Lokasi Yang Tidak Diketahui

Moon
Chapter #5

Mengaku Suami (2)

Karina kini bersebelahan dengan Mae, duduk sambil memasang wajah kesal di pinggir laut. Bukan akibat panas atau cahaya sore menyilaukan di ujung laut, tapi dikarenakan Mae tidak bicara sedikit pun.

Dulu saat membaca cerita makhluk kulkas macam di Wattpad, semua terasa manis dan membuatnya salting brutal. Akan tetapi, kenyataan tidak seindah karangan manusia. Posisinya menghadapi Mae, si pria kulkas, berada di bittersweet. Malah lebih banyak bitter-nya dibanding sweet itu sendiri.

 “Kak, mau ngomong apa, sih?” Karina bersedekap, menatap Mae dengan wajah kesal.

Mae malah menghela napas sambil menatap laut, dari mata itu tampak tidak tahu bagaimana menyampaikan isi kepalanya. Karina memijat kepala lalu menyibakkan rambut, lebih frustrasi lagi. Tidak tahu apa yang dirasakan dan dipendam olehnya.

“Maksudnya apa sih ngaku suami? Pacaran aja nggak,” ketus Karina.

“Maaf.”

Mae memang menguji kesabaran Karina dan ini adalah akhirnya. Karina berdiri dengan rasa kesal yang memenuhi hati. Kalau saja dia orang jahat, Mae sudah didorong ke laut biar sekalian menghilang saja.

“Maaf? Segampang itukah? Kakak pikir hati orang itu bagus dijadikan mainan? Udah kedua kali Kakak kaya gini. Pertama pacar sekarang suami.” Karina bersedekap. “Sekarang bilang mau jelasin, malah nggak ngomong apa-apa!”

“Aku mau jelasin, tapi …”

“Tapi apa?”

“Memangnya kamu bakal percaya kalau aku ceritain semua. Kamu pasti anggap aku gila.” Mae menunduk, tapi nadanya sangat tegas.

Karina tertawa sambil menahan air mata, kemudian mengacak rambut frustrasi. Kenapa satu pria macam Mae membuatnya tidak karuan?

“Aku yang gila tau nggak! Aku tuh suka sama Kakak, ngerti! Aku selalu nunggu dan menunggu buat nyatain karena dikasih lampu hijau, tapi akhirnya apa? Aku dipatahkan, dihancurkan dengan cara kaya gini!”

“Kamu terlalu berharap.”

“Apa?” Karina membelalak dan mendekati Mae, tidak terima dibilang seperti itu. “Memangnya salah berharap dari apa yang Kakak kasih ke aku?”

“Salah, berharap itu salah.”

“Kakak juga salah, salah besar! Kalau memang nggak ada rasa, jangan kasih orang peluang buat berharap! Kalau udah ada pacar, jangan bilang nggak ada!”

Cara bicara Karina dan telunjuknya yang mengarah pada Mae memancing perhatian orang-orang yang lewat, tapi dia tidak peduli. Sekarang adalah saat yang tepat untuk mengeluarkan keresahan hatinya.

Katanya manusia boleh berharap, katanya tidak ada yang salah dari itu. Karina tidak mengerti dan rasanya ingin meledak. Hanya rasa marah ketika semua berakhir tidak sesuai harapan.

“Cintia bukan pacar aku.”

“Kalau dia bukan pacar, ada yang Kakak sukai juga, kan? Kakak pernah bilang kaya gitu terus kenapa membuka peluang itu sama orang, hah?”

Makin telunjuk Karina mendekat, Mae meremas rambut sambil terus menunduk. Kenapa pelaku tampak lebih frustrasi? Seharusnya pelaku bersikap biasa saja dan langsung pergi dari sana, seperti mantan-mantan yang menyakitinya.

“Aku … minta maaf. Tiba-tiba ngaku pacar dan suami.”

“Maaf lagi, memang bisa mengembalikan semua? Aku udah hancur.” Karina menunjuk dadanya. “Aku hancur karena suka sama Kakak.”

Lihat selengkapnya