Bonar Dicegat di Tengah Jalan
Bonar dicegat di tengah jalan saat hendak pergi ke Pasar Senen. Empat pria mengendarai dua motor jenis dua tak tiba-tiba memepetnya dari kiri dan kanan, lalu menyuruhnya menepi ke tepi jalan.
“Kau minggir! Minggir gak kau?! Kalau sempat kau kabur, kami obrak-abrik kios mu! Bila perlu, kami bakar seluruh tempat ini!” teriak salah satu dari mereka, berbadan tegap dan berwajah penuh amarah.
Bonar sempat melihat ada pisau terselip di pinggang pria itu. Ia langsung sadar, orang ini bukan tipe yang cuma menggertak. Tanpa perlawanan, Bonar menepi.
“Bah, ada apa ini, lae? Kok sampai begini? Bisa kita bicarakan baik-baik, ini ada masalah apa?” tanya Bonar, mencoba meredakan ketegangan. Ia tahu, beradu fisik bukan pilihan bijak, meski ia memegang sabuk hitam karate.
Ia teringat ucapan Sakkan Hutapea. Mungkin inilah preman-preman yang sedang mencarinya, seperti yang telah diperingatkan sebelumnya.
“Kalau kau mau bicara baik-baik, ikut kami. Nanti ketua kami yang bicara langsung sama kau,” ujar preman berbaju hitam.
“Oke, baik. Aku ikut kalian.”
“Kau naik motor yang baju merah itu, dibonceng dia. Aku saja yang bawa motormu. Jangan sampai kau kabur.”
“Bah, gak bisa begitu! Siapa yang jamin aman motor ku? Aku saja yang bawa, lae. Tenang saja, aku gak bakal kabur.”
“BIADAB KAU! KAU KIRA KAMI BEGAL?!” bentak preman berbaju merah, marah.
“Gorok saja lehernya! Biar selesai urusan!” sambung preman lain, memanas-manasi suasana.
Preman berbaju hitam menggerakkan tangan ke arah pinggangnya, hendak mencabut pisau. Namun ia urung melakukannya saat sebuah mobil polisi melintas. Ia menyembunyikan kembali pisaunya.
Beberapa pedagang mulai mendekat, tertarik oleh keramaian.
“Ada apa ini, Bang?”
“HEH! INI BUKAN URUSANMU!”
“Ada hutang dia, Bang! Hutang!” kata si baju merah, berbohong.
“Jangan ribut-ribut di sini, Bang. Orang mau jualan. Nanti pembeli takut datang,” ujar salah satu pedagang.
Wajah preman berbaju hitam semakin panas. Tangannya kembali bergerak ke pinggang. Bonar menyadari bahaya itu. Ia tidak ingin orang lain menjadi korban.
“Sudah, sudah! Aku ikut kalian. Percaya, aku gak bakal kabur. Lagian, aku tiap hari cari makan di Pasar Senen. Gimana mau kabur?”
Preman itu akhirnya mengangguk. “Awas kau kalau macam-macam! Motor kau di tengah. Kami jaga dari depan dan belakang.”
“Oke, lae. Aku ikut aja. Gimana baiknya,” jawab Bonar.
Mereka meluncur ke sebuah gang kecil. Tiga motor melaju beriringan, hingga berhenti di depan bangunan yang belum selesai dibangun—terbengkalai dan menyeramkan.
“Masuk kau ke dalam. Cepat!” bentak preman berbaju hitam, sambil mendorong Bonar keras.
“Sabar, lae. Masuk pun aku,” sahut Bonar tenang.
Sebelum masuk, Bonar diam-diam mengirimkan lokasi terakhirnya lewat WhatsApp kepada Sakkan. Tak lupa Bonar menuliskan pesan. Hanya satu kata: Tolong.
________________________________________
Di Dalam Markas
Saat memasuki bangunan kosong itu, Bonar melihat gerombolan anak-anak berpakaian lusuh berseliweran. Beberapa pria dengan wajah keras hilir-mudik. Di sudut ruangan, dua remaja sedang dimarahi oleh seorang pria kurus berusia sekitar empat puluh lima tahun—berwajah biasa, tapi berwibawa.
“Siapa itu yang kau bawa?” tanya pria kurus itu, menghentikan omelannya. Ia mengambil handuk, mengusap wajah yang keringatan, lalu duduk di kursi kayu di tengah ruangan.