Matahari sudah mulai merendah ke barat, sinar keemasan yang bertabur dengan hawa musim gugur memantul di dinding plaza, mempertegas ukiran bangunan megah berbentuk ruang terbuka semi lingkaran, berarsitektur moorish itu. Orang-orang berjalan di alun-alun tersisa sedikit, di balkon hanya beberapa saja yang berfoto, penari-penari sudah banyak yang menyelesaikan tariannya. Di kanal ada empat perahu yang melaju, menyadau dengan pelan menunggu matahari tenggelam di pukul 6 petang. Lampu-lampu klasik belum menyala, sebentar lagi. Tiga jam lebih bercerita, membuat kakiku terasa pegal, terlalu lama berdiri. Aku berusaha menyegarkan otot-otot dengan melakukan sedikit peregangan ringan. Mengenang kisah itu, kembali melarutkanku dalam kemasygulan, seperti kata Gibran, aku harus berdamai. Tapi, tidak bisa. Aku masih membencinya.
Gibran, dia mematung di antara aku dan kanvas miliknya. Perekat di kanvas itu dilepas dari sandaran, entah apa yang laki-laki itu lukis, tidak mau memperlihatkannya padaku. Gibran berdiri, tangan kirinya memegang kanvas, dan meraih tanganku dengan tangan kanannya. “Ikuti aku Adena.” Aku mengutuk pada Gibran, dia membawaku berkelik, turun dari jembatan melewati alun-alun. Gaunku menyapu lantai marmer. “Hei! kemana kau membawaku Gibran? Lepaskan tanganku!” Aku geram, mengibaskan tanganku agar lepas dari genggaman Gibran, dia tidak menjawab apapun. Di atas titian Gibran menghentikan langkah. Berjarak 2 meter dari tepi kanal. Perahu-perahu yang kosong tertambat di limbung. Di sana Gibran memberhentikanku, aku memaksa tanganku lepas. Aku benar-benar jengkel pada laki-laki gila itu. Tapi hanya sebentar, teralihkan oleh penjaga perahu, tersenyum padaku. Aku mengenalnya. Begitupun dengan dia. Meski sudah lama tidak naik perahu di kanal. Bibi Lia dan aku sering bertegur sapa dengannya, saat akan pulang dari pertunjukkan flamenco di plaza. Namanya Señor Erlando
“Lihat! Ada sepasang kekasih yang ingin naik perahu,” Penjaga itu berbahasa spanyol fasih. Aku dan Gibran terkesiap mendengar ucapanya.
“Lo Siento Señor, aku bukan kekasihnya,” aku tersenyum seringai memandang Gibran.
“Apa kau pikir aku juga ingin menjadi kekasihmu? Tidak Señora. Tidak. Jangan harap!” Gibran memelongos. Dia kembali fokus kepada penjaga yang tertawa renyah melihat perdebatan kami.
“Apa aku bisa menyewa perahumu Señor? Hanya untuk satu jam ke depan,” Gibran bicara dengan penjaga itu. Aku menebas ucapan Gibran.
“Kau ingin membawaku naik perahu? Aku tidak mau!” Aku meringis, membentaknya. Tapi Gibran mengacuhkanku.
“Tentu saja. Aku akan menyewakannya gratis untuk kalian berdua. Jadi, tidak usah bertengkar lagi.” Señor Erlando terkekeh, situasi itu sangat menjengkelkan karena Gibran. Perahu itu dilepas dari tali perekat, disisihkan ke tepi titian. Gibran berjalan lebih dulu. Aku bergeming,
“Ayo Adena, naiklah ke atas perahu,” Aku tetap tidak mendengarkan. Gibran meraih paksa tanganku. Memberi ruang untuk naik ke atas perahu. Duduk saling berhadapan. Lukisan di tangan Gibran dia telungkupkan, sengaja, supaya aku tidak tahu.
“Gibran, Kau!” Aku menimpuk pundak Gibran, tapi tidak jadi. Aku seketika terdiam, saat benar-benar sudah duduk di atas perahu. Tiba-tiba rasa itu muncul kembali, mengungkungku. Gibran mulai menggerakan pendayung, menyadau perahu yang bergerak pelan. Aku memeluk badanku sendiri, tidak. Aku benci ini. Dia. Menghantuiku.
“Turunkan aku Gibran!” Aku berteriak.
“Kenapa kau selalu takut naik perahu di kanal? Apa alasannya? Kau belum menjawab pertanyaanku.” Gibran menelik mataku, mencari jawaban. Tapi ketakutan membuatku menjadi tidak terkendali, nafasku sesak, mataku membias. Aku merasakannya.
“Turunkan aku dari perahu ini Gibran!” suaraku merengket.
“Adena, tenangkan dirimu. Kau tatap mataku. Tidak ada apa-apa di atas perahu ini. Kau aman.” Gibran mencabar mataku, berusaha meyakinkan.
“Tidak Gibran. Semua tidak baik-baik saja.” Suara hilang-hilang timbul beriringan dengan angin yang datang. Itu angin yang sama. Membawakan daun-daun jatuh di atas perahu. Filosofi daun maple, lambang keharmonisan dan kesetian, masih kugenggam erat di tanganku. Aku ingin mempercayainya, walau sungguh, entah nyata atau semu. Aku juga tidak tahu. Sebagian angin menyiar di rambutku yang tersanggul, menggerakan helai yang terselip di belakang telinga. Semakin kencang frekuensi angin, perahu itu melaju mengikuti alurnya.
“Kau tahu Adena? Dulu aku juga takut naik perahu. Bukan di kanal ini saja, tapi perahu-perahu di tempat lain. Aku punya kenangan buruk tentang itu. Sangat buruk. Waktu usiaku 6 tahun. Tepat di hari ulang tahun kami, aku dan kembaranku, Gebril.” Aku tersintak mendengar ucapan Gibran, bagaimana mungkin dia punya kembaran? Bibi Lia tidak pernah memberitahuku, Gibran melanjutkan, tangannya menyadau lambat perahu.
“Gebril, saudara kembarku. Dia seorang perempuan. Cantik seperti Mama. Tapi sayang, itu ulang tahun terakhir untuknya. Gebril meninggal, jatuh dari perahu.” Gibran nampak sukar mengatakan itu, dia mengalihkan pandangannya dariku.
“Tapi Mama, yang menjadi alasan kenapa aku berani keluar dari rasa takut yang kumiliki. Kata Mama, anak laki-laki adalah seorang yang harus berani dan kuat, dia adalah harapan, pelindung, penjaga ibunya kelak. Sejak saat itu aku tidak pernah lagi mengenal rasa takut. Hanya satu ketakutan terbesarku saat ini,” Gibran terhenti.
“Apa?” Aku menilik Gibran, dia menekurkan wajahnya.
“Aku takut Mama pergi.” Aku mati rasa. Jawaban Gibran terasa merajang di hatiku.
“Tidak! Bibi akan tetap bersama kau, juga bersamaku. Bibi tidak akan pergi.” Suaraku lirih. Gibran menawarkan senyum simpul,