Semua cewek pasti bahagia di hari pertunangannya. Namun, Fani justru merasakan hal yang sebaliknya. Dia benci hari ini karena hari ini adalah hari yang paling tidak ditunggu-tunggu olehnya. Maka dari itu, dirinya hanya terduduk dalam kamarnya dan meratapi kemalangan yang dihadapinya.
Fani benar-benar tidak menyangka kalau yang jadi tunangannya saat ini bukanlah seseorang yang sudah ditunggunya bertahun-tahun itu. Dan, untuk kali kesekian, cewek itu menghela napas kembali.
Matanya mulai memanas memikirkan bagaimana jika pertunangan ini nantinya akan berujung pada pernikahan? Bagaimana jika seseorang yang ditunggunya itu kembali pada saat semuanya sudah berjalan terlalu jauh? Kemudian, Fani menggeleng kuat-kuat. Dia berharap hal-hal yang ditakutkannya itu tidak akan pernah terjadi. Ya, semoga saja.
“Anak Bunda, kok, tampangnya kusut begitu?” tanya bunda Fani dengan lembut dan mengusap kepala putrinya itu dengan sayang.
Fani hanya menggeleng lemah. Dia tahu tangisnya tidak akan mengubah apa pun. Karena itu, dia hanya menjawab sekadarnya. “Nggak apa-apa, Bun.”
“Senyum, dong,” pinta bundanya. “Masa kamu udah cantik begini, mukanya ditekuk kayak gajah mau beranak.”
Fani tahu bundanya mencoba untuk menghibur dirinya. Akhirnya, dia memperlihatkan sedikit senyum—yang jelas-jelas sangat dipaksakan—pada bundanya.
“Gitu, dong. Kamu siap-siap, gih. Entar lagi acaranya mau mulai. Nanti—ehhh … ada Rei, toh! Mau jemput Fani, ya?“ tanya bundanya tanpa malu-malu.
“Iya, Tante. Sekalian mau pendekatan dulu sebelum acaranya mulai,” jawab Rei dengan ekspresi yang membuat Fani memutar kedua bola matanya.
Bunda Fani hanya terkekeh geli mendengar jawaban dari Rei. “Ya udah. Bunda tinggal dulu, ya. Kamu baik-baik ya, sama Rei, jangan galak-galak,” pesan bundanya sebelum keluar dari kamar Fani.
“Ngapain, sih, lo ke sini?” Fani langsung bertanya dengan wajah galaknya.
“Yaelah. Baru juga tadi nyokap lo bilang jangan galak-galak sama gue. Durhaka lo nanti, nggak dengerin omongan orangtua,” jawab Rei santai.
Fani hanya menghela napas mendengar jawaban cowok itu. Emang kalau ngajak badak ngomong nggak ada gunanya, keluh Fani dalam hati.
Kemudian, Fani berdiri untuk merapikan balutan dress yang dipakainya dan mencoba menata kembali rambutnya yang sedikit berantakan. Dia memang tidak menginginkan pertunangan ini, tapi dia tidak mau terlihat jelek di depan orang banyak.
Rei melihat semua gerakan Fani dalam diam. Dalam hati, harus dia akui kalau malam ini Fani memang terlihat semakin manis. Wajah cewek itu dipoles sedikit make-up dan tubuh dibalut dress sehingga menonjolkan lekukan dalam batas sopan.
“Gue tahu, gue emang cantik, tapi nggak usah lihatin sampe segitunya, lah,” ujar Fani dengan suara datar saat berdiri di hadapan cowok itu.
Rei sedikit terkejut dengan perkataan cewek itu. Tapi, dia tidak mau kalah dan membalas dengan pertanyaan yang membuat Fani jadi kesal sendiri. “Kenapa? Lo jadi salah tingkah kalo gue lihatin?”
Fani mendengus kesal. “Mending sekarang lo minggir. Soalnya gue mau turun ke bawah,” ucapnya sambil sedikit mendorong bahu Rei agar mau bergeser ke samping dan tidak menghalangi jalannya.
Akan tetapi, bukannya menyingkir, Rei justru menahan pergelangan tangan Fani agar berhenti melangkah.
“Gue ke sini itu bukan mau berantem sama lo. Gue cuma mau kenal calon tunangan gue yang beberapa menit lagi jadi tunangan gue. Mungkin bisa dimulai dari … nama lengkap. Iya, nama lengkap. Sampe sekarang kita belum tahu nama lengkap masing-masing, kan?”
“Nggak perlu. Gue nggak mau kenal sama lo. Cukup tahu nama panggilan lo aja, udah jadi petaka buat gue.”
Lagi-lagi penolakan secara terang-terangan. Tapi, bukan Rei jika tidak bisa membalikkan keadaan. Dia ingin cewek itu tahu, kalau yang memegang kendali saat ini, bahkan sampai nanti adalah dirinya dan bukan cewek itu.
Sebelum berbicara, Rei melipat kedua tangannya di depan dada dan kemudian berkata, “Terserah. Tapi, lo harus dengerin baik-baik. Nama lengkap gue, Reihan Nathaniel. Gue semester enam jurusan Bisnis. Dua tahun di atas lo. Jadi, meskipun gue nantinya akan jadi tunangan lo, lo kudu dan mesti tetep hormatin gue. Karena biar gimanapun, gue ini senior elo,” ucapnya dengan penekanan pada kata “kudu” dan “mesti”.
Fani kembali mendengus mendengar ucapan itu. “Udah?” tanyanya sambil kembali berjalan.
Rei yang melihat hal itu segera mencegah dan kembali menghalangi jalan Fani. “Belum,” jawabnya sambil menggelengkan kepalanya. “Kalo lo?”
Fani tidak bereaksi apa pun. Dia hanya memasang wajah malas pada cowok yang ada di depannya ini.
“Oke, kalo lo nggak mau kasih tahu. Biar gue aja. Lo tinggal ralat kalo ada yang salah. Nama lengkap lo itu Tiffany Adelia. Lo semester dua jurusan Kedokteran. Tapi, sebenernya lo lebih suka jurusan Pastry karena lo amat sangat suka bikin kue. Sayangnya, nyokap-bokap lo nggak izinin lo buat ambil jurusan itu. Dan, sebagai kompensasi karena lo milih jurusan yang mereka mau, lo masih dibolehin buat ikutan kursus-kursus bikin kue.”
Fani melebarkan kedua matanya. Tidak percaya dengan perkataan panjang lebar yang baru dikatakan cowok itu.
“Kenapa? Pasti lo terkagum-kagum, kan?”
Setelah berhasil menguasai keterpanaannya, Fani hanya menjawab, “In your dreams, boy.”
“Bodo amat. Yang jelas gue cuma nggak mau, kalo nanti ada saudara gue yang nanyain tentang lo, tapi gue nggak tahu apa-apa, kan, gue juga yang malu. Setidaknya tahu nama lengkap aja itu sedikit ngebantu. Makanya, lo juga harus begitu. Biar kita sama-sama nggak malu nantinya. Tentang yang lain-lain, pasti bisa tahu pas kita udah tunangan nanti.”
Mendengar perkataan Rei, membuat Fani mengatupkan rahangnya. Bagaimana cowok itu bisa dengan santainya berkata seperti tadi? Apa cowok itu pikir kalau ini semua hanya main-main?
“Gue tahu lo benci banget sama gue. Tapi, ini jalan yang harus dihadapi sama lo dan gue. Jadi—”
Perkataan Rei terputus karena mereka berdua sudah diminta untuk segera turun. “Ya udah. Kita turun dulu, deh, nanti dilanjut lagi. Lo jangan pasang muka begitu, dong. Lama-lama bete juga gue lihatnya,” ucapnya sedikit kesal karena raut wajah Fani yang tak kunjung bersahabat.
Fani hanya membuang mukanya dan berpura-pura tidak mendengar perkataan cowok di sampingnya.
Pesta pertunangan itu hanya dihadiri oleh keluarga besar Rei dan Fani. Karena seperti yang telah disepakati keduanya, kalau teman-teman di kampus mereka tidak perlu tahu tentang pertunangan ini. Orangtua mereka pun menyetujui permintaan keduanya.
Kemudian, setelah acara utama dari pesta pertunangan itu selesai, keduanya pun memutuskan untuk mengobrol dengan saudara mereka masing-masing. Dan, di sinilah Fani sekarang bersama dengan kakak sepupunya yang lebih tua lima tahun dari dirinya.
“Menurut gue, tunangan lo itu lumayan, loh, Fan.”
Fani mengerutkan kening mendengar perkataan tiba-tiba dari kakak sepupunya yang bernama Bayu itu. “Lo nggak serong, kan, Mas?” tanyanya sarkastis.
“Adik nggak ada etika!” cibir Bayu sambil menjitak pelan kepala Fani. “Gue ngomong gini, tuh, biar lo nggak cemberut terus. Dari tadi muka lo kayak orang yang nggak bisa buang hajat gitu.”
“Sembarangan,” ujar Fani sambil menjambak rambut Bayu. “Muka cantik gini juga.”
“Ah … lo nggak sopan, nih. Gue, kan, lebih tua dari lo,” protes Bayu sambil merapikan rambutnya.
“Dia itu buaya buas, Mas. Emangnya lo mau gue jadi mangsanya dia?”
“Hah? Masa, sih? Kok, nggak kelihatan, ya? Dia sopan banget gitu.”
Fani hanya menghela napas mendengar komentar dari Bayu. Bingung juga mau jawab apa. Karena semua orang dalam keluarga besarnya yang baru kali pertama melihat Rei pasti akan berkata kalau cowok itu adalah orang yang sangat sopan.
Lo emang bakat jadi bintang film, Rei.
“Yahhh … sesama buaya mana mau saling lihat belangnya.”
“Lo, tuh, yaaa ….” Lama-lama Bayu gemas juga dengan adik sepupunya itu. “Coba deh, lo perhatiin baik-baik. Gue aja ngakuin, kok, kalo mukanya dia itu di atas rata-rata. Yaaahhh … walaupun emang masih cakepan gue.” Untuk kalimat terakhirnya, cowok itu jadi geli sendiri.
Kalau boleh jujur, Rei memang cowok yang mendekati kata sempurna. Hampir semua orang—terutama para cewek—di kampusnya juga sepakat tentang pernyataan itu. Dan, untuk kali kedua, Fani memuji cowok yang memiliki wajah tampan dengan perpaduan tubuh yang tinggi dan atletis itu. Ditambah lagi isi dompet yang dimiliki cowok itu juga tidak main-main.
Makanya, begitu banyak cewek yang rela mengantre hanya agar “dilihat” oleh Rei. Dan, setelah bosan, cowok itu tinggal membuang mereka layaknya mainan yang sudah rusak. Hal itulah yang dibenci oleh Fani. Dia tidak ingin menjadi seperti salah seorang dari mereka.
“Kalo pada akhirnya dia ngebuang lo, kan, lo nggak perlu nangis, Fan. Wong lo-nya juga nggak suka sama dia, kok. Jadi, jalanin aja dulu semuanya.” Bayu tahu apa yang sedang dipikirkan oleh adik sepupunya ini. Selama ini, dalam keluarga besar mereka, dialah yang selalu jadi tempat curhat Fani. Begitu pun sebaliknya.
“Gimana mau dijalanin, Mas? lihat dia aja gue udah kesel banget.”
“Hati-hati nanti jatuh cinta, loh.”
“Ngomong itu dipikir dulu, Mas,” balas Fani gemas sambil mencubit lengan Bayu.
Bukannya marah, Bayu malah terkekeh melihat tingkah adik sepupunya itu. Gimana mau lihat yang lain, Fan. Kalo lo masih aja ngarepin cowok itu, batinnya sedih.
“Iya. Iya,” ucap Bayu kemudian dengan tangan yang terulur untuk mengusap puncak kepala Fani. “Nanti kalo tuh cowok macem-macem, bilang aja sama gue,” lanjutnya.
“Telat, Mas. Gue udah mati duluan kali, gara-gara makan hati.”
Lagi-lagi Bayu terkekeh geli. “Nggak usah drama gitu, deh.” Ketika ingin melanjutkan ucapannya, dia melihat Rei sedang berjalan ke arah mereka berdua. “Ehhh … pangeran lo dateng, tuh. Senyum, dong.”
Fani memutar kedua bola matanya. Lama-lama kesal juga dengan tingkah kakak sepupunya ini.
Rei yang sudah sampai di depan keduanya hanya tersenyum ramah pada Bayu. Karena dilihatnya Fani sama sekali tidak menunjukkan wajah yang bersahabat dengannya.
“Nggak mau ngenalin gue secara resmi ke saudara lo, Fan?”
Perkataan Rei itu membuat Fani mendengus kesal, sedangkan Bayu sudah mulai menahan tawanya.
Nih cowok emang suka nyari perkara kayaknya, pikir Bayu dalam hati.
Karena dilihatnya Fani masih bergeming, akhirnya Bayu-lah yang mengambil alih suasana. “Gue Bayu. Kakak sepupunya Fani,” ucap Bayu sambil mengulurkan tangan pada Rei yang langsung disambut oleh cowok itu.
“Reihan. Panggil aja Rei. Seneng kenalan sama Mas Bayu,” balas Rei. “Fani emang orangnya jutek gini ya, Mas?”
Bayu tahu pertanyaan Rei itu hanya untuk memecah suasana yang terasa kaku. Karena itu, dibalasnya perkataan Rei, “Panggil nama aja. Berasa tua gue jadinya,” ucapnya sambil terkekeh dan kemudian melanjutkan, “dia emang kadang-kadang suka begitu, tapi entar lagi juga pasti jinak, kok.”
Mendengar itu membuat Fani menatap tajam kepada Bayu. Namun, Rei justru tersenyum lebar mendengar jawaban dari Bayu yang lebih bersahabat kepadanya. “Fani-nya gue bawa bentar ya, Bay. Mau gue kenalin ke saudara gue,” izin Rei pada Bayu.
“Ohhh … ya udah bawa aja, gih. Yang lama juga nggak apa-apa. Gue udah bosen, kok.”
Lagi-lagi perkataan Bayu membuat Fani menatap kakak sepupunya dengan tajam. Seakan ingin menelan Bayu hidup-hidup.
Mendapat tatapan seperti itu, Bayu justru tersenyum tanpa rasa bersalah sama sekali, sedangkan Rei sudah tidak bisa lagi menyembunyikan tawanya.
Mendengar tawa Rei, seketika membuat Fani juga menatap Rei dengan tajam.
“Udah dong, jangan marah gitu. Ini, kan, hari bahagianya kita,” Rei berkata sambil menarik tangan Fani dengan lembut.
Fani yang diperlakukan seperti itu sempat terkejut, kemudian cepat-cepat melepaskan tangannya dari genggaman Rei. “Nggak usah pegang-pegang.”
“Kok gitu, sih? Kan, biar kelihatan mesra,” ujar Rei sambil mengedipkan matanya.
Fani hanya mencibir melihat kelakuan cowok itu. Kemudian, dia menatap Bayu—yang sedang tertawa—dengan tajam dan berkata, “Nggak usah ketawa, Mas.”
Bayu hanya mengatupkan bibirnya mendengar permintaan Fani. “Iya. Iya. Udah, gih, sana. Nanti Rei-nya keburu bosen.”
Fani lagi-lagi mendengus kesal. Pusing juga dengan dua cowok ini. Belum selesai dia mengeluh dalam hatinya, Fani mendapati tangannya kembali digenggam oleh Rei. Ketika menatap cowok itu untuk marah, Rei justru sedang memandangnya dengan sorot mata tajam yang menyuruhnya untuk bersikap kooperatif.
“Kami ke sana bentar ya, Bay.”
Bayu hanya mengangguk dan melihat punggung keduanya dengan gelengan kepala. Sedikit lucu melihat Fani yang tiba-tiba menurut pada perlakuan Rei.
“Apa?!” pekik Bianca padanya. Fani tahu, sahabatnya dari awal SMP itu pasti sangat terkejut dengan perkataan yang baru saja diucapkannya. Tapi, dia paling tidak bisa menyimpan rahasia terlalu lama pada sahabatnya ini. Akhirnya, dia menceritakan apa yang sudah dialaminya selama hampir sebulan ini.
“Dan, lo pasti lebih kaget lagi kalo gue kasih tahu nama cowok itu,” Fani kembali melanjutkan ceritanya.
“Siapa?”
“Reihan,” jawab Fani datar.
“Hah?!” Mata Bianca membelalak lebar.
“Bisa nggak, sih, nggak usah berlebihan gitu, Bi?”
“Reihan yang itu?! Reyhwan Nathwanwil itwu?!” Pertanyaan Bianca yang terakhir tidak begitu jelas karena mulut cewek itu sudah ditutup oleh telapak tangan Fani.
“Jangan teriak-teriak gitu, Bi. Ini tuh, di kantin.”
“Eh, iya, iya. Sori, Fan. Gue cuma kaget aja,” ringis Bianca merasa bersalah. Kemudian berkata dengan riang, “Wiiihhh … mimpi apa lo ya waktu itu, sampe-sampe dapet tunangan yang title-nya idola satu kampus.”
Fani sedikit jengah dengan perkataan sahabatnya itu. “Lo pikir gue jelek banget, sampe-sampe lo bilang begitu.”
“Ya nggak gitu, Fan. Gue cuma heran aja. Jangan ngambek, dong,” bujuk cewek itu sambil mencolek dagu Fani. “Lagian jahat deh, baru cerita sekarang.”
Fani yang mendengar keluhan Bianca hanya menghela napas dan menjawab, “Gue waktu itu, tuh, bingung, Fan. Gue udah mikir kalo pertunangan ini nggak bakal terjadi. Ehhh … si buaya itu malah bikin makin runyam.”
“Dia suka kali sama lo,” celetuk Bianca yang langsung disambut dengan jitakan di kepalanya.
“Kalo ngomong dipikir dulu, Mbak.”
Bianca meringis geli. “Ya, kan, siapa tahu dia merasakan love at the first sight gitu, Fan.”
“Kebanyakan nonton FTV lo,” balas Fani. Tapi, sedetik kemudian dia menghela napas dengan keras dan mengeluh. “Terus gue harus gimana dong, Bi???” tanyanya sambil menelungkupkan wajahnya di atas meja kantin.
Bianca yang melihat hal itu, hanya mengelus punggung sahabatnya dengan sayang. Kemudian, dia hanya menenangkan, “Mau gimana lagi, Fan? Jalan satu-satunya ya emang harus dijalanin dulu. Abis itu, baru, deh, lo tahu harus kayak gimana.”
Hanya itu yang dapat Bianca katakan. Dia sangat tahu apa yang menyebabkan Fani sampai hampir frustrasi seperti ini. Bukan hanya karena sahabatnya itu tidak menyukai Rei. Ya, dia tahu dengan jelas bukan hanya karena hal itu. Tapi, Bianca tidak ingin mengutarakannya. Dia hanya tidak ingin Fani terus berada dalam bayang-bayang masa lalunya.