Di suatu sore tahun 2037, di mana waktu dan tempat itu tak lagi sama meski ramainya tidak berubah. Sudah 14 tahun berdiri, semenjak menjalin kerja sama dengan salah satu sahabatnya.
Cuaca begitu cerah, angin bertiup pelan memasuki jendela. Langit oranye yang dipandang pun perlahan menyembunyikan keberadaan matahari.
Mae duduk di sana, tidak pernah mengalihkan pandangan dari langit biru sambil memegang gelas berisi air es mencair. Setiap kali diminum, kepala terngiang-ngiang perkataan orang-orang.
Katanya, waktu akan menyembuhkan luka, perlahan bisa mengikhlaskan kepergiannya. Akan tetapi, sudah lewat setahun Mae tidak berubah. Masih merasa tersakiti oleh takdir kematian yang memisahkannya dari orang tercinta.
Terkadang rasa ingin menyusul kematiannya adalah jalan terbaik, tapi teman-teman Mae melarang keras. Jadi, dia masih bertahan hidup walau tanpa jiwa. Sampai di titik semua berjalan dengan autopilot.
Mae melamun sambil terus menatap sesuatu di bawah. Seberang gedung yang dia tempati, toko yang selalu dibanggakan. Bagaimana tidak? Toko itu dibangun dari nol bersama seseorang yang Mae cintai.
“Kak …”
“Ya?” Mae menoleh, mendapati satu sosok jauh berdiri di belakang. Pria yang selalu marah-marah mengalahi seorang istri, tapi selalu menyemangatinya setiap hari dengan canda tawa. Kalau dia tidak ada, entah bagaimana hidup Mae.
“Udah dibilang berhenti minum es, baru aja sembuh dari batuk, loh.”
“Bawel banget kamu, Aham.”
Kemunculan Aham ditambah omelan itu, membuatnya tersenyum sesaat karena mengingat seseorang. Nada bicaranya terdengar kesal, tapi masih berdiri di depan pintu. Seperti biasanya.
“Nggak bisa bote1, ya?”
“Apanya?” ketus Aham.
“Umur maksudnya.”
“Kebiasaan setengah-setengah kalo ngomong.”
Namun, tiba-tiba Aham sudah berada di belakang, sangat dekat. Dia mengambil paksa gelas itu dan Mae tidak melarang. Sekarang gelas air es berpindah ke meja di sisi jendela. Aham berdiri sambil berkacak pinggang.
“Makanya, udah tua tuh sadar diri. Temennya juga balsem sama minyak angin harusnya. Terus kena es sama angin dikit auto tepar.”
“Kaya kamu nggak aja, Ham,” jawab Mae tanpa melihat ke arahnya.
“Yeee ... aku kan lebih muda, ya masih muda.”
“Mana bisa, cuma beda enam tahun.”
“Aih, maksa amat!” Aham mulai bersungut-sungut menjawab, pokoknya enggan dibilang tua apalagi seumuran dengan Mae. “Kalo mau tua tuh jangan ngajak-ngajak orang. Pokoknya aku masih muda, titik.”
“Aku masih muda jugalah. Baru 45 tahun.”
“Orang beda jauh juga enam tahun, pokoknya tua duluanlah. 45 itu udah tua.”
Mae biasanya tertawa, seperti beberapa tahun sebelumnya dengan sangat bebas. Akan tetapi, malah helaan napas keluar dari mulut. Bercanda terasa begitu hambar. Aham mendengar lalu mendekat, hendak duduk di sofa sebelahnya.
“Ngapain?”
Sambil menghalangi sofa biru itu, Mae akhirnya menatap Aham dengan mata sendu. Meski Aham tidak menatap balik, dia tahu bahwa Mae masih belum menerima keadaan dengan melarangnya.
“Ah, maaf. Aku … ambil kursi lain aja.”
Aham tergopoh-gopoh mencari kursi lain. Untung saja dapat karena ruangan itu adalah ruang tamu. Kemudian, Aham duduk dan ikut mengamati toko sekaligus kafe tersebut persis di sebelah Mae.