Hidup di kawasan Senen tak pernah sederhana. Hiruk-pikuknya adalah simfoni keras kepala: suara pedagang berteriak, roda gerobak berderit, teriakan tukang parkir, dan alunan lagu dangdut dari speaker usang. Tapi di tengah itu semua, ada satu nama yang tak bisa dipisahkan dari denyut nadi pasar: Bonar.
Dulu, Bonar dikenal sebagai penjaga lapak. Wajahnya tampan dengan bentuk wajah khas kotaknya. Sosoknya bertubuh besar, dengan tatapan tajam tapi hati yang tak tega melihat ketidakadilan. Ia bukan bagian dari aparat. Tak pula dibayar dengan layak. Ia hadir karena nurani — karena tahu betul rasanya jadi orang kecil yang dilindas sistem dan dilukai jalanan.
Kini, setelah dua tahun, Bonar tak lagi tidur di pos lama di belakang pasar. Ia sudah punya kios kecil — lapak thrifting yang ia rawat sendiri. Letaknya tak jauh dari lorong sempit tempat dulu ia biasa duduk diam mengawasi.Tidak terlalu besar, hanya sekitar 2x3 meter dengan gantungan pakaian bekas yang bersih dan rapi. Dengan alunan kaos band vintage, jaket tentara bekas, celana jeans robek, yang diposisikan dengan hati-hati. Rahim itu bersih bersih, dan di salah satu sudutnya adalah radio tua yang kadang-kadang memainkan lagu-lagu Iwan Fals atau Ebiet G. Ade. Tetapi dengan usahanya sendiri, tidak satu pun dari segalanya yang telah berubah: Bonar Masih seorang penjaga.
Setiap Pagi seperti biasa Bonar pergi ke pasar senen untuk berjualan. Sambil berjalan Bonar dengan ramah menyapa setiap orang yang ia lewati. Anak-anak muda yang baru berdagang, mereka memanggilnya Bang Bon. Mereka segan, tapi juga merasa aman saat dia berada di sana. Pernah suatu kali, ada seorang pri, pedagang baru yang marah marah masuk ke lapak ibu penjual gorengan, menuding penjualnya itu menipunya soal kembalian. Bonar datang, berdiri diantara mereka.
“Ada yang gak beres, ngomong baik-baik”
“Kalau kau niat ribut, kau gak cocok dagang di sini.”
Pria itu angkat tangan, bukan karena ancaman, melainkan karena sopan santunnya hidup Bonar juga mengandung sejarah – sejarah panjang perlawanan, luka, dan nyawa yang nyaris melayang karena kekerasan. Bonar tak perlu berteriak untuk ditakutkan, cukup hadir.
Di malam hari, saat pasar mulai sepi dan pedagang sudah mulai pulang satu-persatu , Bonar duduk di depan kiosnya. Kadang, ia merokok. Kadang, hanya diam menatap lampu kios. Di depan pasar, jalanan Senen terus mengalir: keras, berisik, hidup.
Ucup — sahabat lamanya yang kini jadi tukang parkir tetap di area motor belakang — sering datang bawa kopi sachet.
“Kios lo makin rame, Nar. Udah bisa nikah kali, ya?”
Bonar tertawa pendek. “Nikah sama siapa? Sama baju sisa ekspor?”
“Tapi jujur, lo beda sekarang. Udah punya usaha, udah tenang. Tapi masih aja lo keliling kayak satpam.”
“Tenang bukan berarti berhenti, Cup,” kata Bonar.
“Selama masih ada yang bisa aku lindungi, aku gak akan diam.”
Hari itu panas bukan main. Terik matahari menampar aspal Senen tanpa ampun. Tapi pasar tetap ramai,
seperti biasa.
Di tengah keramaian itu, Bonar sibuk menggantung jaket jeans bekas di gantungan kiosnya. Ia mengusap peluh dari lehernya. Hari ini stok baru datang — hasil borongan dari gudang ekspor bekas di Bekasi. Barangnya bagus-bagus. Tapi Bonar tidak peduli barang laku cepat atau tidak. Yang penting jujur. Yang penting bersih.
Tak jauh dari kiosnya, dua perempuan muda berjalan masuk ke area pasar. Yang satu terlihat santai, mengenakan celana kain dan blus longgar. Yang satu lagi... mencolok.
Rambut panjang tergerai rapi. Kacamata hitam mahal. Sepatu putih yang belum sempat kena debu. Cara jalan percaya diri, tapi jelas — asing di tempat seperti ini.
“Gue bilang juga apa, Ti,” kata yang satu lagi, si sederhana.