Dari Jendela Yanda menatap siswa yang sedang berolahraga. Tepat di belakang gedung itu adalah lapangan sepak bola. Lapangan itu memiliki rumput hijau yang sedikit panjang. Pada beberapa sudut panjang rumputnya sudah setinggi lutut para siswa. Alang-alang yang tumbuh subur di sana menempel di seragam olahraga para siswa. Mereka sedang bermain bola kasti. Saling kejar-kejaran. Penuh semangat dan candaan. Ada pula yang mengumpat kesal karena ditimpuk bola kasti padahal sudah menginjaki batas pos.
Setengah jam berlalu tanpa disadari Yanda. Lamunannya pecah saat siswanya memanggilnya. “Pak! Pak yang ini soalnya gak ada jawabannya pak. Bonus iya pak?”
Yanda meninggalkan posisi ternyamannya untuk termenung. Sementara ini Lola tergantikan dengan soal yang dikira murid tidak ada jawaban.
Bel istirahat berbunyi. Yanda meminta muridnya mengumpulkan lembar jawaban.
“Pak punya saya dicontek Agung pak!” teriak murid perempuan di kelas itu.
Yanda adalah guru magang yang pengertian. Yanda menoleransi semua tingkah muridnya yang masih dapat ditoleransi. Menyontek, meribut, mengantuk atau tertidur di kelas Yanda bisa memahami apa yang dirasakan oleh para siswa.
TING!
Satu notifikasi masuk di ponselnya. Sampai seluruh lembar jawaban siswa terkumpul Yanda mengecek ponselnya. Satu pesan dari kakak kelasnya bernama Azila masuk.
“Maaf gue gak bisa ngasih tahu lo apapun.”
Yanda menghela napas frustasi. Sudah satu berhari berlalu dia masih belum mendapat kabar tentang Lola. Bahkan Azila menolak memberitahu. Yanda merasa pasti Lola tidak baik-baik saja karena Azila menolak memberitahu. Itu berarti Lola tidak baik-baik saja, karena kalau baik, Azila pasti akan berkata demikian.
Yanda membereskan ranselnya. Dia sudah tidak ada jadwal mengajar. Tapi dia tetap harus ada di sekolah hingga sekolah selesai pukul 2. Masih ada dua jam lagi. Cukup baginya untuk langsung memeriksa hasil ulangan. Tetapi Yanda memutuskan ke kos Azila.
“Aku otw kos kakak ya. Kos kakak masih yang lama kan?” Yanda langsung pergi begitu pesan tersebut sudah centang dua.