“What?!” pekik Fani pada bundanya. ”Jangan bercanda deh, Bun. Aku baru pulang, nih, capek. Bunda malah ngajak bercanda. Nggak lucu lagi,” lanjutnya masih dengan wajah kesal. Siapa yang nggak kesal coba. Baru juga pulang kuliah, belum ganti baju, belum ngisi perut. Eh, dia malah disuguhi pembicaraan yang membuatnya sangat kesal. Pertunangan?! Please, deh, sekarang sudah zaman modern gitu, sudah era globalisasi, masa iya masih ada yang namanya pertunangan karena dijodohin?
“Siapa yang bercanda sih, Fan,” jawab bunda Fani geli. Lucu juga melihat putri semata wayangnya itu kesal. “Lagian baru tunangan, kok, belum nikah. Ya kan, Yah?” lanjut bundanya dengan santai. Sekarang malah seperti mengajak suaminya untuk membantu meyakinkan putri mereka. Kontan membuat dahi Fani berlipat saking kesalnya.
“Iya, Fan. Kalian kenalan aja dulu. Anaknya baik, kok, ganteng lagi,” ucap ayah Fani sambil menutup laptop yang ada di depannya.
“Ya, kan, itu menurut Ayah. Belum tentu menurut aku dia ganteng. Masalah dia baik juga, itu kan, relatif. Pokoknya aku nggak mau tunangan sama dia. Titik.” Fani masih kekeh pada pendiriannya. Dia benar-benar tidak akan sudi tunangan sama orang yang bahkan wajahnya seperti apa saja dia nggak tahu.
“Nggak ada salahnya dicoba, Fan.” Ayahnya tidak kalah kekeh.
Dahi Fani makin berlipat. Heran deh, ini, kan, urusan pribadi.
“Ayah sama Bunda yang bener aja, sekarang ini udah nggak zaman lagi yang namanya jodoh-jodohan. Apalagi cuma karena orangtua yang saling temenan. Lagian aku masih sembilan belas tahun. Masih terlalu muda juga buat punya ikatan macem itu,” jawab Fani, kepalanya mulai pusing sekarang. Karena dilihatnya, kedua orangtuanya benar-benar serius dengan ucapan mereka tentang pertunangan itu.
“Nah, justru karena kamu masih muda, kan, lebih enak kalo kalian kenalan dulu. Jadi, nggak keburu-buru. Siapa tahu aja kalian cocok.” Bunda Fani yang terlihat paling bersemangat dengan rencana pertunangan ini.
“Menurut aku, kami nggak bakal cocok,” jawab Fani sambil menggelengkan kepalanya. Diminumnya teh yang sudah disiapkan Bi Inah tadi. Berharap teh itu dapat menghilangkan pusing dadakan di kepalanya.
“Kamu tahu dari mana? Emang kamu peramal yang bisa tahu apa yang belum terjadi?” tanya bundanya sambil tersenyum jail.
“Yaaahhh … insting aja,” jawab Fani. Tapi, dari nada suaranya, dia juga ragu dengan jawaban yang diberikannya pada sang bunda. “Lagian, Ayah sama Bunda nggak usah repot-repot, deh, pake jodohin aku segala. Aku bisa, kok, cari pacar sendiri,” lanjutnya diplomatis.
“Cari sendiri?” tanya ayah Fani dengan alis terangkat.
“Emang kamu bisa? Temen aja cuma Bianca. Bunda malah nggak pernah lihat kamu punya temen cowok,” sambar bunda Fani.
Dahi Fani kontan makin keriting mendengar ucapan bundanya itu. Wah, penghinaan tingkat dewa ini namanya, Fani mulai tersinggung. Dia malah mengira ubun-ubunnya sudah berasap. “Bunda, sok tahu banget, sih. Emangnya kalo punya temen cowok harus ditunjukin, gitu?” Fani malah balik bertanya kepada bundanya. Bingung juga mau jawab apa karena yang dibilang bundanya memang benar.
Tapi, gengsi banget kalau gue ngaku, ujar Fani dalam hati.
“Jangan bantah Ayah sama Bunda, Fan. Ayah sama Bunda tahu yang terbaik buat kamu. Kami kasih tahu tentang pertunangan ini ke kamu bukan buat minta persetujuan, tapi biar kamu nggak kaget kalo tiba-tiba temen Ayah sama anaknya itu dateng,” kata ayah Fani.
“Kok gitu, sih? Itu namanya pemaksaan dong, Yah!” serunya sambil bangkit dari tempat duduknya. Tanpa sadar dia mulai membentak ayahnya.
“Fani!” tegur bundanya. “Yang sopan kalo lagi ngomong sama orangtua. Duduk! Ayah sama Bunda belum selesai bicara.”
Fani terdiam. Kepalanya benar-benar seperti mau pecah. Dia terduduk kembali di tempatnya semula. Dipijatnya pelan kepalanya. Ini seperti mimpi buruk baginya. Benar-benar buruk.
“Keputusan Ayah sama Bunda udah fix, Fan. Kalo kamu masih nggak mau, kamu harus ikut kami ke Paris. Kamu lanjutin kuliah kamu di sana. Kita juga akan tinggal di sana,” kata ayah Fani. “Kamu pikirkan aja baik-baik.”
Gila! Mimpi apa, sih, gue semalem, keluh Fani dalam hati. Dipejamkannya matanya. Pikirannya menerawang jauh. Kalau saja dia sedang tidak menunggu seseorang. Kalau saja seseorang itu sudah kembali menempati tempatnya yang dulu atau setidaknya menepati janji yang diucapkannya dulu, mungkin situasinya akan berbeda. Mungkin ketika dia menolak pertunangan ini, dirinya tidak masalah jika harus berangkat ke kota model itu.
Akan tetapi, situasinya tidak seperti itu, seseorang yang ditunggunya itu sama sekali belum kembali. Karena itu, dia tidak mungkin memilih pilihan yang kedua. Karena jauh dalam lubuk hatinya yang paling dalam, dirinya masih sangat yakin seseorang itu akan kembali. Menempati tempat yang sudah dibiarkan kosong selama bertahun-tahun. Fani berharap pilihannya kali ini tidak salah. Dibukanya kedua matanya dan perlahan diembuskannya napasnya dengan keras.
“Oke,” kata Fani akhirnya, membuat kedua orangtuanya tersenyum. “Aku nyerah. Aku pilih opsi yang pertama. Tapi, kalau kami sama sekali nggak cocok, tolong Ayah sama Bunda jangan maksa aku lagi,” diucapkan sudah keputusannya itu. Dalam hati berdoa semoga keputusan yang diambilnya ini tidak salah. Karena sudah ada sebuah rencana yang tebersit di dalam kepalanya, dan dia berharap Dewi Fortuna berpihak padanya untuk kali ini saja.
“Iya,” bunda Fani yang menjawab dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya.
“Aku ke atas dulu, Yah, Bun.”
“Oh, iya, Fan. Kira-kira minggu depan, temen Ayah sama keluarganya itu mau ke sini. Kamu siap-siap, ya,” kata bundanya sambil tersenyum jail.
Perkataan itu membuat Fani memutar kedua bola matanya. Tapi, dia tidak ingin berdebat lagi. Dia hanya menganggukkan kepalanya. Dia juga melihat ayahnya sedang tersenyum lebar. Tapi tak apalah, tunggu saja kalau rencananya nanti berhasil, pikirnya dalam hati.
Di tempat lain, berbeda dengan Fani, Rei justru terlihat tenang dengan berita pertunangannya itu. Dia malah terkesan tidak peduli. Maka dari itu, ketika orangtuanya memberitahukannya tentang pertunangan itu, dia langsung menerima saja tanpa pikir panjang. Saat dirinya berkata setuju dengan pertunangan ini, mamanya yang terlihat paling senang. Mamanya itu tidak henti-hentinya berbicara pada saat mereka sedang makan malam. Mengingat percakapan terakhir di meja makan saat itu, Rei jadi geli sendiri.
“Tapi, kalau cewek itu yang nggak mau sama Rei. Rei nggak bisa maksa, kan, Pa?” tanya Rei saat itu.
Seketika mata papa Rei menyipit. Curiga dengan pertanyaan anaknya itu. Rei yang melihat hal itu segera saja melancarkan dalih yang kuat kepada papanya.
“Yaaahhh ... kan, nggak semua cewek suka sama Rei, Pa.”
“Hah? Masa, sih? Kayaknya hampir semua cewek suka, deh, sama anak Mama,” ucap mamanya sambil menggelengkan kepala, sedikit tidak percaya dengan perkataan anaknya itu. Rei kontan geli mendengar perataan mamanya.
“Jangan gitu, ah, Ma. Rei kan, jadi malu,” ujar Rei saat itu sambil pura-pura tersipu malu. Mamanya malah mengacak-acak rambut Rei dengan sayang.
Akan tetapi, berbeda dengan papanya yang justru menatap Rei seperti ingin memakan dirinya hidup-hidup. “Awas aja kalo kamu bikin masalah, kamu yang bakal nyesel nanti!” ancam papanya saat itu.
Rei hanya menahan senyum mendengar ancaman papanya itu. Dia sendiri tahu itu bukan hanya sekadar omongan kosong papanya. Itu adalah ancaman yang bisa terealisasikan ketika dirinya benar-benar membuat masalah nantinya. Tapi, dia juga tidak mau terjebak dalam pertunangan yang menurutnya sangat konyol ini. Belum lagi tentang pendapat teman-temannya nanti, ketika tahu bahwa dirinya akan terlibat pertunangan dengan cewek yang sama sekali belum dikenalnya. Seorang player seperti dirinya harus ditunangkan dengan anak dari sahabat papanya. Ya Tuhan! Itu hanya akan merusak reputasinya. Sudah dipastikan dia akan menjadi bahan tertawaan nantinya.
Rei mulai berpikir keras untuk menggagalkan rencana pertunangan yang telah disusun oleh orangtuanya ini. Mulai dari dahinya menjadi keriting, kemudian normal lagi, sampai keriting lagi, dia sama sekali tidak menemukan cara apa pun. Karena itu, diputuskannya untuk tetap mengikuti rencana orangtuanya itu. Sambil memikirkan cara apa yang dapat dilakukannya untuk menyelesaikan masalahnya yang satu ini.
Seminggu kemudian Fani mendapati ada dua orang lain di rumahnya selain kedua orangtuanya. Tanpa diperkenalkan pun, dia tahu bahwa mereka adalah orangtua dari cowok yang akan ditunangkan dengannya nanti. Karena itu, setelah berbasa-basi sedikit, Fani langsung pamit ke kamarnya untuk berganti pakaian.
“Fan, ternyata anaknya Tante Nadia itu kuliah di tempat kamu juga, loh,” ujar bunda Fani ketika dia telah ikut bergabung dengan kesibukan di dapur.
“Oh, ya?” tanya Fani tak acuh sambil membuka kulkas untuk mencari air dingin.
“Iya. Tadi Tante Nadia yang bilang sama Bunda. Dia sekarang semester enam. Dua tahun di atas kamu. Ya kan, Jeng?”
“Iya, Fan. Namanya Reihan Nathaniel. Kamu kenal, nggak?” tanya mama Rei sambil merapikan piring di meja makan.
Fani yang sedang minum kontan tersedak setelah mendengar nama tersebut.
Siapa tadi Tante Nadia bilang? Reihan?
“Fan,” tegur bundanya. “Kamu ditanya sama Tante Nadia, loh,” lanjut sang bunda.
“Hah? Eh, iya, Bun. Siapa tadi namanya, Tan? Reihan, ya? Hmmm ... aku pernah denger, sih, namanya. Tapi, nggak tahu, deh, itu Reihan anaknya Tante apa bukan,” jawab Fani sambil tersenyum kaku. Fani berharap Reihan yang dia tahu itu, bukan Reihan anaknya Tante Nadia ini.
“Iya, ya. Tante lupa kalau kampus kalian itu, kan, gede. Nama Reihan pasti banyak yang punya, kan,” kata mama Rei sambil tersenyum lucu. Fani pun hanya membalas dengan senyuman tipis.
“Rei masih di kampus, ya, Jeng?” tanya bunda Fani mencairkan suasana yang terasa sedikit kaku itu.
“Iya, nih. Tadi dia bilang ada acara dadakan. Jadinya, agak telat datengnya.”
“Oh, ada acara kampus, Tan? Kalau nggak bisa dateng nggak apa-apa, kok. Kan, kasihan, entar capek lagi,” ujar Fani pura-pura perhatian. Padahal, dia sangat berharap Rei itu tidak jadi datang ke rumahnya hari ini.
“Kamu perhatian banget, sih, Fan. Padahal, belum jadi tunangan,” balas mama Rei sambil tersenyum menggoda anak dari sahabat suaminya itu.
Fani pun terkejut mendengar perkataan barusan. Mulutnya bahkan sampai menganga dan kemudian tertutup lagi. Bingung mau berkata apa. Bundanya pun hanya tersenyum melihat kelakuan anak semata wayangnya itu.
Dengan senyum yang sedikit konyol, Fani hanya dapat berkata, “Tante bisa aja.” Dia merasa sangat konyol sekarang karena terlihat seperti benar-benar menginginkan pertunangan ini. Dan, panggilan dari ayahnya membuatnya semakin merasa konyol dan benar-benar ingin menghilang detik itu juga.
“Faaannn ... Reihan udah dateng, nih.”
Setelah berbincang-bincang di ruang tamu cukup lama. Orangtua mereka berdua pun menyuruh Rei dan Fani untuk mengobrol berdua di gazebo halaman belakang rumah Fani. Kemudian, di sinilah mereka berdua sekarang, saling berdiam diri dengan pikiran mereka masing-masing. Sampai kemudian, Rei mengatakan sesuatu yang membuat Fani naik darah.
“Gue pikir, cewek yang mau dijodohin sama gue itu, cantik dan … seksi,” kata Rei dengan santainya. “Ehhh, ternyata cuma anak kecil,” lanjutnya sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
Fani mengangakan mulutnya mendengar perkataan cowok yang berdiri di depannya ini. “Apa?” hanya itu yang dapat diucapkannya. Benar-benar tidak menyangka kalau cowok ini dapat mengatakan hal seperti itu dengan santainya.
“Iya. Kata nyokap gue, lo cantik dan seksi. Tapi ternyata ... nggak seksi sama sekali. Kayak anak kecil begitu,” jawabnya sambil meneliti Fani dari atas sampai bawah. “Tadi, gue malah pikir lo anak SMA,” sambungnya sambil tertawa geli. Dan, lagi-lagi Fani hanya dapat mengangakan mulutnya.
Apa tadi dia bilang? Kecil? Anak SMA?
“Lo bukan tipe gue banget, nih,” lanjut Rei sambil menggaruk dahinya.
Cukup! Ini benar-benar penghinaan terbesar dalam hidupnya.
“Bentar,” kata Fani sambil berdiri dan mengangkat sebelah tangannya. “Lo bilang apa tadi? Nggak seksi? Eh, denger ya, gue emang nggak seksi kayak tipe-tipe cewek yang suka lo ajak jalan. Tapi, seenggaknya gue nggak bego kena tipu tampang lo. Sori ya, Bung. Lo juga bukan tipe gue. Player macam elo begitu, gue mana mau,” lanjutnya menggebu-gebu.
Rei sempat melongo mendengar perkataan cewek di depannya ini. Tapi, sedetik kemudian, dia tersenyum samar. Dia tahu cewek ini pasti sangat kesal dengan ucapannya barusan, tapi melihat reaksi cewek di depannya ini, Rei justru semakin ingin membuat Fani kesal.
“Lo yakin nggak bakal kena tipu tampang gue?” tanya Rei geli, berusaha menahan tawanya yang sebentar lagi akan keluar karena melihat mimik lucu di depannya saat ini. “Oke. Mungkin sekarang lo nggak minat ngelirik gue. Tapi, bentar lagi pasti lo juga bakal ngejar-ngejar gue,” ujarnya sambil tersenyum menyebalkan.
Fani hanya mendengus kesal mendengar perkataan Rei. Kemudian, dengan helaan napas yang dibuat dramatis, dia berkata, “Yaaahhh ... emang sih, tampang lo oke. Tapi, sori, gue nggak tertarik sama cowok nggak bener kayak lo.”
Mata Rei kontan menyipit. “Lo tahu dari mana gue nggak bener?” tanyanya.
Mendengar pertanyaan itu, Fani memutar bola matanya. “Hei, Bung. Kayaknya semua orang di kampus udah tahu, deh, kalo lo itu player kelas kakap.”
“Ohhh ... jadi lo udah kenal gue sebelumnya?”
“Nggak. Gue nggak kenal sama lo. Gue cuma denger-denger tentang lo aja. Abis lo sok beken, sih.”
“Ckckck ... nggak nyangka gue, lo tukang gosip juga ternyata. Tapi, tunggu bentar, lo bilang kita satu kampus? Kok, gue nggak pernah lihat lo, ya?”
“Karena gue nggak kayak lo yang sok-sokan beken,” jawab Fani dengan nada yang cukup sinis. Tersinggung juga dengan perkataan cowok di depannya ini.
Akan tetapi, bukannya merasa tersinggung, Rei justru tersenyum semakin lebar mendengar jawaban cewek di depannya ini. Dia kemudian menatap keseluruhan wajah cewek itu. Sebenarnya Fani cukup manis, sangat manis malah. Cewek itu punya bola mata yang indah ditambah lesung pipit di kedua pipinya. Tapi buat Rei, manis saja tidak cukup. Cewek itu terlalu mungil untuknya. Jadi, sama sekali bukan tipenya.
“Ngapain lihatin gue gitu? Jatuh cinta, lo?” tanya Fani sinis sambil duduk kembali di tempatnya.