Selama hampir dua minggu tinggal di sebelah apartemen Rei, Fani bersyukur karena cowok itu tidak menunjukkan adanya gelagat-gelagat yang aneh. Fani pun sebisa mungkin menghindari pertemuan dengan Rei yang tinggal bersebelahan dengannya. Biasanya Fani sudah pergi ke kampus sebelum cowok itu bangun dan keluar dari apartemen. Sekalipun jadwal kuliahnya siang hari, Fani akan tetap pergi sebelum cowok itu bangun. Dia sangat jarang berada di dalam apartemennya. Hari-harinya lebih banyak dihabiskan di kampus atau nongkrong bersama Bianca. Ketika bosan dan pulang ke apartemen pun, Fani hanya berdiam di dalam kamarnya, entah itu membaca novel, menonton televisi, atau menyibukkan diri dengan tugas-tugas kuliahnya.
Akan tetapi, pagi ini sepertinya Fani sedang kurang beruntung. Dia baru saja akan mengunci pintu apartemennya saat sebuah suara mengejutkannya.
“Pagi bener berangkatnya, Fan.”
Fani berbalik dan melihat Rei dalam balutan pakaian olahraga sudah berdiri di belakangnya. Dengan peluh yang membasahi sebagian kaus dan kening cowok itu, cewek-cewek di kampusnya pasti sudah histeris karena menganggap hal itu sebagai sebuah keseksian. Cewek-cewek itu pasti berebut ingin membantu mengeringkan keringat di dahi Rei. Tapi bagi Fani, keringat itu sama sekali tidak menjadikan cowok itu seksi di matanya.
“Kuliah jam pertama,” jawab Fani singkat dan meneruskan kegiatannya mengunci pintu.
“Itu roti lo bikin sendiri?” tanya Rei sambil menunjuk tempat bekal transparan berisi sandwich di tangan Fani.
“Iyalah, ngapain gue beli,” jawab Fani ketus.
“Buat gue mana?” Rei kembali bertanya yang membuat mata Fani terbelalak. Dalam hati, Rei tersenyum puas, reaksi seperti ini yang diharapkan Rei.
“Ngapain gue bikinin sandwich buat lo?”
“Harusnya lo bikinin gue juga. Sekalian belajar buat jadi istri yang baik.”
“Siapa yang lo bilang mau belajar jadi istri yang baik?” Fani bertanya sinis.
Rei semakin tersenyum lebar. Nih, cewek lucu banget kalo lagi marah gini.
“Kenapa lo senyum-senyum? Ada yang lucu?” tanya Fani kesal. Rei hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Lo mau ke kampus, kan? Biar gue anterin,” tawarnya sambil menyeka keringat di keningnya.
“Nggak perlu. Gue udah biasa berangkat sendiri. Lagian lo nggak perlu akting baik di depan gue. Nggak bakal ngaruh apa pun. Gue tetep nggak bakal percaya sama lo,” ujar Fani sambil melangkah pergi dari depan Rei.
“Kenapa, sih, lo selalu mikir kalo gue itu lagi akting?” tanya Rei, sambil menahan lengan Fani agar berhenti. Lama-lama dia merasa kesal karena Fani selalu menghindarinya. Pagi ini dia sudah sengaja bangun pagi dan joging hanya untuk bertemu dengan cewek itu. Ada hal penting yang harus segera disampaikannya pada cewek yang ada di depannya ini.
“Karena lo nggak pantes buat dipercaya.”
Rei hanya menghela napas. Ini memang tidak akan mudah. Tapi, dia tidak akan menyerah sebelum tujuannya berhasil. “Terserah lo aja kalo begitu. Jam berapa lo selesai kuliah?”
“Berapa kali, sih, harus gue bilang kalo itu bukan urusan lo?”
“Ada hal penting yang harus kita omongin. Karena gue rasa lo belum tahu tentang hal itu.”
“Hal penting yang kayak gimana lagi? Kenapa nggak diomongin sekarang aja?”
“Nggak bisa. Nanti kalo gue omongin sekarang, bisa-bisa lo nggak jadi kuliah.”
Fani mengerutkan dahinya mendengar jawaban itu. Hal sepenting apa yang ingin dikatakan Rei kepadanya?
“Jadi, jam berapa lo selesai kuliah?” Pertanyaan Rei membuat Fani tersadar dari lamunannya.
“Nanti habis pulang kuliah, gue langsung balik,” hanya itu yang diucapkan Fani. Kemudian, cewek itu segera berlalu meninggalkan Rei.
“Oke. Gue tungguin lo kalo gitu.”
Sekitar pukul 5.00 sore, Fani kembali ke apartemen. Setelah mandi dan berpakaian, dia mengirimkan pesan singkat kepada Rei. Meski kamar apartemen Rei berada tepat di depannya, dia tetap malas berkunjung ke tempat cowok itu.
Tak lama, balasan dari Rei masuk.
Lima belas menit kemudian, terdengar bunyi bel pada apartemen Fani. Fani menatap datar pada Rei yang sudah berdiri di depan pintu apartemennya dengan mengenakan kaus putih dan celana pendek berwarna coklat army. Dia kemudian membukakan pintu dan menyuruh cowok itu masuk.
“Masuk,” ujar Fani yang jauh dari kata ramah.
“Fan, gue laper banget, nih. Beli makan dulu aja, ya?” pinta Rei saat kakinya baru saja melangkah masuk ke apartemen Fani.
“Mau nggak, Fan?”
Fani berdecak kesal. “Katanya lo mau ngomongin hal penting? Kenapa jadi ngajak makan?”
“Karena lo butuh banyak tenaga sebelum denger omongan gue.”
Mendengar penuturan Rei, dahi Fani kontan menjadi keriting. “Sepenting apa, sih, yang mau lo omongin? Kira-kira tentang apa?”
“Penasaran, kan?” Rei malah balik bertanya seolah-olah ingin membuat Fani semakin penasaran. “Tapi, kita makan dulu, yuk. Gue laper banget, nih, dari siang belum makan.”
“Kita makan di sini aja, deh. Gue lagi males keluar,” balas Fani.
“Gue lagi pengin makan pasta, nih. Ayolah, Fan. Gue laper banget.”
“Beli bahan-bahan makanan aja kalo gitu. Nanti gue yang masak,” tawar Fani.
Rei kontan tersenyum mendengar tawaran cewek itu. Setidaknya ada sedikit kemajuan, pikirnya.
“Ya udah, ayo!” seru Rei antusias.
Bukannya bergerak dari tempatnya, Fani justru hanya menggelengkan kepalanya. “Tapi, gue nggak mau ikut. Lo aja yang pergi.”
Perkataan itu justru membuat Rei menghela napas kesal. Kenapa tadi dia sempat berpikir bahwa ada kemajuan atas sikap Fani padanya?
“Gue mana tahu lo butuh apa aja buat dimasak.”
“Lo bilang pengin pasta, ya udah beli bahan-bahan mentahnya aja sana. Nanti gue yang bikinin,” balas Fani cuek.
“Kalo lo terus-terusan keras kepala begini, lama-lama gue bisa mati kelaperan, Fan.”
Fani hanya memutar kedua bola matanya mendengar kalimat berlebihan dari cowok itu. “Lo yang laper, kenapa ngerepotin orang segala, sih?”
“Soalnya gue tahu lo juga laper,” jawab Rei sambil memberikan senyum polosnya.
Mendengar itu Fani hanya menghela napas, “Ya udah, ayo berangkat,” ajaknya lalu mulai berjalan keluar dari kamar apartemennya.
“Lo nggak ganti baju dulu?” tanya Rei. Karena dilihatnya Fani hanya memakai baju tidur.
Pertanyaan itu membuat Fani berhenti melangkah, lalu membalikkan tubuhnya menghadap Rei. “Kita cuma belanja ke supermarket yang di bawah, kan?”
Mendengar jawaban cuek dari cewek itu membuat Rei mendengus geli sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Nih, cewek emang nggak ada jaim-jaim-nya.
Setelah selesai membeli bahan-bahan makanan untuk dimasak, keduanya pun sampai kembali ke apartemen Fani. Rei langsung meletakkan bahan-bahan yang baru mereka beli tadi di dapur. Sambil menunggu Fani selesai memasak, Rei memutuskan untuk duduk di sofa sambil menonton televisi. Baru saja cowok itu menyalakan televisi, dia kembali teringat perdebatan kecil yang terjadi antara dirinya dan Fani saat mereka belanja tadi.
“Nggak usah pake paprika dong, gue nggak suka.”
Mendengar protes dari Rei, Fani hanya menjawab dengan datar, “Ini yang masak gue, kan? Lo tinggal makan doang, tapi berisik banget.”
“Tapi, kan, sebagai calon istri yang baik, setidaknya lo harus tahu kalo gue nggak suka paprika, Fan.”
“Siapa calon istri lo?”
Rei yang melihat Fani sudah mulai kesal, segera menghentikan perdebatan mereka. Malu juga kalau jadi tontonan orang-orang di supermarket ini. “Ya udah. Ya udah. Terserah lo aja.”
Bukan hanya itu, saat Rei meminta untuk dibelikan minuman bersoda, Fani langsung berhenti melangkah dan menatapnya tajam, “Lo belanja sendiri aja, deh. Dari tadi berisik banget, tahu nggak?”
Bukan Rei namanya kalau tidak bisa membalas. “Gue kan, udah gede, Fan. Masa lo maunya gue minum susu terus. Ini yang lo beli, hampir semuanya yang enggak gue suka, loh.”
Bukannya mengalah, Fani justru menatapnya semakin tajam, “Tadi gue udah bilang, kan, kalo lo belanja sendiri aja? Siapa yang nyuruh lo ngajak-ngajak gue?”
Mendengar penuturan itu, Rei hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bingung juga mau membalas apa.
Kalau diingat-ingat lagi, Fani memang cewek yang sangat keras kepala. Apa waktu sama Dylan dia juga kayak gini, ya? Sadar akan pertanyaannya yang bodoh, Rei kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa sadar. Itu bukan urusannya. Urusannya adalah menghancurkan orang itu lewat cewek ini.
Bau masakan yang begitu menggoda membuat Rei segera pergi ke dapur dan kemudian langsung duduk di kursi meja makan. Fani yang melihat cowok itu sama sekali tidak menghiraukannya. Dia tetap sibuk menyiapkan berbagai hidangan di meja makan dan kemudian kembali lagi ke dekat kompor untuk memeriksa apakah ayam goreng yang dibuatnya sudah masak atau belum.
Rei yang melihat hal itu segera menghampirinya dan menawarkan bantuan. “Ada yang perlu dibantu nggak?”
“Nggak. Nggak ada. Lo duduk aja. Bentar lagi juga udah selesai, kok.”
Rei kemudian mengangguk dan kembali duduk di tempatnya tadi. Benar saja, lima menit kemudian, spageti aglio olio dan ayam goreng yang dimasak oleh Fani sudah tersedia di meja makan. Melihat semua yang dimasak oleh cewek itu sudah siap, Rei segera mengambil spageti dan beberapa potong ayam goreng ke piringnya. Setelah berdoa, Rei kemudian dengan lahapnya menyantap makanan yang ada di piringnya.
“Lo jago masak?” tanya Rei disela-sela kegiatan makannya.
“Enggak. Cuma bisa, doang. Nggak jago.”
“Lo nggak mau nanya pendapat gue?”
Pertanyaan itu membuat kening Fani berlipat. Tapi, sedetik kemudian dia sadar akan maksud cowok itu. “Ohhh … nggak perlu, lah. Gue nggak butuh pendapat dari lo. Kalo lo nggak suka, gue juga nggak masalah, kok.”
Kenapa gue selalu kalah kalo debat sama dia?
“Buruan makan deh, katanya ada yang mau diomongin, kan? Kita terlalu bertele-tele, nih.”
“Kenapa, sih, lo jutek banget sama gue?”
Pertanyaan Rei lagi-lagi membuat kening Fani berlipat. “Jangan nanya sesuatu yang lo udah tahu jawabannya,” jawabnya datar.
Rei yang mendengar jawaban itu hanya menghela napas berat dan kemudian kembali melanjutkan kegiatan makannya.
Setelah menyelesaikan acara makan mereka dan kemudian membereskan dapur juga meja makan, keduanya kembali duduk di kursi meja makan. Fani hanya menunggu Rei untuk memulai pembicaraan mereka. Dia berharap ini bukan sesuatu yang akan membuatnya hancur.
“Jadi, ada apa?” tanya Fani to the point.
Rei tahu cewek itu tidak akan mau berlama-lama berinteraksi dengannya. Karena itu, dia juga akan mempercepat pembicaraan ini, sekalipun nantinya dia akan melihat Fani histeris. “Lo udah tahu kalo setahun dari acara pertunangan kita waktu itu, ortu kita udah sepakat buat bikin acara pernikahan kita? Mereka bahkan udah mulai nyiapin semuanya.”
Hening sejenak. Sampai kemudian suara Fani terdengar.
“Apaaa?!” pekik Fani. “Siapa yang bilang? Kenapa gue nggak tahu? Ini apa-apaan lagi, sih?!”
“Lo tenang dulu, dong. Lo pikir, lo doang yang kaget? Gue juga kali.” Rei juga memang sangat terkejut saat mendengar mamanya tidak sengaja berbicara tentang rencana yang sudah mereka buat. “Mereka tuh, selalu bikin keputusan tanpa persetujuan—”
“Lo tahu dari siapa? Gilaaa!!! Gue harus tanya Bunda sekarang juga,” potong Fani sambil bangkit berdiri untuk mengambil ponselnya.
Rei yang melihat hal itu segera mencekal pergelangan tangan Fani, “Mau ngapain? Gue belum selesai, tahu. Makanya, sekarang gue mau bikin rencana.”
“Rencana apaan?!” tanya Fani panik setelah duduk kembali. Dia benar-benar tidak bisa tenang sekarang. Bagaimana mungkin ayah dan bundanya mengambil keputusan sepenting ini tanpa melibatkan dirinya?
“Kok, bisa-bisanya sih, mereka ambil keputusan sendiri?” tanya Fani lirih sambil memijit pelipisnya. “Ini semua tuh, gara-gara lo tahu! Coba aja lo nggak terima pertunangan ini, semuanya tuh, nggak bakal kayak gini,” ujarnya kesal, mulai menyalahkan Rei.
Rei tahu Fani pasti akan menyalahkannya karena itu sudah ada jawaban yang akan diberikannya pada cewek di depannya ini. “Kenapa lo malah nyalahin gue? Lo juga nggak bisa nolak pertunangan ini, gara-gara diancem sama bokap lo, kan? Kenapa lo cuma nyalahin gue, doang? Padahal, emang kita berdua yang nggak bakal bisa nolak pertunangan ini karena ancaman dari mereka.”
Melihat Fani terdiam, membuat Rei tersenyum dalam hati. Setidaknya dia harus bisa membuat Fani tidak mendebatnya kali ini, agar rencananya dalam membuat kesepakatan dengan cewek ini berhasil.
“Kita bikin kesepakatan aja. Gimana?” tawar Rei.
“Kesepakatan kayak gimana?”
“Kita nggak mungkin mutusin pertunangan ini sekarang. Bisa-bisa ancaman yang mereka kasih bakal langsung dilaksanain. Jadi, gue mutusin buat lanjutin pertunangan kita sampe lima bulan ke depan. Setelah it—”
“Bentar. Bentar. Lima bulan? Nggak. Nggak. Gue nggak mau. Itu sih, lama banget,” tolak Fani mentah-mentah.
“Lo dengerin gue sampe selesai dulu bisa nggak, sih?” Rei mulai kesal dengan reaksi yang diberikan oleh Fani. “Kita nggak mungkin tiba-tiba aja mutusin pertunangan kita. Bisa-bisa nanti mereka curiga. Tapi, kalo kita udah jalanin selama beberapa bulan dan kita batalin pertunangannya, mereka pasti nggak bakal curiga,” jelasnya kemudian. Dia memang terlihat santai saat menjelaskan rencananya ini. Tapi dalam hati, dia merasa jahat karena benar-benar akan memanfaatkan cewek di depannya ini.
“Apa untungnya kalo gue ngikutin rencana lo?”
“Kayak yang tadi gue bilang, kita nggak akan ngejalanin ancaman dari mereka.”
Ya, Fani ingat bagaimana ancaman yang diberikan oleh ayahnya. Ikut ke Paris bersama mereka tanpa meninggalkan jejak apa pun untuk seseorang yang sudah ditunggunya adalah hal yang tidak mungkin dilakukannya. Cowok di depannya ini benar. Tapi, lima bulan adalah waktu yang cukup lama. Bagaimana kalau dia justru terjebak lebih jauh dengan cowok ini? Fani memejamkan matanya. Meskipun setuju dengan usul Rei, dia juga harus memberikan sedikit perlawanan.
“Yahhh … tapi terserah lo, sih. Gue nggak mau maksa juga.”
Fani membuka kedua matanya saat suara Rei terdengar. Kemudian dia menghela napas, “Oke. Tapi gue punya syarat.”
Kalimat terakhir dari Fani membuat Rei memicingkan matanya. Tapi, sedetik kemudian dia tersenyum samar. Harusnya dirinya tahu dari awal, kalau cewek ini tidak mungkin menyerah begitu saja. “Apa?”
“Gue bakal tulis di kertas,” jawab Fani yang kemudian bangkit berdiri untuk mengambil kertas dan pena.
Hampir sepuluh menit Rei menghabiskan waktunya untuk menunggu Fani menyelesaikan tulisan tentang persyaratannya. “Masih lama?” tanyanya kemudian.
“Ini udah kelar,” jawab Fani sambil memberikan kertas berisi persyaratan darinya. “Lo harus setuju semua, loh.”
Rei meneliti satu per satu persyaratan yang diberikan oleh Fani, dan matanya seketika memelotot saat membaca syarat terakhir yang diberikan oleh cewek itu.