Tiga hari setelah kunjungan pertama, Bonar sedang menyapu lantai kios ketika sosok tak terduga muncul di ujung lorong. Rambut panjang, kacamata hitam digantung di kerah baju, dan sneakers yang kini sudah sedikit berdebu.
Tiar. Sendirian.
Ia tak pakai gaya seperti kemarin. Celana jeans longgar, kaos putih, dan tote bag kanvas. Bonar berhenti menyapu, menatap sebentar.
“balik?”
“Iya,” jawab Tiar pendek, menunduk sedikit.
“Gue kepikiran jaket kulit yang kemarin. Lo udah jual?”
Bonar menunjuk gantungan di sisi kios. “Masih ada. Jarang yang cocok ukuran kayak kakak.”
Tiar tersenyum. Tapi bukan senyum congkak. Ada ketulusan di sana. Ia menyentuh jaket itu, lalu menggantungnya kembali.
“Gue nggak nyangka tempat ini bisa kepikiran terus,” katanya pelan.
“Mungkin karena... suasananya jujur.”
Bonar menatapnya sebentar. Lalu kembali menyapu.
“Biasanya yang baru sekali datang ke sini, gak balik.”
“Mungkin gue bukan ‘biasanya’.”
Tiar duduk di kursi bakso, memperhatikan Bonar menata baju sambil menyeka peluh dengan handuk kecil. Tak ada AC. Hanya angin yang berasal dari satu kipas dan udara dari lorong dan bau campuran antara keringat, baju bekas, dan minyak wangi orang-orang yang lewat.
“Lo gak kepikiran buka toko di tempat yang lebih enak?” tanya Tiar.
“Mall, ruko, atau paling gak, tempat yang gak sepanas ini?”