Waktu berjalan dengan agenda dan pekerjaan yang melelahkan, kadang juga membosankan. Hari ini, tepat pada hari dimana aku memiliki janji dengan seseorang. Pertemuan yang beda dari saban harinya. Padahal, hari ini seharusnya aku sudah sampai di rumah, bertemu dengan keluarga. Berbohong kepada Ibu, mendahulukan hal yang tidak pasti ketimbang mendahulukan pertemuan dengan keluarga sendiri. Sekilas, aku merasa jadi anak muda yang tidak tahu diri. Merasa bersalah, tahu jika salah, tapi tetap melakukannya. Aku harap, tidak ada anak muda yang menyedihkan sepertiku.
Siang itu, ia mengajak pergi ketempat tinggalnya. Rumah paman dan bibi Wildan tepatnya. Sejak kecil, paman dan bibinyalah yang merawat Wildan. Orangtuanya sudah lama bercerai. Sedangkan ayahnya memiliki istri, dan ibunya juga tinggal di luar negeri bersama dengan suami barunya. Ia hidup tanpa prioritas orangtua, semenjak masing-masing memiliki anak, dan kehidupan yang baru. Mendengar hal ini, aku semakin mengerti dengan hidup Wildan yang tidak mudah.
Dengan cuaca cerah, dan keadaan yang benar-benar mendukung, kami makan bersama. Di samping itu rumah yang megah dengan konsep klasik ala tempo dulu sangat menyita perhatianku. Mataku mengajak berkeliling, melihat langit-langit, dan berbagai foto keluarga yang terpapang di dinding.
Dengan televisi yang menyala, dan memutar salah satu chanel yang menginformasikan seputar permasalahan ekonomi dan naiknya beberapa harga pangan, aku duduk terdiam sembari menunggu Paman dan Bibinya datang. Tidak lama kemudian, dua perempuan paruh baya datang, membawa nampan yang berisikan berbagai makanan. Menghidangkan segala menu yang asing, dan jarang kutemui. Kemudian di susul dengan kedatangan Paman dan Bibi Wildan.
Aku merasa enggan untuk duduk dan makan bersama dengan keluarganya. Dengan sumpit yang mengapit ayam panggang, dan beberapa makanan yang tersaji, Bibi Wildan mempersilakanku untuk segera makan. Hanya seputar makan, aku harus memikirkan banyak hal. Salah satunya dengan bagaimana menggunakan sumpit yang baik dan benar, sedangkan aku terbiasa untuk makan tanpa menggunakan sendok dan terbiasa makan di angkringan. Kini, beberapa hal yang berbau modern justru membunuhku perlahan.
Seusai makan, tiba-tiba dadaku berdegub kencang, aku merasakan keringat yang mengalir di tubuhku. Pipiku memerah, dan aku benar-benar diam tidak berkutik setelah video call masuk dari ayah Wildan. Buru-buru ia mengangkatnya.
“Halo, apa kabar ayah. Aku sedang makan, ada Ina disini”