“Iya, sabar napa … hm, seperti biasa ngecek keadaan Bos kita … aku cuma nggak mau dia berlarut-larut … ternyata paham juga kamu, Cintia Sayang.”
Rupanya Aham berbincang dengan Cintia, yang sudah menjadi istrinya selama lima tahun. Percakapan itu tidak selamanya tinggal, makin lama suara Aham menjauh. Mae terdiam lagi sambil menunduk, bersandar pada pintu.
Orang-orang di sekitar berharap dirinya segera pulih dari rasa sakit, tapi tidak pernah bisa. Mau seluruh dunia memegang punggungnya, kalau tidak mau bangkit sendiri maka tidak akan bisa.
Setelah itu, Mae mengedarkan pandangan. Seluruh lantai di ruangan ini kembali dipenuhi pecahan kaca, yang akan memotong telapak jika melangkah.
Kenangan demi kenangan muncul lagi. Bayangan dari sudut ke sudut tergambar jelas. Bagaimana Mae dan sang istri tertawa, menangis, kesal, bahkan bercumbu bersama dia.
“Karina … coba aku … aku waktu itu …”
Air mata Mae jatuh tanpa perlu merasakan sebelumnya. Jatuh begitu saja dan tidak berusaha diseka.
“Kangen … aku kangen.”
Tidak ada yang mampu menjelaskan betapa sakitnya hati, meski mulut bisa membicarakannya. Tidak ada yang bisa mengungkapkan betapa kacaunya hidup, walau wajah bisa memperlihatkannya.
Mae sangat pandai dalam segala hal. Karina pun tahu sejak pertama bertemu sampai menjadi istrinya. Akan tetapi, kali ini kepandaiannya tidak berlaku atas kehilangan terberatnya setelah orang tua.
Mae meluncur jatuh ke lantai, terduduk mendekap lutut berbalut jaket tebal. Tidak peduli seberapa semrawut rambut, betapa kacau penampilan. Menangis. Menangis sesukanya saat tidak ada siapa-siapa.
“Halo? Meriga Mae?”
Suara itu membuat Mae mengusap air mata lalu berdiri, merasa ada yang aneh.
“Tadi … ada mencet bel nggak?”
“Nggak sih, soalnya aku tahu kamu di dalem.”
“Sial,” Mae mendecih, “sebut nama yang bener paling nggak.”
“Auriga Maestro, can I take you for a date?”
“Jijik banget, ah, Sima sialan.” Mae bergidik ngeri. Intonasinya tinggi, tapi hal itu untuk menutupi suara seraknya. “Udah tua, inget.”
Sosok di balik pintu, Baasima atau dipanggil Sima, malah tertawa puas. Bukan dia namanya kalau tidak bisa membuat Mae merinding dengan candaan merayu.
“Hahaha … tua-tua keladi kalau kata orang dulu.” Sima masih melanjutkan tawanya. “Biasanya anakku yang goda gini, kan?”
“Anak sama bapak nggak jauh-jauh.”
“Ya, iya. Namanya juga sedarah, kalau anak tetangga pasti beda.” Sima akhirnya memencet bel rumah Mae setelah sekian lama menghilang. “Nggak baik di dalam terus, keluar kaya ke taman kek apa kek. Takutnya kamu phobia sama rumput atau sejenisnya.”
“Phobia sama kamu keknya aku,” ujar Mae ketus.
“Haha, sialan anak Balikpapan satu ini. Gimana? Mau nggak? Kalau nggak, aku ngajak anakku aja.”
“Ya, udah. Kenapa ngajakin aku?”
“Canda, tapi beneran ngajakin kamu keluar.”
“Nggak.”
Baasima adalah tipe yang makin diketusin tidak akan pergi. Justru makin bersemangat bahkan bisa berdiri berjam-jam seperti sebelumnya. Hanya telepon dari sang anak yang membuatnya pergi dari pintu apartemen Mae, seperti sebelumnya.
“Oh, my, please.”
“Nggak, ya.” Mae menggeleng di balik pintu, seperti biasa menolak jika ada yang mengajak keluar.