawab Saraswati sudah lebih baik. Tauke juga memberitahu dia dan istrinya akan beranjangsana ke rumah Damar pagi itu, ada hal yang ingin dibicarakan. Damar terperangah, memikirkan sesuatu, lantas dia sedikit terkesiap saat tauke mengulangi ucapannya. Dengan senang hati, Damar menunggu kedatangan tauke. Telepon ditutup, sarapan masih terbengkalai di meja makan, Damar meneruskan. Sepuluh menit setelah itu, keduanya telah siap sarapan, sisa piring-piring kotor, diangkat Damar ke dapur, lalu kembali. Dia akan mengganti pakaian, bersiap-siap menunggu tauke dan pergi ke pabrik. Baju kemeja abu-abu tua dan celana dasar hitam, setelan Damar hari itu. Damar mengingat putrinya. Saraswati masih duduk di meja makan. Tapi, tidak ada. Damar memanggil, dan mencari ke kamar. Pun tidak dia jumpai di sana, terlalah Damar menuju teras depan, ternyata Saraswati sedang di kebun, menyiram bunganya yang banyak layu. Damar bernapas lega, segera diambil tong air ikut menemani putrinya menyiram bunga di kebun. Secercah sinar bertelau-telau, instrumen burung merpati di atas genting menambah harmonis lama, tetap berpadu rapi seperti biasa. Damar mengisi tong air, mengikuti putrinya menyiram bunga yang belum disiram. Sebuah mobil limusin berwarna hitam datang, dan parkir di sebelah mobilnya Damar. Pintunya dibuka, ternyata itu tauke, memakai baju sikap dan istrinya yang selalu memakai kebaya, dengan rambut bersanggul, beberapa helai ubannya tersirat. Mereka tersenyum melihat Saraswati. Ada sesuatu yang dibawakan untuknya, tauke memanggil Saraswati, menyerahkan sebuah kandang kecil yang di dalamnya ada seekor kucing, warna bulunya abu-abu tua dan tebal, persis seperti baju papanya Saraswati, Damar. Saraswati meletakkan tong air miliknya, mengambil kucing yang dikeluarkan tauke dari kandang, Saraswati mengelusnya lembut, mendekap kucing itu. Dia menyukainya. Damar menyuguhkan tauke dan istri duduk. Tong air dipindahkan Damar di sudut dekat kolam. Percakapan ringan menyelingi langkah, mereka duduk di kursi teras. Damar membuatkan teh hangat, lalu diletakkan di atas meja.
“Bagaimana keadaan Saraswati? Apa benar-benar sudah membaik kondisinya?” Tauke memperhatikan Saraswati yang masih dengan kucingnya, bergelut, dia masih bermain di kebun.
“Saraswati sudah membaik, hanya kedinginan saja kemarin,” Damar menyuguhkan teh untuk diminum tauke dan istrinya.
“Syukurlah. Dia anak perempuanmu yang hebat. Persis seperti istrimu, Rinjani.” Damar tersenyum simpul mendengar ucapan tauke.
“Bagaimana dengan pabrik?” tauke menyeruput teh. Diikuti istrinya.
“Sejak kebakaran yang terjadi waktu itu, pabrik dalam kondisi pemulihan, menuju titik stabil. Kita tidak tahu apakah masih pihak yang ingin mengecam, entah itu pihak dari luar maupun dalam, tauke tidak perlu khawatir sistem keamanan pabrik sudah diperharui, dan lebih ditingkatkan, penjagaanya, juga penambahan cctv di berbagai area tertentu,” Damar meyakinkan.
“Itu perlu, aku yakin padamu. Kau adalah kepercayaanku Damar, kau punya solusi untuk setiap masalah. Itu alasan kenapa aku mengangkatmu sebagai anak, kau bisa diandalkan. Seperti yang kusampaikan pagi tadi, ada hal yang bicarakan padamu,” Tauke melirik pada istrinya, memberi anggukan meyakinkan tauke. Damar penasaran, wajahnya serius.
“Aku dan istriku sudah membicarakan hal ini semalam, aku tahu sejak istrimu meninggal, tidak ada yang mengurus Saraswati, dia di rumah sendirian jika kau pergi ke pabrik. Kalau kau menitipkan pada Nurbaya, neneknya. Aku pikir Nurbaya pun jauh di Surakarta, mengurus rumah di sana, juga anak-anaknya seperti katamu. Jadi, bagaimana kalau Saraswati dititipkan saja di rumahku, aku dan istriku yang akan menjaganya selama kau di pabrik.” Ucapan tauke takzim. Damar yang melihat ke arah Saraswati bermain. Kucing itu berlari ke arah kursi tempat mereka duduk, Saraswati mengejar, menangkap dan mendekapnya cepat. Istri tauke memanggil Saraswati ramah, menyuruh duduk di pangkuannya, Damar berkutat, memikirkan penjelasan tauke.
“Kau jangan berpikir akan merepotkanku. Tidak. Sama sekali tidak. Dari dulu aku ingin rumahku dipenuhi suara anak-anak, senang rasanya. Saat cucu-cucuku di sana, pun Sandi hanya sesekali. Kau tidak perlu khawatir, banyak orang yang akan menjaganya.” Tauke kembali meyakinkan Damar. Saraswati duduk di pangkuan istri tauke, sibuk membelai kucingnya
“Baiklah.” Damar menyetujuinya. Mulai hari itu Saraswati akan dititipkan di rumah tauke. Tas berisi keperluan Saraswati disiapkan. Mobil keluar dari pelataran rumah Damar, mereka sama-sama berangkat pagi itu. Setiba di rumah tauke, ada perawat, khusus disiapkan tauke untuk menjaga Saraswati. Damar bersilutut, sejajar menatap wajah putrinya. Saraswati akan berada di rumah tauke, sampai papanya pulang dari pabrik. Saraswati akan aman di tempat itu, Damar meyakinkan, mencium rambut Saraswati. Dia sangat menyanginya. Damar melambaikan tangan pada Saraswati, lalu masuk ke mobil dan pergi. Saraswati menatap lama mobil itu hingga hilang. Istri tauke meraih tangan Saraswati, kucing yang dibawanya terletak di dalam kandang, dibawa oleh perawat. Di sana Saraswati akan menunggu papanya pulang.
Seharian di rumah tauke, Saraswati bermain di sana, dia juga mudah akrab dengan perawat. Saraswati sudah mandi sore, dan mengganti pakaian, dia memakai baju kaus bermotif bunga dengan rok senada, rambut Saraswati dicepol dua, istri tauke yang menatanya. Sejak jatuh di kolam ikan waktu itu, Saraswati takut ke sana, dia lebih memilih berada di dalam rumah. Tauke membangun taman baru di belakang, untuk Saraswati bermain, apapun dia lakukan untuk cucu kesayangannya itu.
Klakson mobil berbunyi, Saraswati akrab dengan suaranya. Saraswati mengambil tas, memasangnya ke punggung, berjalan ke luar menuju teras. Itu mobil papanya. Damar sudah pulang dari pabrik, di tangannya ada kantung plastik, berisi gudeg diberikan untuk tauke dan yang lain. Damar mengenggam tangan Saraswati, hendak masuk ke mobil, namun Saraswati berbalik dia melupakan sesuatu, beruntung perawat membawakan kandang kecil yang berisi kucing, meletakannya ke dalam mobil. Tauke dan istrinya melambaikan tangan, mobil beranjak dari pelataran rumah, Saraswati pulang.
Awan-awan jingga menyeruak, matahari berada di kaki langit, senja telah datang di kota Yogyakarta. Aktivitas komuter terlihat, juga sepeda-sepeda ontel dan becak. Mobil limusin memasuki kawasan perumahan berloteng, sampai di jalan menuju rumah putih beratap joglo. Berhenti dan diparkir di sana. Saraswati membawa kadang kecilnya turun, segera mengeluarkan kucingnya. Damar akan mengajak putrinya jalan-jalan malam itu.
Ada gudeg sebagai menu makan malam. Saraswati menghabiskan porsinya. Selepas makan, Damar yang sudah berkemas diri, memakai baju kaus kasual putih, dengan celana jeans biru, Saraswati tidak mengganti pakaiannya. Pukul 7 malam, mereka berang kat, Saraswati tidak tahu kemana papanya akan membawa pergi jalan-jalan. Saraswati memilih diam, tidak memperwujudkan keingintahuannya. Sebuah gedung seni, ke sana Damar mengajak Saraswati. Itu Gedung Seni Sleman, ada pertunjukkan seni malam itu, ketoprak, opera, keroncong, teater, juga bermacam tarian, Damar mengatakan itu pada Saraswati. Mereka turun, tangan Saraswati digenggam erat papanya. Ramai yang berdatangan, menyaksikan pertunjukkan seni, matanya mendelik, menatap kagum.
Selang berseling pertunjukan yang tampil. Damar juga menceritakan bahwa Rinjani dulu, juga sangat menyukai seni, bahkan terlibat dalam berbagai kegiatan atau pertunjukkan seni. Dan itu adalah alasan kenapa Damar jatuh cinta padanya. Saraswati memahami ucapan papanya, dalam hati Saraswati berjanji, dia akan meyukai seni seperti mamanya. Pertunjukkan telah berakhir pada pukul 10 malam, orang-orang meninggalkan tempat duduknya, berbalik pulang. Saraswati terlayap, Damar menggendong putrinya ke mobil. Mereka juga akan pulang. Gerimis turun, membungkus kota, disertai desauan angin yang mengibaskan embun menyentuh jalanan dan daun-daun. Mobil telah sampai di depan rumah, Damar mengambil payung yang terletak di bawah kursi kemudi, dia selalu meletakkannya di sana. Tangan kanannya memegang payung yang terkembang, Saraswati, didekap di bahu kiri, pulas sekali tidurnya. Semakin lebat hujan yang turun, segera Damar menuju beranda, membuka pintu masuk. Saraswati langsung diantarkan ke kamar, diturunkan dari pangkuannya. Rambut yang masih dicepol dua itu, dilepaskan Damar, terurai kembali, begitu halus dan lembut. Bulu mata yang melentik panjang, hidung kecil mancung, persis seperti Rinjani. Lama Damar menilik wajah Saraswati. Sudah pukul 11 malam, hujan belum juga teduh, rintik demi rintik yang jatuh terdengar menimpa genting. Damar beranjak keluar, menutup pintu kamar, sebelum pintu tertutup rapat, dia menatap wajah itu sekali lagi, memastikan Saraswati baik-baik saja. Damar menyayangi putrinya itu.
Air yang turun dari langit, telah hilang bersamaan dengan malam. Secercah sinar mentari pagi merambat masuk, terlihat dari gorden jendela yang disibakkan ke ujung. Rumah sudah bersih, sedari pukul 5 pagi sudah dirapikannya. Di atas meja makan, sudah terletak sarapan di sana. Sisa perlengkapan Saraswati selama berada di rumah tauke, dimasukkan Damar ke dalam tas bergambar kartun. Gaun katun berwarna biru muda, dengan bando yang senanda, dipasangkan Damar selepas menyisir rambut putrinya yang tergerai. Sembari memasangkan tas ke punggung Saraswati, dia tersenyum. Berharap putrinya itu akan riang kembali seperti biasanya, tetapi belum. Hanya tatapan datar dan kosong yang tersirat. Tangan mungil Saraswati digenggam papanya, mereka berjalan menuju meja makan, bersiap untuk sarapan. Nasi goreng dengan telur dadar, juga segelas teh hangat. Saraswati hanya minilik tak berselera tidak dijamah sedikitpun. Saraswati murung, namun terbuyar saat ada sesuatu yang mengawai kakinya, Moly, itu nama kucing pemberian tauke, tengah bergelut di kaki Saraswati, cepat-cepat dia turun dari kursi, mengancang untuk menangkap kucingnya ( Moly) . Namun kalah telak, gesit Moly lebih dulu mengalicau, berlari menyurusuri lorong rumah. Saraswati berusaha mengejar kucingnya. Ada selembar kertas yang terjatuh dari tas Saraswati, bagian depan resletingnya terbuka. Damar meninggalkan nasi goreng yang tersisa sebagian, dia menyipitkan mata melihat kertas itu, namun samar-samar dari jauh, didekati kemudian diambilnya. Sebuah gambar yang dibuat oleh Saraswati, terlihat seorang ayah yang menggenggam tangan anak perempuannya, sedang berjalan di taman, banyak anak-anak kecil sedang bermain dan belajar. Damar menelik arah Saraswati yang duduk mendeprok di lantai, mendekap Moly yang berhasil disergapnya. Damar ikut duduk, di tanganya mengenggam gambar milik Saraswati.
“Anak Papa, ternyata jago menggambar ya,” Damar membelai lembut rambut Saraswati, gadis kecil itu hanya menunduk, mengelus-elus kucingnya.