Pukul setengah sebelas Sriatun pulang dari pasar, melewati jalan raya Surabaya pinggiran yang terasa bagai neraka bocor. Dia tiba di rumah setengah jam kemudian menggunakan Supra tuanya, yang suara knalpotnya sember dan busa joknya sudah kempes, merembes setiap kali terkena tempias hujan hingga seperti habis mengompol begitu mendudukinya.
Selepas parkir di pekarangan kecil rumahnya yang gersang, Sriatun segera mengeluarkan barang-barang bawaannya dari obrok. Ada sayur dan lauk untuk diolahnya nanti. Beberapa bahan pokok juga menumpang pulang. Sengaja dia lokapasarkan barang dagangannya melalui status WhatsApp untuk para tetangga yang membutuhkan. Hasilnya, lumayan untuk tambahan pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Beres mengantarkan pesanan tetangganya, Sriatun merogoh tas selempang kecilnya untuk mengeluarkan kunci rumah. Setelah memutar kunci dan mendorong pintu rumahnya pelan, pemandangan seperti kapal pecah tak terelakkan lagi. Bagaimana tidak. Belum juga azan Subuh berkumandang, Sriatun sudah harus meninggalkan rumah untuk berjualan di pasar. Dia serahkan tugas membuat sarapan dan bersih-bersih rumah kepada putrinya, Miranda, tetapi tidak selalu beres. Seringnya putrinya itu keasyikan belajar sampai lupa waktu. Sedangkan Moko, suaminya, hanya bertugas menyeduh kopinya sendiri. Kepala rumah tangganya itu yang terakhir bangun. Sebabnya, akhir-akhir ini belum ada pekerjaan menghampiri. Sebagai lulusan SMP, Moko hanya bisa mengandalkan pekerjaan serabutan untuk menutup kebutuhannya sendiri. Rokok dan kopi misalnya, karena Sriatun tidak akan menjatahnya.
Usai menghela napas panjang, Sriantun berjingkat-jingkat menghindari piring bekas alas kopi, asbak hampir penuh puntung rokok, dan beberapa perkakas lain yang tidak di tempatnya.
Munyuk! umpat Sriatun ketika kakinya menapak benda runcing serupa garpu. Dia lalu membuka gorden bergambar angsa yang sudah terkoyak ujung-ujungnya serta daun jendela supaya cahaya matahari bisa masuk. Dia lupa jika jarum jam dinding telah menunjukkan pukul dua belas siang. Bukannya udara segar yang akan merengsek masuk atau kicau burung milik Denok, tetangganya, tetapi seduhan got di titik kulminasi yang berada tidak jauh dari rumahnya.
Mencoba untuk tidak menanggapi berang yang meluap-luap, Sriatun segera mengambil alat kebersihan dan menjalankan fungsinya usai meletakkan bahan masakan di dapur dan tas selempang berisi uang hasil dagangannya di lemari dan tak lupa dikuncinya. Soalnya, banyak tuyul bergentayangan. Diliriknya bak baju kotor ketika sapunya sudah berada di depan kamar mandi. Untungnya, sudah kosong. Kalau tidak, dia benar-benar akan meledak.
Setiap kali mengayunkan sapu, Sriatun selalu menipu benaknya dengan—rumahku istanaku dan keluargaku adalah hartaku, supaya kejengkelan yang menggelegak dan merayap naik ke tenggorokan luruh kembali ke dalam perut.
Usai menyapu, Sriatun sigap mengolah sayur dan lauk karena perutnya sudah meraung-raung minta diisi. Dia ingat hanya sarapan dua bungkus kecil utri dan jenang sumsum pemberian Mianah. Orang kaya baru itu yang mentraktirnya.
Mengingat Mianah, gigi Sriatun menggeletuk. Raut jengkelnya kembali. Mereka-termasuk Sriatun, tahu kawannya itu hanya pura-pura marah. Namun, Sriatun juga tahu Mianah benar-benar tidak akan membeli dagangan mereka kalau sampai ketiganya tidak mengejarnya dan meminta maaf. Benar saja, Mianah menurut ketika digiring kembali ke depan kios milik Kartik.
“Yu Mi, mau beli apa? Aku kasih harga murah kalau beli borongan,” Sriatun menawarkan barang dagangannya selepas Mianah memborong empon-empon dan telur dari kios Kartik dan Durikah.
Mianah memeriksa beras milik Sriatun, mengendusnya dan menggigit sebulir dengan gigi geraham. Keanggunan Mianah seketika sirna. Jika tidak berdandan seperti ibu-ibu borjuis, orang-orang pasti tahu Mianah salah satu pedagang pasar.
“Nggak ada kutunya dan nggak bau, Yu. Kalau dimasak, nasinya pulen. Soalnya, aku nggak sembarangan kulak beras. Berasku ini nomor satu-”
“Satu kilo saja, Sri,” potong Mianah.
Bibir Sriatun membusur ke bawah. Ekspektasinya menguar begitu mendengar permintaannya. Namun, jangan panggil dirinya Sriatun Si licin lidah kalau tidak bisa membuat Mianah memborong dagangannya.
“Gelangmu bagus ya, Yu. Pasti mahal harganya. Dari jauh kelihatan kalau matanya itu intan. Ih, aku juga pengin punya,” Sriatun mulai melancarkan rayuan. “Boleh aku lihat.”
Kedua ujung bibir Mianah melengkung naik bersamaan dengan melentikkan jarinya ke hadapan Sriatun.
“Mana mau aku pakai barang murah,” Mianah masih meneruskan kesombongannya dan Sriatun mencoba menekan rasa jengah yang mulai terbentuk.
Ini semua demi urusan perut, Sriatun mengingatkan benaknya supaya tidak memerintahkan mulutnya berkata macam-macam.
“Sudah cantik, bajunya bagus, emas-emasannya juga pantas. Memang, ya, Yu Mi ini cocok kalau punya mantu dan besan bule. Pasti menyenangkan punya mertua baik dan cantik seperti Yu Mi ini. Ah, aku jadi iri,” Sriatun pura-pura mencebik kemudian menghela napas panjang sambil menerawang jauh, sebelum mengembalikan pandangannya ke Mianah. “Kasih tahu caranya, Yu, supaya bisa kayak kamu.”