Kemlokolegi tidak banyak berubah. Angin masih berembus kencang karena lokasinya dikelilingi dua gunung saling berhadap-hadapan. Tidak perlu musim pancaroba, kapas randu akan beterbangan di sepanjang jalan, bersanding dengan kembang turi dan beluntas siap panen, tanpa dipungut biaya.
Sejak orangtuanya meninggal dunia, rute silaturahmi lebaran Sriatun sekeluarga berkisar di makam Pak dan Mbok, dan Sriyati. Mereka berada di desa tersebut tidak lebih dari 24 jam. Tidak pula mereka menginap di rumah orangtuanya, karena selain ilalang sebetis, lumut membandel hampir di keseluruhan dinding rumahnya, serta warna kusam yang tidak ingin diingatnya selalu menggores luka batinnya yang masih kambuhan. Aroma apaknya jelas menusuk rongga dada. Tidak pula Sriatun berminat bermalam di rumah kakak perempuannya. Rumah Sriyati memang hunian impiannya, tetapi tidak untuk ditinggali. Di tengah impitan rumah warga, tempat tinggal Sriyati serupa istana. Pagar besi otomatis, halaman luas ditanami bermacam tanaman penghasil buah, kolam air mancur selayaknya oase, dan lantai marmer yang membuat kaki buluk Sriatun tampak seperti kerak membandel yang harus direndam larutan sitrun seharian.
Namun, hari ini Sriatun menyeret langkahnya dengan tergesa menuju rumah paling gedongan usai nyekar.
Di depan pagar rumah, Sriatun mematut diri sebentar. Dia kenakan pakaian terbaiknya, baju lebaran tahun lalu. Sebelum memencet bel, Sriatun membaca ayat kursi dan berharap hari ini akan aman-aman saja.
Telah tujuh hari Sriyati menghubunginya. Tanpa banyak syarat, Sriatun menyerahkan urusan warisan kepada kakaknya dan akan datang ketika dibutuhkan untuk tanda tangan. Sejujurnya, ada rasa enggan menemui Sriyati. Sriatun paling tidak tahan dengan mulut kakaknya, dan segala hal yang melekat padanya. Mungkin karena sejak kecil dibanding-bandingkan dengan kakaknya yang bunga desa berwawasan luas dan berakhir menjadi guru sukses sebelum dipersunting penebas hasil panen warga Kemlokolegi dan sekitarnya. Hidup Sriyati hampir sempurna dan akan sempurna jika dia memiliki keturunan. Satu senjata paling ampuh Sriatun untuk membalas, jika kelak mulut Sriyati benar-benar tidak bisa ditolerir lagi.
Sampai detik ini berjalan, Sriatun belum bisa percaya kakaknya akan mengubunginya untuk membahas soal warisan. Bisa saja Sriyati memalsukan tanda tangan dan meng-klaim hasil penjualan rumah milik orangtuanya. Meskipun merasa ganjil, Sriatun mencoba berpikir jernih. Barangkali Mbak Yati berubah, benaknya berbisik.
Pintu pagar bergeser usai bel ditekan dan membuka.
Tidak ada orang yang menyambut kedatangannya. Sriatun kemudian berjalan di sepanjang setapak berpaving dengan tanaman ekor merah sebagai pembatas di kanan-kiri. Di sepanjang langkah, Sriatun mengamati rumah kakaknya tampak baru dicat ulang. Baunya masih menusuk.
“Mbak Yati,” sapa Sriatun ramah, disambut raut datar kakaknya yang berdiri di ambang pintu.
“Ikut aku ke ruang tamu,” balas Sriyati tanpa menunggu adiknya mendekat.
Sriatun mengekor usai melepas sepatu tepleknya dan meletakkannya di rak yang disediakan. Dalam waktu singkat mengikuti langkah kakaknya, pandangan Sriatun menyisir hampir keseluruhan isi rumah. Tidak hanya catnya yang masih baru. Furniture dan fixture sepertinya banyak berubah. Agaknya, kakaknya baru selesai renovasi rumah besar-besaran.
“Aku tadi habis dari makam Pak dan Mbok sebelum ke rumahmu, Mbak,” sambung Sriatun selepas mengempaskan pantatnya di sofa ruang tamu yang empuk setelah Sriyati mempersilakannya duduk. Seingatnya, sofa lama kakaknya masih tampak baru, tetapi kenapa harus diganti dengan yang baru lagi? Pemborosan kan, namanya? Namun, dia tidak mungkin mengajari perihal itu kepada orang yang uangnya turah-turah atau tidak berseri.
“Oh, ya? Aku habis dari sana kemarin,” Sriyati tidak mau kalah.
Tapi kok nggak ada bekas kembang taburnya? Sriatun bertanya dalam hati. Dia hanya membalas dengan mengangguk, malas mendebat hal yang tidak perlu.
“Mbak, aku haus-”
“Nanti saja minumnya setelah urusan kita selesai.”
Refleks, Sriatun menelan ludah. Entah karena mendengar perkataan kakak perempuannya yang tidak pernah berbasa-basi dengannya atau tenggorokannya benar-benar seret karena Kemlokolegi panasnya 11-12 dengan tempat tinggalnya di Surabaya.