Riuh pembicaraan para siswa memenuhi seluruh ruang sekolah. Beberapa siswa laki-laki tampak berlarian dikerjar oleh siswa perempuan. Siswa perempuan itu berteriak jengkel. Siswa laki-laki itu terus berlari memutar lapangan sambil menggenggam erat kotak pensil berwarna merah muda. Beberapa siswa lelaki yang badannya lebih besar bergerombolan berlari mengejar bola yang melambung di sudut lapangan berumput.
Dari lantai dua gedung sekolah Lola dapat melihat kegiatan siswa sekolah menegah atas ketika istirahat. Sesekali dia tersenyum melihat tingkah remaja di sana yang menggemaskan. Lola tidak ingin membandingkan apa yang dia lihat dengan memorinya di masa lalu. Lola seolah-olah lupa bahwa dia pernah menjadi remaja perempuan yang mengejar remaja laki-laki itu.
Tidak terasa sudah tiga puluh menit dia berdiri di sana. Lola meraih tisu dari tasnya. Dia mengelap keringat yang bercucuran di keningnya. Sesekali dia juga menggaruk lengannya yang gatal. Almamater yang dia kenakan berbeda jauh dengan almamaternya yang tipis dan ringan. Lola hampir tidak tahan lagi.
Selang beberapa menit akhirnya Azila yang ditunggu Lola keluar bersama seorang wanita tua dan pria muda. Dari pembicaraan Azila bersama mereka terlihat jelas bahwa mereka juga guru ekonomi di sekolah itu.
Kedua guru itu membelakangi Lola, sementara itu Azila yang berpapasan dengannya memberi isyarat. Azila mengedipkan mata kirinya. Lola hanya memutar bola matanya menanggapi kedipan tersebut.
"Baik terima kasih bu atas bantuannya ya bu," ucap Azila dengan sopan sembari mengantar ibu tersebut turun tangga.
Sementara itu guru laki-laki itu membalikkan badan. Dia menatap Lola dengan ekspresi kaget.
"Lola?" tanyanya.
Lola mengangguk tersenyum sembari mencoba mengingat apakah dia mengenal guru tersebut.
"Gue Yanda! Lo gak ingat?"
"Yanda?" Lola menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Beberapa detik kemudian dia membelalakkan matanya. "Oh Yanda? Yanda yang di jalan Mangga Besar bukan?"
Yanda tersenyum. Dia melangkah mendekati Lola. Kini mereka saling menatap kegiatan siswa dari sana.
"Ternyata lo masih sama ya. Udah lama banget ya kita gak jumpa?"
"Memangnya muka gue gak berubah ya?"
"Sedikit!" Yanda menunjuk ruas jari telunjuknya. "Lo sekampus dengan kak Azila?"
"Oh Azila? Bukan. Kami sahabat sejak SMA. Aku nemani dia buat penelitian aja." Lola mencoba mengingat memori lamanya. Lola teringat bahwa Yanda adalah tetangga dan teman bermainnya saat kecil dahulu. Lola juga ingat Yanda pernah tinggal kelas sewaktu sekolah dasar.
"Oh gitu. Kak Azila itu kakak tingkat gue. Ini gua lagi praktik mengajar di sini. Terus lo kuliah di mana sekarang?"