Usai salat Magrib dan makan malam, kecuali Miranda yang lebih memilih mengutak-atik laman sosial medianya, jadwal Sriatun sekeluarga selanjutnya adalah mengomentari alur cerita atau tokoh sinetron berjudul Jodoh Harus Dijebak, yang sedang tayang di televisi layar mungil mereka. Sriatun mendapatkan televisi tersebut dari hadiah mengikuti acara jalan sehat. Hampir saja dia pingsan sebelum menyentuh garis finish dan misuh-misuh di sepanjang jalan karena kegerahan. Untungnya, Sriatun diganjar undian hadiah ketiga. Mianah mendapatkan hadiah utama berupa sepeda motor, yang entah sudah dijual atau digadainya. Sungguh beruntung wanita ular itu, cela Sriatun dalam hati.
“Mana ada orang miskin kulitnya kayak porselen begitu,” Sriatun mulai mengomentari penampakan tokoh utamanya. “Mana ada orang miskin yang jaga makan biar badan ideal, apalagi sampai kurus begitu. Bisa makan saja sudah syukur,” lanjutnya penuh penekanan. “Make up-nya juga kelihatan palsu. Kurang dekil itu.” Dia sengaja mengalihkan pandang sejenak ke suaminya yang juga sama-sama asyik menonton televisi.
“Kenapa lihatnya begitu!” Moko berseru, kesal.
Sriatun tergelak sampai harus mengusap air matanya yang menetes. “Kamu pantas jadi peran utama di situ, Mas. Pasti bagian yang rias-rias aktor bakalan senang jam kejanya berkurang. Nggak perlu make up dekil, sudah terpampang nyata. Penghayatannya juga dapat kalau dilatih terus, soalnya sudah mendarah daging miskinnya. Nama juga sudah pas. Moko Ndoni. Mokondo… ni.”
“Lambemu! Podo kerene yo,” maki Moko seraya menoyor kepala Sriatun yang tidak juga berhenti tertawa.
Karena terganggu, Miranda mendongak dari ponsel pintarnya. Sekilas memperhatikan sinetron yang sedang dikomentari emak dan bapaknya. “Mirip juga kok, Mak, aktornya. Cuma yang ini versi bersihnya saja. Jangan-jangan, kalau Bapak masuk ke produksinya, judulnya ganti Gembel Yang Tertukar.”
Tawa Sriatun semakin kencang, sedangkan Miranda kembali menekuri ponselnya. Menekan tanda cinta dan menjaring tanda cinta yang lain dari pengikut Instagram-nya. Sementara bibir Moko tambah mengerucut setelah pelototannya tidak berhasil menghentikan tawa istrinya.
“Emak sama anak podo wae. Kalian ini sama saja. Mulut apa cabe, kok, pedas semua!” setelah mengatakannya, Moko membenarkan dulu posisi sarungnya dan segera menyingkir menuju tempat duduk cor di teras rumahnya, yang tidak lebih luas dari pekarangan sambil membawa sebungkus rokok dan asbak. Dia tidak bisa berbuat apa-apa jika putrinya sudah buka suara, walaupun perkataannya itu sekadar candaan belaka.
Sambil menyalakan rokok dan mengembuskan asapnya nikmat, Moko sesekali mengangguk dan membalas salam setiap kali tetangga gang rumahnya lewat di setapak berbatasan dengan sungai beraliran tenang. Tidak berapa lama, Sriatun menyusul dan duduk di sebelahnya.
“Kamu marah?”
Moko menggeleng cepat, kemudian mengembuskan asap rokoknya membentuk bulatan-bulatan mirip cincin, dan menumpuknya.
“Terus, kenapa pindah ke sini?” sambung Sriatun.
“Aku nggak marah, Sri, tapi juga nggak pengin dengar guyonan menghina begitu itu.”
Sriatun merasa serba salah. “Maaf, Mas, tadi kebangetan ya?”
“Nggak apa-apa. Beneran. Aku cuma jadi sedikit mikir sekarang,” Moko menghentikan sementara waktu kalimatnya sambil mengetuk-ngetukkan telunjuk tangan kirinya di dengkul sampai tujuh hitungan, tampak sedang berpikir. “Kira-kira, apa benar omongan Miranda waktu kita nonton tivi tadi.”
Kedua alis tebal Sriatun hampir bertaut. Mendengar suaminya berkata seperti itu membuatnya berpikir, apakah hari ini adalah titik balik dalam hidupnya. “Soal apa?”