Aku menjumpai hal yang pelum pernah terjadi dalam hidup. Ini akan menjadi satu sejarah hebat sepanjang hidupku. Saat itu, aku tengah keluar dari kos. Naas, aku terkagetkan ketika segala hal yang mendadak berubah. Tempatnya seperti kota mati, banyak sekali garis kuning dan pegar penutup jalan. Poster-poster, berita, tertempel dimana-mana. Bahkan, aku tidak mendengar hembusan nafas sedikitpun. Aku hanya mendengar degupan jantungku sendiri. Tidak lama kemudian, suara ambulan datang, menabrak palang penutup jalan. Aku melihat terdapat seseorang turun membawa berkakas pertolongan kesehatan. Mereka nampak aneh, kukira mereka bagian dari astronot yang sedang menjajah bumi, yang belum pernah kulihat sama sekali. Ternyata mereka orang-orang medis.
Aku berjalan menyusuri kota, menuju halte dan berencana menemukan bis disana, untuk menuju kantor. Ambulan dengan beberapa tim medis nampak seperti sedang patroli besar-besaran mengelilingi kota. Tapi, dalam perjalanan menuju halte, aku tidak melihat siapa-siapa. Rumah-rumah, gedung, kios tertutup rapat. Kota ini bersih, sepi, dan hening. Aku melihat pamflet, poster, dan MMT besar yang bertambah banyak. Bahkan, setiap selangkah berjalan aku menjumpai tulisan-tulisan mengenai pencegahan Covid-19, dan himbauan supaya di rumah saja. Aku memutuskan untuk tetap berjalan. Aneh, aku seperti sedang berada di kota mati, yang sebentar lagi akan keluar banyak sekali zombie yang akan menerkamku dari berbagai sudut kota.
Aku menyebrang jalan raya, yang kini tidak perlu khawatir saat menyebrang jalan. Pasalnya, keadaan sangat sepi, tidak ada siapapun yang berlalu lalang. Aku melihat CCTV yang berada di persimpangan seperti sedang memperhatikan langkahku. Namun, aku tetap melanjutkan perjalanan. Sesaat setelahnya, aku mendengar bunyi sirine nyaring sekali dari beberapa polisi yang kenuju kemari. Ada dua motor polisi menghampiriku. Aku sedikit cemas, seketika aku berhenti, memperhatikan langkah mereka yang sedang menujuku.
“Permisi, anda mau kemana?”, ucap salah satu dari mereka dengan suara luluh lantah, tegas, tapi sedikit tidak jelas akibat tertutup masker tebal yang dipakainya.
“Mau ..., ngantor pak”, ucapku dengan gugup.
“Dimana? Kenapa bisa keluar? Di rumah tidak ada televisi? Tidak punya ponsel?”, ucap polisi tersebut.
“Saya bekerja di kantor Mata Media”, jawabku.
“Oh, orang media. Mari saya antar”, ujarnya.
Sontak, polisi tersebut mengeluarkan alat untuk mengukur suhu tubuh, menyodorkan pada kening, dan memperhatikanku dari bawah hingga atas. Aku mengerti, ini pasti demi keamanan. Setelahnya, salah satu dari mereka memberiku tumpangan, dan mengantarkanku sampai ke kantor. Setibanya, aku mengucap terima kasih, dan permohonan maaf atas ketidaknyamanan ini. Sungguh, pingsan dan sakit selama satu minggu benar-benar membuatku ketinggalan banyak informasi.
Sesampainya di kantor. Orang-orang terlihat sangat tertutup. Memakai masker, dan alat pelindung diri lainnya. Rapat sekali. Aku buru-buru menuju ruangan. Sesampainya, teman-teman memandangiku dengan aneh. Semacam baru saja terjadi sesuatu tanpa kuketahui.
“Assalamuallaikum”
“kamu gila, Na. Corona, kamu benar-benar gila!”
“Kita panik, Na. Kenapa gabisa di hubungin!”
“Setidaknya kamu kabarin kita kita, dong, Na ...”
“Mohon maaf, pekerjaan dan beberapa hal membuatku terlalu letih. Aku pingsan, dan sakit selama satu minggu. Tidak sempat membuka ponsel, tapi aku sudah meminta tolong untuk menginformasikan hal ini pada Ibu Kos. Aku juga sudah mendapat izin dari pimpinan”
“Na, Na, Na, cukup. Bukan izin dan pekerjaan. Ini soal kamu, soal kita”
“Kamu tau, bagaimana keadaan di luar sana? tiba-tiba kamu ngilang. Aku kira, kamu mati ...”
“Apa sih mati-mati!. Ngga perlu ribut. Dia udah sampe sini. Yaudah, namanya orang sakit, kamu juga kemarin ngasih dia job disk banyak banget, sampe ga tidur dia, Va!”
“Nyalahin aku, Dan? Belain terus Corona kamu. Aku mau cabut, mau ke pimred. Ada meeting mendadak hari ini”, sembari mengemas beberapa buku dan pergi meninggalkan kami.
Kami sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Ribut, kacau, dan kembali baik. Pagi itu aku justru merasa bersalah, ketika sengaja tidak menggunakan ponsel dengan baik. Tapi, keadaan benar-benar membuatku jatuh. Ketika pekerjaan menumpuk, jam tidur yang berantakan akibat terlalu sering mengkonsumi kopi, dan mendengar kabar bahwa Ibuku sakit. Selain itu, fisik memang sedang sulit diajak bekerjasama.
Hari-hari itu aktifitas berjalan seperti biasanya. Pekerjaan kembali menumpuk, dan Ibu yang belum juga sembuh. Aku memutuskan untuk mengatur kembali waktuku. Seperti tidur tepat waktu, makan teratur, dan menjaga kondisi tubuh. Apalagi dengan keadaan yang seperti ini. Semua orang harus seperti benar-benar menjaga dirinya dengan baik. Disamping segala hal yang berkaitan dengan tubuh, aku juga harus menjaga pola pikir. Nyatanya, overthingking, rasa cemas, gundah, dan khawatir akan lebih cepat membunuh.
Mengenai pandemi virus Covid-19 ini, hal-hal baru mulai bermunculan. Pagi itu, aku bersama dengan teman-teman berada di auditorium bersama. Mendengarkan pimpinan redaksi dan segenap tim mengumumkan pasal aturan bekerja yang harus di taati. Mulai dari menegaskan kembali untuk memakai masker. Mengharuskan mengenakan beberapa alat pelindung diri ketika mendapati kerja lapangan, mencuci tangan dan melakukan tes suhu tubuh sebelum masuk ruangan, dan masih banyak lagi aturan yang harus diterapkan
Tentu hal ini menjadi sesuatu yang baru bagi kami. Peraturan ini mulai di sahkan ketika penyebaran virus di Indonesia semakin pesat. Maka, dari berbagai kantor, perusahaan, dan tempat kerja menerapkan aturan tersebut dengan baik. Satu lagi, karena banyak berita dan perkembangan yang harus diliput, pihak kantor tidak meliburkan kami. Padahal, banyak sekali pekerjaan yang sedang diliburkan, untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Beginilah suka duka bekerja sebagai orang media. Aku mulai kembali menata niat, bahwa masyarakat butuh informasi, tanpa harus keluar rumah.