“Bonar, kau ada kunjungan.”
“Iya pak.”
Dia berjalan menyusuri jalan kecil. Diantara sekat ruangan tembok dingin dan jeruji besi. Dibaliknya berisi orang-orang yang ramai namun sunyi. kedua kaki itu terus dilangkahkan dengan gontai. Hiruk pikuk yang disana berlawanan dengan langkah kakinya. mereka yang bersuara juga tidak mendengarkan mau mendengarkan apa-apa, suara-suara itu langsung memantul saat membentur telinga, karna kesunyian yang sebenarnya sekarang ada di dasar hati mereka masing-masing. Hati Bonar juga demikian.
“ah.”
Ia tidak penasaran siapa lagi yang mengunjunginya, baginya semua akan sama saja. Dimulai dari tatapan orang-orang yang menelanjanginya. Mereka menuntut kalimat-kalimat penyesalan untuk keluar dari mulut bonar. Mereka menyalahkan dirinya dengan logika-logika mereka. Ia merasa ditinggalkan.
Terakhir kali yang datang kesana adik perempuannya yang bernama Sondang. Tapi Sondang, tidak mau banyak bicara. Sondang hanya meletakkan makanan dimeja persis didepan Bonar, diam saja lalu pergi. Mungkin dia masih marah dengan nasib Bonar. Memang masuk penjara adalah adalah sebuah aib besar. Bonar tidak menyalahkan. Walau baginya tatapan adiknya itu tetap terasa cukup menghakimi.
Di ujung pintu dia sudah bisa langsung melihat sosok itu dengan jelas. Bonar kenal, itu adalah orang yang sedang tidak mau ia temui. Setidaknya jangan dalam kondisinya sekarang. Namanya Tiar.
Bonar merapihkan kursi nya lalu duduk didepan Tiar.
“Sehat bang?”
Tiar mencoba memulai percakapan.
Kikuk.
Bonar menutup mulutnya rapat-rapat. Dia menundukkan kepalanya.
Respon itu cukup untuk membuat mereka berdua terdiam beberapa saat.
Entah kenapa hati bonar mulai gusar. Tanpa ada bukti yang jelas. Tiba-tiba terlintas dipikirannya kalau Tiar sengaja datang hanya untuk mengejeknya.