Notifikasi ponsel pintar Miranda masih menyala dalam mode getar. Satu panggilan tidak terjawab dan dua pesan belum terbaca terpampang di layar. Satu pesan dari ibunya dan pesan lain dari budenya. Sejak tadi Miranda sengaja hanya melirik ponsel pintarnya yang bergetar dan baru berani membukanya ketika jam istirahat tiba.
Dari : Emak
Malam ini aku menginap di rumah Bude Yati karena urusan belum selesai. Kalau nanti ketemu bapakmu, bilang. Soalnya bapakmu belum telepon balik Emak. Nanti makan siang dan malam beli saja. Nggak usah masak. Emak ganti uangmu pas pulang. Nyuci bajunya juga besok saja sepulang Emak dari Bude Yati. Tapi tenang, cucian kemarin sudah Emak bereskan sebelum berangkat. Sekolah yang pintar ya, Nduk.
Panjang ya, pesannya? Apa nggak pegal ngetiknya?
Sedikit ogah-ogahan, Miranda membalas karena tidak ingin diteror.
Kepada : Emak
Iya, Mak. Beres.
Kelakuan emaknya berbeda dengan budenya, yang lebih senang mengiriminya pesan suara.
“Mira, Bude kangen. Kapan ke rumah? Bude titip uang saku buat kamu ke emak-mu, ya. Kalau nggak dikasih, kamu tagih atau bilang ke Bude biar Bude marahi. Mir, apa kabar? Mira sekolah yang pintar ya, Nduk, biar sukses. Biar nggak kayak emak dan bapakmu.”
“Amin. Nanti, Bude, Insyaallah Mira ke rumah Bude lagi kalau liburan sekolah. Mira sehat. Terima kasih uang sakunya. Nanti Mira tabung. Sehat-sehat, Bude,” Miranda membalas dengan mengirimkan pesan suara.
Usai mengamankan kembali ponsel pintarnya, Miranda mengedarkan pandang. Beberapa siswa tinggal di kelas. Dari salah satu jendela kaca, tampak satu kelompok cewek populer sedang tertawa-tawa, ber-wefie. Dari riuh tawa yang terdengar dari tempat duduk Miranda, sepertinya menyenangkan berteman dengan mereka. Bagi Miranda, mereka seperti bintang di langit kelam. Indah, tetapi susah digapai.
Tepukan pelan di bahu berhasil menyadarkan Miranda dari lamunan. Dia menoleh. Enggar, teman sebangkunya sudah kembali dari istirahat. Rambutnya yang cokelat dan kulitnya yang legam sontak mengingatkan Miranda akan sebuah ungkapan. Burung emprit tidak akan berteman dengan burung gagak. Mengingatnya, membuat Miranda meringis. Dia merasa menjadi burung emprit sekarang.
Dagu Enggar mengedik ke arah kelompok cewek populer yang belum juga membubarkan diri. “Nggak di kelas, nggak di luar kelas, caper banget.”
“Nggak, ah,” Miranda membela.
“Dibilangin. Mereka di situ kan mau cari mangsa.”
Biji mata Miranda seketika membola. “Mangsa?” ulangnya, setelah mengembalikan pandangannya ke semula karena pelototan Enggar jauh lebih mengintimidasi.
“Ada anak baru di kelas sebelah namanya Brodin. Omong-omong, panggilannya Bro,” Enggar terkekeh sebentar sebelum kembali fokus bercerita, “Nah, si Wine, kabarnya ada hati sama tuh anak sejak SD. Dulu mereka pernah satu sekolah sebelum si Bro ini balik ke Indonesia.”
“Seorang Wine? Model komersil dan calon artis besar, terang-terangan ngomong kalau suka sama cowok? Wah, gimana nggak ribut cowok-cowok lain di sekolah ini yang jatuh cinta mati sama dia?” Miranda berdecak kagum.
“Wine ternyata masih manusia, ya. Aku kira dia sudah spek bidadari. Yang pilih cowok tanpa perlu usaha… kayak kita. Bahkan kita usaha sampai mampus pun, dapatnya palingan cuma….” Enggar menyisir ruang kelasnya, kemudian dagunya mengedik ke arah bangku paling depan dari deret bangku mereka. “Joni. Dipikir-pikir, masa depan kita amatlah suram.”
Joni yang selalu grogi menghadapi teman ceweknya, entah saat diperlukan untuk tugas presentasi atau sekadar bertegur sapa, menjadi standar paling bawah untuk urusan asmara teman-teman satu kelasnya. Keringat sebiji-biji jagung selalu menghiasi pelipis Joni yang berminyak ketika Wine dan kawan-kawannya bermanis-manis padanya, meminta sontekan. Baru juga Wine menepuk punggung tangan Joni dan memperdengarkan keceriaan palsunya, Joni sudah ingin terkencing-kencing di celana. Ah, Joni yang malang!