LOCKDOWN

Lilis Setyowati
Chapter #2

CORONA PRATIWI

Menjumpai satu hari dimana, aku ingin sekali bernegosiasi dengan Tuhan. Saat-saat itu, aku mengira dunia sedang kacau, satu tragedi terjadi, dengan sekejap dapat menghabisi jutaan nyawa manusia. Dunia seakan hiruk pikuk, menampung manusia yang tidak bisa bungkam dan menutup diri. Dunia seolah tidak mengizinkan penduduknya beraktivitas. Matahari seolah mubadzir untuk dirasakan lagi kehangatannya. Media masa saling luluh lantah, informasi yang tidak bisa benar-benar di tampung. Overthingking dimana-mana. Benar-benar melebihi takaran. Layaknya menunggu giliran untuk manusia yang harus siap mati. Mati secara fisik atau mati secara akal. Mau tidak mau.

Pagi itu, aku keluar dari sebuah gedung bertingkat yang aku beri nama dengan kos. Naas, aku terkagetkan ketika semua hal mendadak berubah. Kota rantau seperti kota mati, banyak sekali garis kuning dan pagar penutup jalan. Poster-poster tertempel dimana-mana. Bahkan, aku tidak mendengar hembusan nafas sedikitpun, dan hanya mendengar degupan jantungku sendiri. Tiba-tiba, suara ambulan datang, menabrak palang penutup jalan. Aku melihat terdapat seseorang turun membawa bekakas medis, alat semprot yang entah apa namanya, serta selang oksigen, dan pertolongan kesehatan untuk berjaga-jaga. Mereka nampak aneh, kukira mereka bagian dari astronot yang hanya bisa dilihat pada film-film.Tapi teryata, mereka begitu ada dan nyata.

Mereka melakukan patroli, dengan dikawal beberapa polisi. Menyususi perkotaan, dan gang-gang penduduk. Dengan membawa cairan disinfektan serta menyemprotkannya di penjuru kota. Saat itu, aku yang tengah berdiri di sana, tidak berfikir keadaan akan seperti ini. Yang aku tahu, sedang banyak manusia mati di bumi, dengan waktu yang berdekatan, entah karena sebuah wabah atau fikiran mereka sendiri. Keadaannya sangat menguji, melebih perang perang dan pertumpahan darah dalam sejarah. Iya, kami harus berperang dengan keadaan kebungkaman, juga berperang melawan diri kita sendiri. Ketika itu juga, dunia seperti parit yang tajam, sesekalinya tidak berjaga dan berhati-hati, kita akan ditebas mati.

Di sebuah pagi, aku tengah bergegas menuju bis, setelah berlarian di sepanjang jalan. Sesekali mempercepat langkah, mencari kartu nama yang ada di tas. Sedangkan aku juga membawa tumpukan kertas dan buku. Sesekali juga membenarkan gelungan rambut yang hampir lepas. Aku benar-benar kesiangan akibat lembur di kos. Seperti biasa, aku harus menyusun berita baru setiap harinya.

Sesampainya di bis, susana tetap sama. Padat dan pengap. Aku masih sibuk dengan membuka-buka tas, mencari kartu nama yang entah di mana. Setelahnya, aku membuka dompet, alhasil aku tak menemukannya. Heran, kurang lebih fokusku jadi hilang akibat kurang tidur. Tidak lama kemudian, bis berhenti, menandakan sampainya di tempat tujuan. Aku menuju kernet, membayarnya, dan menuju pintu depan, keluar dari himpitan orang-orang, dan masih sibuk dengan tas dan beberapa bawaanku yang sedikit merepotkan.

Tidak lama kemudian,

“Corona Pertiwi. Atas nama Corona ..”, ucap kernet tersebut dengan berteriak melewati kerumunan orang yang berdiri didalam bis.

“Sebuah ID card baru saja jatuh dari saku, mbak ...”, tambahnya.

“Oh. Baik, hehe. Terima kasih, Pak!”, ucapku.

Perkenalkan, namaku Corona. Corona Pertiwi lengkapnya. Gadis berusia 20 tahun yang gemar sekali membuat rumit hidup sendiri, begitu kata kebanyakan orang. Tapi, sebetulnya tidak, aku hanya terlalu banyak memakai prolog. Seperti novel, cerpen, dan lain sebagainya. Disamping itu aku juga gemar menulis, maka darinya, sekarang ini aku bekerja pada kantor percetakan berita, dan buku. Sedang kantor yang kunaungi kurang lebih dua tahun ini, memberi wadah seputar desain dan seputar arsitektur. Mungkin ini, alasan mengapa aku memberanikan diri untuk merantau di kota besar, jauh dari keluarga. Aku, ingin menemukan diriku di sini. Iya, ditempat yang menyenangkan saban harinya.

Aku adalah gadis desa, yang selalu dipecut oleh hal yang membuatku harus pergi bernaung di kota ini. Dulu, orang tuaku tidak pernah setuju jika aku pergi jauh, apalagi merantau. Saban hari, aku selalu terbayang dengan kalimat demi kalimat di mana semuanya dimulai. Aku ingat betul bagaimana kata ibu dan bapakku, ketika itu.

“Nduk, wong wadon kui ora entuk lunga adoh, opo maneh merantau. Sing cedhak-cedhak wae ya, ngger” (Nak, perempuan itu tidak boleh pergi jauh, apalagi merantau. Yang dekat-dekat saja ya, Nak) ucap ibuku, dengan mengelus pundakku, di kamarku.

“Ibu, kula niki mung lulusan SMK. Paling mentok ya kerja Pabrik. Ina mboten purun menghabiskan usia muda Ina di sana, Bu. Ina pingin mencari relasi, tahu banyak hal, dan jadi orang desa yang modern, Bu. Ora kaya konco-konco Ina kae, lulus sekolah, langsung nikah. Mboten ngoten, Bu” (Ibu, aku ini lulusan SMK. Paling hanya bisa kerja di Pabrik. Ina tidak mau menghabiskan usia muda Inda di sana, Bu. Ina pengen mencari relasi, tahu banyak hal, dan jadi orang desa yang modern, Bu. Tidak seperti teman-teman Ina itu, lulus sekolah, langsung nikah. Tidak seperti itu, Bu).

“Nduk, kerja di Pabrik kui halal. Sampean iso mengelola ladange bapak barang, melu kerja wong kelurahan, opo bakul to, Nduk” (Nak, kerja di Pabrik itu halal. Kamu bisa mengelola ladang Bapak juga, ikut kerja orang kelutahan, atau bisa jualan, Nak)

“Bu. Ina tetep pingin ning Kota. Ina gadah potensi sing kudu digali. Wong wadon kui ndue hak mengenal dunia Bu, ora mung seputar dapur, resik-resik omah, kebon, lan nunggu dipek wong ngono wae” (Bu, Ina tetap ingin ke Kota. Ina punya potensi yang harus digali. Perempuan itu punya hak mengenal dunia Bu, tidak hanya urusan dapur, bersih-bersih rumah, kebun, dan menunggu dinikahi orang begitu saja).

“Sampean kui selalu pinter nek ngomong. Koyo bapakmu. Yowes karepmu, Nduk. Sakbenere sampean ki mung kurang ndelok wae, kurang membuka mata” (Kamu itu pinter kalau ngomong. Seperti Bapakmu. Yasudah terserah kamu, Nak. Sebetulnya, kamu hanya kurang melihat saja, kurang membuka mata).

“Ibu mung khawatir, hal di luar sana mengubah gendukku yang manis ini” (Ibu hanya khawatir, hal di luar sana mengubah anakku yang manis ini).

“Mboten Ibu, insyaallah. Matur nuwun, nggih. Opo sing di karepke Ina niki, damel Ibu lan Bapak. Ina nomer kalih” (Tidak Ibu, insyaallah. Terima kasih, Iya. Apa yang diinginkan Ina ini, untuk Ibu dan Bapak. Ina nomor dua).

“Pesen Ibu lan bapak mung siji. Jaga diri, tetep gowonen Jawamu. Ibu ora pingin gelungan rambutmu kui pudar, lan maleh dadi warna-warni kaya putrine Pak Sarji kae, ya. Tetep srawung, mesem, lan ucapan kui nunjukake kualitas awakmu” (Pesan Ibu dan Bapak Cuma satu. Jaga diri, tetap bawa Jawamu. Ibu tidak ingin gelung rambutmu itu pudar, dan berubah menjadi warna-warni seperti anak Pak Sarji itu, ya. Tetap raah, murah senyum, dan ucapan menunjukkan kualitas dirimu).

Tidak mudah untuk mengambil hati ibu dan bapak, harus dapat meyakinkan mereka. Semenjak saat itu, aku punya dua kewajiban yang selalu kubawa. Menjaga diri, dan berusaha menggenggam apa yang aku mau. Dari hal itulah, aku selalu menjadi perempuan Jawa, yang selalu menerima, meski terkadang pahit, tapi ini pilihanku. Mulai dari sini juga, kekecewaan, rasa cemas yang mencekam, rasa takut, dan hal besar menebas habis diriku. Mau tidak mau, aku berupaya berdiri sekuat tenaga, sendiri, di Kota orang.

Menjalani hidup di sebuah kota besar memang tidak mudah. Apalagi umurku masih sebiji jagung, untuk jauh dari orangtua. Namun demikian aku menyukainya. Semua akan lebih enteng, dan mudah ketika kita mencintai apa-apa yang kita lakukan. Satu lagi aspek penting, yaitu mengenai bagaimana cara kita menyikapi di setiap hal yang akan terjadi nanti. Seperti saat ini, aku menyukai semua hal. Mulai dari aktifitas, kesibukan, dan beberapa circle pertemanan yang dari dulu kuimpikan.  

Sudah hampir dua tahun tinggal pada salah satu gedung yang letaknya di kota besar ini. Kos satu-satunya yang unik, sesuai, ramah, dan yang pasti murah. Aku heran kenapa bisa kos berlantai tinggi ini digunakan untuk kos, bukan vila atau sebagainya. Selain itu, harganya pun relatif murah. Belum lagi dengan ibu kos yang super ramah, yang mengangap kami penghuni kos sebagai anaknya sendiri. Disamping itu, fasilitasnya sangat komplit dan menyenangkan. Aku juga sudah cukup ramah dengan para orang-orangnya. Kami sudah seperti keluarga, meski baru bertemu dua tahun lamanya.

 Hal yang paling aku suka, terjadi di setiap pagi. Kami akan mendengar bunyi panjang, keras sekali. Tujuannya, untuk membangunkan anak-anak tidur. Aku heran kenapa tempat ini di lengkapi dengan hal-hal yang melebihi ekspektasiku sebelumnya. Satu lagi, sampai saat ini pun, terdapat satu hal yang belum kutemui jawabnya, bahwa mengapa ibu kos selalu memasak telur ceplok setiap pagi. Bahkan, hal ini menjadi salah satu syarat untuk masuk di kos ini, mengenai sarapan saban hari.

Begitu keluar dari tempat tinggal, aku hanya perlu berjalan sedikit untuk menuju halte dan menemukan bis yang akan menghantarkanku pada sebuah gedung bertingkat, yang menjadi tempat berproses setiap hari. Aku tidak pernah mengimpikannya untuk sampai pada pekerjaan ini. Bahkan akan terdengar sedikit mustahil bilamana aku bisa duduk di salah satu ruangannya. Pasalnya, aku hanya lulusan Sekolah Menengah Kejuruan. Nilaiku juga menjadi salah satu aspek yang tidak dapat dipriositaskan. Aku selalu mendapat nilai merah pada mapel matematika, dan soal berhitung lainnya. Tapi, satu hal yang membuatku sampai di titik ini. Kata salah satu pimpinan redaksi mengatakan bahwa, pengalaman, ketrampilan, dan tekadku terlampau tinggi. Tentu tidak mudah, aku harus berjuang mati-matian untuk berada mendapatkan semuanya. Sama seperti definisi juang milik orang-orang.

Selain belajar dan bekerja, ada hal yang jauh lebih menyenangkan, bahkan melebihi apapun di saban hari. Seperti hidup ditengah-tengah keluarga, ketika aku bersama mereka. Tapi, bukan berarti aku tidak merindukan keluargaku di rumah. Namun, ada kehangatan sendiri ketika kami sedang berkumpul, menyelesaikan pekerjaan, masalah, memecahkan solusi demi seolusi, dan saling menyusun strategi. Sama, sama seperti lingkup pertemanan pada umumnya, kami seringkali debat karena berbeda pendapat, dan sebagainya. Tapi, alhasil, selalu dapat kembali seperti biasa tatkala satu dengan yang lain saling memahami. Inilah yang kami sebut dengan proses pendewasaan. Hangat, hangat sekali.

Sedikit heran memang, ketika mengenal mereka yang usianya jauh dariku. Bahkan, aku seperti bocah dalam lingkup ini. Mereka terdiri dari berbagai usia, mulai dari 23, 24, sampai 27 tahun. Tapi, bukan jadi masalah. Dua tahun belakangan ini berhasil membuktikan, bahwa aku berhasil untuk berusaha menyesuaikan lingkunganku orang-orang dewasa seperti mereka, yang saban hari selalu membahas topik pernikahan yang menggelikan.  

Hari-hari berjalan dengan semestinya. Berangkat pagi, pulang petang, dan masih saja membawa tumpukan kertas yang nantinya akan memberatkan meja belajar di kamar kos. Setiap hari, kami harus menulis berita, menulis opini, dari beberapa tokoh dan berbagai pihak, mencetak buku, mengedit tumpukan tulisan, dan lain sebagainya, tanpa henti. Bahkan, kami juga harus menyiapkan berita hangat setiap hari. Mengumpulkan berita lawas, membuangnya, dan menggantinya dengan yang baru. Melelahkan, sampai-sampai tim redaksiku selalu membawa keperluan tidur masing-masing, untuk berjaga-jaga apabila harus menyelesaikan pekerjaanya. Namun, ini sangat menyenangkan.

Pekerjaan jadi tidak terlalu melelahkan ketika aku berada di ruang ini, selalu ramai akan topik-topik yang kadang memang tidak penting tapi selalu kami bahas setiap hari, musik pembangkit semangat yang selalu menyala tiap waktu. Yang paling utama, jendela besar yang menyuguhkan pemandangan perkotaan dari gedung ini. Apalagi ketika aku berangkat pagi-pagi. Menarik kursi, merasakan cahaya yang berusaha menyelinap masuk melewati celah celah kaca, dan menikmati kopi yang kubeli dari kantin kantor. Satu hal yang membuatku bersemangat saban hari, untuk berangkat pagi. Satu hal yang membuatku semakin menikmati indahnya berproses.

Tim redaksi terdiri dari enam orang. Perkenalkan, ada aku, Nooba, Kava, Noora, Brian, dan Wildan. Entah mengapa, sampai sekarang pun aku tidak begitu paham, mengapa takdir mempertemukan aku dengan mereka. Lebih jelasnya, satu hal yang kami takutkan, ketika pimpinan redaksi kami mengubah tim, dan memisahkan kami berenam. Meski masih sekantor, dan hanya berbeda ruangan, tapi tentu kami akan sangat kecewa bila hal itu terjadi. Sebisa mungkin, kami selalu mempertahabkan tim ini, bagaimana cara dan apapun kondisinya.

Tentu saja masing-masing kami memiliki life skill yang berbeda. Perkenalkan, Kava, perempuan sedikit tomboy yang selalu memakai sepatu convers ini sangat dewasa. Bahkan bukan hanya dewasa, tapi juga sudah seperti koordinator di tim kami, ia selalu memiliki jiwa kepemimpinan, sama persis dengan ayahnya yang berkecimpung di dunia politik. Meski begitu, sedari awal berkenalan, aku tidak pernah merasakan Kava benar-benar menikmati pekerjaannya. Aku kerap sekali menemukan buku-buku mengenai seputar pertanian tergeletak di mejanya.

Kedua ada Nooba. Nooba adalah salah satu perempuan cantik yang berusia 25 tahun. Usianya dua tahun lebi tua dari Kava.Meski begitu, sikapnya selalu kekanak-kanakan, namun sangat menyenangkan. Tapi dengan adanya dia, suasana selalu ramai. Perempuan berkulit putih langsat, dan memiliki berat badan 60 kg tersebut, sangat menyukai bidang kecantikan.

Ketiga, terdapat Noora yang merupakan perempuan cantik, lemah lembut, dan selalu jadi manusia paling lamban di antara kami. Tidak heran ketika kerapkali menjumpainya terlambat dalam pertemuan apapun. Dia selalu memprioritaskan penampilan dan kharismanya. Dia juga mempunyai satu brand make up yang sudah terkenal di beberapa kota. Perempuan bertubuh mungil ini sangat dekat dengan Nooba. Mereka berdua seringkali bekerjasama dan mengurus usaha make upnya bersama.

Selanjutnya ada Brian, laki laki berusia 27 tahun yang tidak pernah mengenal perempuan. Bahkan, laki-laki keren, bertubuh kekar itu tidak mempunyai kontak perempuan di ponselnya. Hanya ada aku, Kava, Nooba, Noora, dan keponakan-keponakan perempuannya. Tapi, tentu bukan tanpa alasan, laki-laki yang usianya paling tua di antara kami itu selalu konsisten dengan karirnya. Ia berupaya menghebatkan bisnisnya dengan baik. Brian termasuk tipikal orang yang pendiam, ia juga selalu cemas ketika usahanya tidak mencapai target. Orang seperti Brian memang tergolong baik, tapi teralu antusias dan selalu berupaya atas usahanya agar cemerlang justru membuat dia sulit menikmati hidup.

Kelima ada Wildan. Satu-satunya manusia unik, aneh, dan tidak mudah ditebak. Wildan tidak setampan Brian, tapi selalu terlihat manis dan memukau dihadapan semua orang. Dia adalah salah satu manusia paling santai dalam tim. Kami berdua memiliki kesamaan, yaitu sangat menggemari kopi. Seringkali menyengajakan berangkat pagi, hanya untuk menikmati secangkir kopi panas bersama. Duduk berdua, menikmati segala aktivitas dari balik kaca.

Disamping sikapnya yang sulit dipahami, Wildan ternyata menggemari motor balap. Ia berulangkali mengajakku pergi, tapi aku selalu menolaknya karena sama sekali tidak tertarik. Tapi, suatu hari, bujukan dia berhasil membuatku pergi ke sirkuit bersamanya, dan melihat dia bertanding. Saat itu juga, kali pertama aku bersamanya, ia hampir kehilangan kaki kanan, akibat pertandingannya tersebut. Alhasil, sampai sekarang kaki Wildan tidak seutuhnya baik. Dokter melarang untuk melakukan aktivitas berat, sehingga mengganggu kesehatan kakinya. Semenjak saat itu, Wildan menyukai ketenagan, jauh dari keramaian, dan menjadi orang yang damai, benar-benar sangat menggemari gitas dan kopi. Apalagi dengan keluarga yang selalu bersikap otoriter terhadapnya.

Terakhir ada aku, Corona Pratiwi. Orang-orang memanggilku Ina. Perempuan desa biasa-biasa saja, yang selalu menggelung rambut di saban hari. Orang-orang bilang, namaku aneh. Akupun juga tidak mengerti dengan arti nama tersebut. Yang pasti, orangt uaku tidak salah memilihkanku nama. Sampai saat inipun, aku juga tidak memiliki rencana untuk menanyakan seputar namaku. Yang aku tahu, nenek buyutku yang pernah bekerja di salah satu apotik tradisionallah yang membantu Ibuku untuk memberi nama ini.

 kepribadian, mereka bilang, aku terlampau dewasa dari usiaku sendiri. Padahal, bukan, aku hanya sering diam, dan berbicara seperlunya. Terkadang, kedewasaan seseorang dapat disimpulkan dari sikap kita sehari-hari, oleh orang lain.

 usia 20 tahun ini, aku ingin bisa membawa segala hal menjadi terarah dan lebih baik. Mudah menyesuaikan, menyelesaikan apapun dengan konsisten, serta tidak setengah-setengah dalam mengerjakan sesuatu. Namun, lain hal, aku merasa kerapkali memperumit diriku sendiri. Mampu memeluk orang lain dari pada memeluk diri sendiri, mampu menyelesaikan masalah orang lain, ketimbang menyelesaikan masalahku sendiri, begitu kata kebanyakan orang. Baik di mata orang lain, tapi tidak pernah baik di mataku sendiri. Satu kelemahan yang berpengaruh dalam hidupku, yaitu mengenai sulitnya mencintai diri sendiri. Sampai saat ini, aku belum mengerti benar bagaimana mengenali diriku. Semua berjalan begitu saja.

Malam itu, sepulang dari kantor, kami berenam memiliki rencana untuk pergi ke satu tempat yang menjadi basecamp kami. Remang-remang, sederhana, dan hangat sekali. Iya, kami menyebutnya angkringan. Tempat makan menyenangkan, yang terletak di pinggir jalan raya, juga tidak jauh dari kantor. Benar-benar selalu menyita perhatian kami. Selain makanan yang enak, bersih, dan murah meriah, pelayanannya juga ramah. Bahkan, hingga pemiliknya menyediakan wifi gratis untuk para pembeli. Tidak heran ketika tempat tersebut padat pembeli. Bahkan, banyak anak muda menghabiskan waktu di sini, setiap malam.

Seperti biasa, kami memesan tiga susu panas, satu air jahe, dan dua gelas kopi tubruk yang panas. Selain itu, membeli aneka tusuk sate usus. Disusul juga dengan gorengan serta sambal ijo yang selalu membuat Brian menangis. Kami menyantapnya bersama, bergurau, dan bercerita sepanjang malam.

“Berdua kopi mulu, jangan banyak kopi. Susah tidur nanti, di bilangin juga”, ujar Brian dengan menyantap gorengan panas dengan sambal.

“Ya, gausah nangis juga kali Ian, cuma sambel juga”, Jawab Kava, dengan menyeruput air jahe.

“Daripada kamu, kayak orangtua. Jahe mulu dari dulu”, jawab Brian dengan raut wajah merah.

Kami hampir tidak pernah kehabisan topik, saban harinya. Hal-hal tidak penting akan menjadi pembicaraan ketika kami berkumpul. Nooba dan Noora yang selalu diam-diam memakai lipstik dimanapun tempatnya, Brian dan Kava yang selalu asik dengan segala hal, Wildan bermain gitar, dan aku yang sangat menikmati kehangatan ini. Hidup, sedang indah-indahnya, tidak ada yang perlu dicemaskan.

Di angkringan juga memberi fasilitas televisi sederhana, yang menggantung pada gubuk paman pemilik angkringan tersebut. Meski hanya memiliki satu chanel, kuperhatikan orang-orang juga memanfaatkannya dengan baik. Meski kadang juga tidak nyaman untuk di tonton, dan harus memutar antenanya.

Tapi, malam itu nyala televisi begitu jelas. Satu chanel yang berisi seputar berita dari media masa luar negeri, tepatnya di Wuhan, China, menginformasikan sebuah pasar. Nooba sempat menyuruh kami untuk memperhatikan berita tersebut, sesekalinya melihat kemudian menghiraukan, dan melanjutkan untuk menyantap sate usus. Kuperhatikan sekilas beberapa orang tengah membicarakan pemberitaan tersebut.

Pukul 23.00 WIB, suasana masih saja ramai. Meski begitu, kami memutuskan untuk pulang. Karena hari esok harus kembali bekerja. Masing-masing kami meninggalkan angkringan tersebut. Seperti biasa, Wildan menawariku tumpangan, tapi aku selalu menolak karena tidak enak dengan ibu kos yang akan melihatku bersama laki-laki pada malam hari. Seperti biasa juga, aku memutuskan untuk menuju halte terdekat dan menaiki bis. Kami saling berjabat, memeluk satu sama lain, dan berpamit pulang.

Lihat selengkapnya