Lompat Kelas

heriwidianto
Chapter #1

Satu

Sembari menutup kuap menggunakan punggung tangan, Sriatun mulai membuka satu persatu bilah papan vertikal pengaman kios, usai melepas gembok pada tangkainya. Tidak berapa lama, gumaman pemilik kios lain menyusup melalui celah-celah papan kayu, tertangkap oleh telinga ketika Sriatun sibuk menatanya di pojok belakang kios berukuran 3x2 meter yang disewanya. Setelah itu, berlanjut menjamah sapu dan pengki, Sriatun mulai membersihkan lantai semen dari dalam kios sebelum meneliti kembali bahan pokok dagangan yang dijualnya sambil menguatkan mental menghadapi aneka rupa pembeli.

Sebentar lagi Pasar Sidomukti akan dipenuhi manusia-manusia yang berharap mendapatkan sayur, daging, termasuk bahan pokok dengan harga miring. Bahkan, terlalu miring. Beruntungnya Sriatun hafal dengan gelagat orang-orang yang tidak pernah menawar seperser pun ketika berbelanja di supermaket, tetapi tega melakukannya begitu menyasar dagangannya. Biasanya, lebih dari setengah harga mereka menawar. Sriatun terheran-heran, bagaimana bisa mereka semenjengkelkan itu. Tidak jarang pembeli pura-pura tidak membeli dan berjalan menjauh, berharap dipanggil kembali untuk mengakhiri akad jual-beli. Sriatun sering dibuat gemas dengan pembeli semacam itu, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa selain mengalah untuk memanggil kembali sembari mencoba menguasai keadaan. Coba saja dibalik, apa mereka mau berdagang dan berakhir merugi? Potong tanganku jika mereka mau atau berani melakukannya, Sriatun menantang dalam hati.

“Yu Mi, ke mana saja? Apa kabar? Sudah lama nggak mampir ke sini.” Durikah, tetangga kios paling dekat dengan kios milik Sriatun, menyapa seseorang dengan sapaan Yu Mi. Hanya ada satu Mi di Pasar Sidomukti. Mianah. “Mirip ibu-ibu pejabat sekarang dandannya. Ayu tenan.”

Dari dalam kiosnya, Sriatun mulai membuka telinganya lebar-lebar.

Sementara Mianah, tersipu mendengarnya. Baju terusan ber-klok, mengekspos pinggang kecilnya. Rambut hitam tebalnya tergerai indah, menemani leher jenjangnya. Kulitnya cokelat, eksotis dan tampak sehat. Sebenarnya tampilan Mianah bak ibu-ibu yang belanja di supermaket tampak sedikit salah tempat, tetapi sepertinya dia tidak memedulikannya.

“Kabar baik, Yu Rikah. Kamu ini berhasil bikin kepalaku berat, lho,” Mianah membalas sopan seraya memamerkan giginya yang baru dikikir di dokter gigi yang ada di ruko di ujung pasar. Warnanya sampai putih, memplak. Dia lalu menyelipkan seuntai rambutnya yang jatuh ke belakang telinga, sekaligus memperlihatkan emas-emasannya berupa giwang dan cincin bermata intan, hampir bersamaan dengan anggukan kecilnya, “Iya, akhir-akhir ini aku memang jarang ke pasar, soalnya lagi sibuk banget,” dan sedikit mencondongkan badan kemudian memelankan suaranya, “soalnya aku mau mantu.”

“Mardiyah, anakmu, mau kawin, Yu?” Kartik, kiosnya yang tepat berada di sebelah Durikah, menyahut dengan raut terkejut sambil tangannya sibuk mengurusi empon-empon jualannya. “Bukannya Mardiyah belum lulus SMA? Kok sudah mau kawin.”

Mianah mengembalikan posisi badan langsingnya tegak, dan meletakkan jari telunjuk di bibir sambil memelotot. “Nikah, Yu Kar. Kawin itu untuk binatang.” Dia sebentar merengut sebelum melanjutkan, “Memangnya kita tahu jodoh kita datangnya kapan? Iya, tho? Alhamdulillah, jodoh Mardiyah datangnya cepat, sama seperti aku dulu,” ralatnya. Mianah kembali tersenyum dengan gigi gingsulnya yang kelihatan setiap kali menyengir. Mata beloknya juga ikut semringah.

Tidak ingin ketinggalan cerita, Kartik keluar dari kios empon-emponnya dan mendekati Mianah. Dia bahkan tidak sadar menenteng se-plastik temu ireng yang belum selesai dituang ke dalam kotak penampang. “Dapat orang mana, Yu?”

Durikah menyusul mendekat. Dia juga belum selesai menata telur dalam wadah. “Orang pasar sini, ya? Si Topo, buruh panggul itu? Aku dengar Topo mengejar-ngejar anakmu terus, kalau sekali waktu kamu mengajaknya ke pasar,” timpalnya.

Senyum yang sebelumnya menghiasi bibir Mianah, memudar, berganti tawa kecil, sarat akan makna ejekan. “Ngenyek, kamu ini, Yu Rikah. Mana mau aku punya mantu kuli panggul, apalagi besanan sama supir truk. Aku maunya naik kelas. Anakku juga begitu. Sudah cukup aku nelangsa sama Purnanto. Suamiku itu sekarang sudah nggak bisa apa-apa. Cuma jadi kembang amben di rumah setelah kena strok. Kalian tahu, dulunya aku uring-uringan, hari-harian, sampai mulutku ini keluar menir tapi sayangnya nggak bisa dijual atau buat pakan ternak. Aku ngomong sama suamiku itu, jangan kebanyakan minum kopi. Eh, jawabannya malah bikin panas hati. Katanya, memangnya aku ini ikan minumnya air bening. Pancene gudel, kok,” cerocosnya penuh luapan emosi. Sampai-sampai, gelangnya bergemerincing menunjuk-nunjuk dua orang teman bertukar obrolannya itu.

Runtuh sudah citra priayi yang sebelumnya ingin ditunjukkannya kepada kawan-kawannya itu, sesama penghuni pasar.

Durikah dan Kartik melongo sebentar, saling menatap satu sama lain. Bukannya tersinggung dengan ucapan Mianah, rasa penasaran mereka semakin merongrong mengenai perubahan dalam sekejap Mianah pagi ini. Sementara Sriatun, dia seperti kesetanan menyelesaikan persiapannya membuka kios dan berharap tidak kehabisan waktu bergabung bersama kawan-kawannya itu.

Lihat selengkapnya