Karina lagi-lagi masuk pagi dan ada sedikit perbedaan dengan formasi, yang membuatnya menghela setiap saat. Anak area alias pramuniaga hanya bertiga termasuk Cintia, di hari terakhir bazar buku.
“Mbak, buku ini ada nggak?”
Pelanggan perempuan berkacamata, badannya bongsor, dan lebih pendek darinya tiba-tiba berdiri di depan sambil menunjukkan ponsel. Gelagatnya begitu gugup meski Karina sudah seramah mungkin.
“Sebentar saya lihat …” Karina memicingkan mata. “Oh, belum masuk toko buku sini, Kak.”
“Kalau yang ini?” Dia menunjukkan yang lain.
“Ini ada di rak Desain dan Grafis, Kak. Mau diantar?” Karina tersenyum.
“Ah, nggak usah. Biar saya sendiri aja. Makasih, Mbak.”
Dia menunduk lalu pergi. Karina malah khawatir perempuan itu tidak menemukan raknya, tapi saat mau dibuntuti malah dipanggil Cintia dari arah gudang. Namanya rekan sekerja, tidak mungkin Karina menghindar.
“Ya, Kak?”
“Kamu bisa datain ini, kan? Sekalian pasang barcode sama input ke sistem. Buku baru buat besok, nih.”
“Eh?” Karina pun membelalak. Baru dua hari dipindahkan sudah berlagak seperti bos rupanya. Meski dia juga tahu bahwa Cintia lebih lama bekerja di toko.
“Belum diajarin emangnya?” tanya Cintia ketus, kemudian menyibakkan kuncir rambutnya. Membuat Karina menumpuk rasa dongkol di hati.
“Ya … ya, sudah. Cuma biasanya selalu berdua gitu, Kak.”
“Emang nggak bisa kerjain sendiri? Aku ini mau nengok ke bazar, ntar yang di bazar aku suruh jagain yang di dalam.”
Kalau saja ini bukan tempat kerja, mulut Karina sudah pasti meluncurkan kata-kata mematikan. Jadi, hanya senyum terpaksa dia keluarkan untuk menghadapinya. Kenapa harus kek orang marah, sih? Bisa kali ngasih taunya biasa aja.
“Jadi, kerjain, ya?” Cintia menyerahkan daftar buku dan pulpen pada Karina. “Harus bisa kerjain sendiri, jangan kebiasaan berdua terus.”
Cintia meninggalkan Karina bersama R.O dari salah satu penerbit, yang baru muncul entah dari mana. Karina lupa apa singkatan dari R.O, yang jelas dia bisa dibilang distributor buku yang dikirim dari penerbit.
Wajah perempuan bohay itu sangat senang, seolah balas dendamnya tuntas. Akan tetapi, balas dendam yang mana? Karina tidak paham, padahal dirinya yang cemburu karena Cintia berpacaran dengan Mae.
Harusnya yang berusaha memisahkan mereka adalah Karina. Harusnya yang berpacaran itu dia dan Mae. Harusnya satu tahun pendekatan berakhir sempurna. Semua menjadi seharusnya andai Mae lebih terbuka dan tidak berbohong.
Karina menghela napas dan kembali pada pekerjaan. Pria sawo matang itu tersenyum dan Karina membalasnya. Penampilannya seperti bapak-bapak 40-an awal, klimis, auranya seperti orang Jawa.
Karina yang sudah tahu sifat pria itu, yang suka menggoda perempuan, langsung mengerjakan dengan cepat. Mendata nama judul dan jumlah, jangan sampai tidak sesuai dengan permintaan serta pesanan. Pria itu membantunya mengecek semua, memastikan tidak ada yang terlewat.
“Oke, sama. Tanda tangan di sini, Cantik.”
Dia mendekatkan wajah berkumisnya, tentu Karina terkejut dan langsung menjauh. Akan tetapi, tangan tetap membubuhkan tanda tangan di kertas yang disodorkan bersama pulpen.
“Ya, terima kasih.” Karina tersenyum canggung.
“Dengan senang hati.” Dia balik tersenyum, seperti om-om mesum. “Eh, biasanya ada si Mae. Mana dia?”
“Dia lagi off, Pak.”
“Oh, pantes. Saya pergi dulu, masih banyak kerjaan lain.” Dia menepuk pundak Karina lalu mengusapnya, seolah ada maksud di balik itu. “Sampai jumpa lagi.”
Karina mundur lebih jauh, tapi tidak meninggalkan senyum yang merekah. Setelah dia pergi, Karina spontan merinding dan menepuk pundak. Baru kali ini terjadi karena biasanya ada Mae yang menemani.
“Hadeh, dia lagi, dia lagi.”
Walau menggelengkan kepala bukan cara efektif, setidaknya bisa menyingkirkan sosok Mae dalam pikiran Karina sesaat. Fokusnya hanya untuk bekerja, bukan memikirkan hal-hal lain yang merugikan.
Kembali lagi pada pekerjaan, setahu Karina, buku-buku baru ini tinggal dipasang barcode toko. Karina tahu dari Mae yang memberi tahu lewat pesan tadi pagi dan berujung pada janjian untuk bertemu.
Lagi-lagi Mae, apa-apa dia. Sedari awal memang mereka begitu dekat. Karina yang sering berlangganan membeli buku di toko lalu menjadi karyawan. Ditambah Mae sendiri adalah salah satu leader yang diagung-agungkan.