LOCUS: kasa kufasa

Miftachul Arifin
Chapter #2

PROLOG

Daun-daun mengering lebih cepat dibanding kondisi lazimnya. Reranting rapuh patah dan berjatuhan. Kaki-kaki para entitas pemuja eksistensi ruang dan waktu menginjak guguran pepohonan. Langit sedang sendu dan beberapa kali suara guntur terdengar samar-samar. Ahli nujum dan praktisi prekognisi menerka yang hendak terjadi. Angin dan gelombang ombak di lautan saling bergolak. Flanas-flanas (hewan-hewan) enggan ke luar sarang. Fiares-fiares (tetumbuhan) mengatupkan kelopak-kelopak. Langit Locus tengah menuju peristiwa geger sejagat. Dewa-dewi kebingungan menyikapi keadaan karena baru kali pertama berhadapan dengan situasi ini. Tidak ada satu entitas pun siap untuk menyaksikan perubahan apa yang akan terjadi, baik kiwari maupun nanti. Apakah sesegera mungkin atau kelak di kemudian waktu. Bukan hanya mereka, Alam 3, dan wilayah langit yang mesti bersiap, seantero Locus juga demikian.

Locus adalah dunia pasca-Apeiron. Semesta setelah Era Kekosongan yang hampa dan gulita. Masa-masa hening dan sepi secara masif mengisi celah di antara gang-gang kota. Apa-apa yang tertinggal dari sisa-sisa peradaban lama serta peperangan di padang gurun waktu itu masih utuh (bisa juga tidak) pada tempatnya. Ditinggalkan tak terurus tanpa dihuni satu entitas pun atau mengalami perubahan geografis dan tenggelam ke dasar lautan. Reruntuhan ialah saksi bisu dari masa lalu dan sekelompok kecil pengelana akan menyingkapnya dalam setiap kesempatan perjalanan mereka. Kebanyakan mengejutkan, tetapi tak menutup kemungkinan memilukan atau bahkan ironis. Fakta-fakta baru juga boleh jadi bakal terkuak ihwal cerita lama sosok-sosok tertentu.

Memasuki Era Kebangkitan, bukan hanya para entitas, ketiga Alam pun berproses untuk memulihkan kembali diri masing-masing dan keseimbangan. Namun kendati demikian, tak ayal bila dengan mudah bisa menjumpai monster-monster berkeliaran maupun kuburan dalam reruntuhan. Bebatuan dengan energi melimpah ruah atau catatan-catatan rumpang. Apeiron memasuki Era Kekosongan tanpa peringatan sama sekali. Tiba-tiba dilalui gulungan gelombang raksasa Bencana yang dilepas oleh penjaganya, sang Master Sihir Segel –dengan berbagai pertimbangan dan diskusi alot. Sudah barang tentu bila hampir tak satu entitas pun siap dengan kedatangannya. Lagipula situasi waktu itu sedang berada di penghujung perang. Untuk benar-benar mengakhirinya, beberapa pihak mesti saling melibatkan diri dan bersepakat dengan bulat dan matang membuat keputusan final. Walau sejumlah entitas rupanya berhasil menyelamatkan diri dan menjadi penyintas dengan menyeberang ke beragam Bumi. Itu pun dengan konsekuensi tak bisa kembali. Satu di antaranya bertemu seorang manusia yang kemudian menjadi raja pertama di sebuah kerajaan bernama Gading Galunggung (Orang-Orang Menara Gading).

Dunia pada Era Kebangkitan tak dinyana butuh dinetralkan lagi dari ancaman para monster dan pengembaraan sebuah tim akan sekaligus mengatasinya. Meski tak semuanya bakal mudah. Monster-monster itu ibarat evolusi menyimpang dari beragam entitas, entatos, flanas, dan fiares. Ada pula yang lahir sebagai manifestasi dari sekumpulan miasma atau energi yang memadat lalu memilih bentuk-bentuk tertentu. Tak pelak bila banyak di antaranya seram, ganas, buas, liar, sadis, atau mengerikan. Seekor monster tak dapat diajak berkompromi dan mereka ada tersebar di beragam koloni. Kelompok-kelompok lama, para pengungsi, atau baru menempati area-area yang masih belum berpenghuni. Perjalanan Locus bukanlah tamasya melepas penat atau sekadar istirahat. Masalah demi masalah menanti giliran untuk muncul dan menyambut sesuatu datang menuju mereka. Terkhusus kehadiran sekelompok tiga entitas dengan latar belakang berbeda-beda di wilayah-wilayah Alam 3 Locus.

Alam 3 mulanya dan sudah sejak amat lama menjadi tanah tempat huni paling didamba dan diminati oleh hampir seluruh entitas di Semesta Alternatif. Ketimbang Alam 2 dengan titik-titik wilayah kebal hukum atau area tanpa aturan hukum. Pun Alam 1 dengan carut-marut kependudukan dan persoalan sipil yang seakan tampak baik-baik saja, tetapi nyatanya menyimpan banyak kebobrokan. Namun, demikian Alam 3 hingga Era Kekacauan. Bak oasis di antara sayup-sayup taman surga. Lebih dari yang lain, tetapi hanya sampai sebelum Era Kekosongan. Sesudah itu atau sejak Era Kebangkitan dimulai lewat energi baru dari eksistensi Bencana, Alam 3 tidak pernah lagi sama. Begitu pula dua Alam lainnya. Alam 3 menjadi nyaris tidak ada bedanya dengan dua Alam di bawahnya. Status, situasi, kondisi geografis, keadaan demografis, kehidupan sosial bermasyarakat, hingga keamanan dan kenyamanan tempat tinggal sudah berubah.

Bagaimanapun, mau tidak mau, suka tidak suka, mesti diakui bahwa beban tanggung jawab sebuah tim pengembara dengan tiga anggotanya ini sangat besar. Bukan hanya bagi diri mereka masing-masing, melainkan pula terhadap masyarakat. Pertemuan demi pertemuan jelas bakal sering terjadi, baik dengan wajah-wajah baru nan asing maupun kenalan lama dari era sebelum-sebelumnya. Namun, bukan Semesta Alternatif bila tak punya kejutan atau plot alternatif kemunculan seseorang, sesuatu, atau sosok tertentu. Karena setiap keadaan memungkinkan perjumpaan. Kadang diikuti perpisahan, tetapi pertemuan pasti terjadi.

Lihat selengkapnya