Lokasi Yang Tidak Diketahui

Moon
Chapter #2

Sebenarnya Apa?

Masih di tahun 2018 yang begitu bebas dan menyenangkan. Di mana orang yang disayangi masih hidup, mampu tertawa serta tersenyum.

Seminggu yang lalu ... canggung, merasa tidak enak. Itu yang Karina rasakan ketika berjalan di sebelah Mae. Karena sebelum menghirup udara bebas di luar toko, mereka sempat dipanggil ke kantor oleh Pak Shankara. Menjelaskan kronologi keributan sebelumnya.

Apalagi Mae menjadi back-up Karina selama dicecar pertanyaan, sementara kepalanya hanya menunduk dan menjawab seadanya. Karina merasa seharusnya yang mentraktir Mae karena hal ini.

Menjadi sosok tidak enakan terkadang membantu di situasi yang tepat, tapi sering menjadi bumerang ketika di kondisi memberatkan Karina. Kali ini tentu berada pada pilihan pertama, rasa tidak enak berlandaskan hutang budi.

“Kak, aku aja yang traktir. Kakak udah banyak bantu aku.”

Akhirnya, Karina berani membuka percakapan. Tidak lagi menggenggam erat bawah hoodie abu-abu saking canggungnya, meski tangan masih berkeringat banyak. Mae menoleh, kemudian mengeluarkan tangan dari varsity hitam.

“Nggak usah. Dulu kan udah.”

“Itu kan udah lama, waktu aku masih 20 tahun terus sekarang udah 21. Dulu kaya gini juga, kan? Dipanggil karena ada keributan.”

“Dipanggil iya, cuma nggak kenapa-napa.”

“Ha? Masa?”

“Perasaan udah cerita.” Mae menggaruk kepalanya. “Malah dapat penghargaan.”

Kaki Karina tiba-tiba berhenti, menatap Mae heran. Perasaan, dia dulu tidak menceritakan hal ini dan hanya bicara sekadarnya saja. Seharusnya kalau pernah, paling tidak ingatan itu sekelebat lewat.

“Buset, ini nggak pernah diomongin, Kak. Sampe dapet penghargaan, lho.”

“Masa?”

“Iyaaaa … astaga!”

Meski ditambah lengkingan suara kecil Karina, Mae tetap berjalan duluan. Mungkin sedang mengingat-ingat, pernah atau tidak menceritakan ini. Soalnya dari tadi dia menggaruk kepala seperti orang linglung.

Karina pun segera berlari, tapi tak sengaja tersandung kaki sendiri. Mae yang sigap langsung menangkap. Kalau sampai menyentuh lantai, pasti rasa malu Karina jauh lebih besar dari rasa sakit. Saat Karina mendongak, mata mereka bertemu singkat.

Mata cokelat tanpa ekspresi, dingin. Ilusi itu rasanya sanggup membawanya masuk ke dunia yang gelap. Lama-lama pupil Mae membesar, mungkin sadar bahwa Karina mampu membacanya. Sehingga memilih membuang muka walau masih membantu Karina berdiri tegak.

“Hati-hati.”

“I-iya … makasih lagi, Kak.”

Mae berjalan melepas Karina, tangannya kembali masuk ke saku varsity. Walau tidak mengerti mengapa dia bersikap begitu, pada akhirnya Karina tetap mengikuti sambil memegang dada. Jantung rasanya mau copot. Wajah kalian tidak sengaja berdekatan dan tiba-tiba dia sangat ekspresif.

Sesampainya di lantai dasar, mengamati stand es krim yang lumayan ramai, Mae mempersilakan Karina untuk berdiri di depannya mengantri. Sedangkan Mae ada di belakang. Saking tingginya dia, Karina tidak bisa melihat ekspresinya seperti apa.

Masih terkejut, kembali biasa saja, atau merasa ilfeel. Susah. Apalagi bagi Karina yang pemula untuk Mae. Mae itu unik, berbeda, susah ditebak. Sedangkan Karina seringkali berhadapan dengan pria brengsek yang bisa ditebak mau berbuat apa.

“Rasa apa?”

Mae bertanya, Karina kaget setengah mati. Sampai terbata-bata menjawab sambil melihat papan menu. Akan tetapi, harganya tidak ada yang bersahabat dan Karina langsung ciut untuk menyebut satu saja.

“Ayo.”

Karina menoleh, berbisik-bisik dari jauh. “Duh, ganti tempat lain aja.”

“Apa? Rasa apa?”

“Duh, congek kali.” Karina masih berbisik.

“Combek? Rasa apa itu?” Mae malah balik bertanya dengan nada rendahnya.

Saking kesalnya, Karina berbalik dan mendongak. Menatap wajahnya dengan berani dan melihat alisnya yang berkerut.

“Yang lain ajaaaa …. Denger?” Karina membuka mulut lebar-lebar, tapi masih sambil berbisik.

“Oh, gapapa. Beli aja kan aku yang traktir.”

Mae membalikkan badan Karina seketika. Setelah itu, Karina justru mengeluarkan banyak tanda tanya, gantian menjadi orang linglung. Apa aku bau? Karina mengendus baju kembali.

“Bukan masalah bau belum mandi, cepet pilih aja. Ntar maju nggak kerasa.”

“Ya, kupikir karena itu.” Karina menggaruk kepala.

Lihat selengkapnya