Lompat Kelas

heriwidianto
Chapter #6

Enam

Selesai makam malam bersama Miranda, Moko keluar rumah untuk mencari udara segar. Jika sedang tidak ada istrinya di rumah, acara menonton sinetron di televisi ditiadakan. Berbincang dengan putri satu-satunya juga bukan hal menarik. Jika biasanya anak perempuan dekat dengan bapaknya, kali ini tidak di kehidupan Moko. Mereka seringnya mengobrol hanya ketika butuh. Moko ingin kopi, maka Miranda akan membuatkan. Miranda bilang kalau keran kamar mandi lepas atau bocor, maka Moko akan memperbaikinya. Padahal, menilik usia, umur Miranda sekarang adalah setengah lebih dua tahun dari usia bapaknya. Moko genap berusia 36 tahun, tahun ini. Seharusnya, hal itu bisa menjadi alasan mereka dekat, seperti kakak-adik. Akan tetapi, jangankan berbicara dari hati ke hati, celetukan mereka pun seringnya salah sasaran. Bahkan, di satu kondisi, Miranda bisa lebih bijak dalam bersikap dibanding bapaknya.

Usai menutup pintu pagar rumah, Moko melangkah menuju saung di ujung jalan. Sambil berjalan, tidak lupa bibirnya menjepit rokok kemudian memantiknya dengan geretan.

Tidak seperti biasa, tidak banyak tetangga duduk-duduk di teras. Hanya suara rembesan program televisi terdengar dari celah pintu rumah mereka. Sepertinya orang-orang sedang malas menghidu aroma got setiap kali angin berembus. Kecuali, Darto dengan sarungnya yang hampir melorot tampak sibuk menyirami tanaman kesayangannya, menyapa dan berbasa-basi sebentar, menawari Moko mampir. 

Malam ini, saung juga sepi. Mungkin karena embusan angin malam lumayan kencang, jadi banyak yang memilih mendekam di rumah atau bergelung di kamar bersama anak dan istri. Bahkan, orang-orang yang mendorong sepeda motor ketika memasuki gang, ikut absen. Bertambah lengang saja.

Dari jauh, Moko menyipit memperhatikan seseorang duduk di saung. Begitu jarak terpangkas, sosok Santoso, suami Kartik, tertangkap olehnya. Kumisnya tebal, dengan wajah kuyu dan pandangan nanar. Ketika Santoso menoleh, pandangan mereka bertaut. Moko segera mengempaskan pantatnya di ujung dudukan saung tanpa berkomentar. Mereka kembali melanjutkan mengisap rokok masing-masing sambil memandang ke kejauhan, dengan pikiran berkelana.

Tiba-tiba, Santoso menoleh ke arah Moko. Karena sejak tadi belum mengajaknya bicara, Santoso akhirnya mencoba bersuara. “Kata Kartik, kios Sriatun tutup hari ini. Kartik juga bilang, istrimu dicari Mianah.”

“Iya, Sriatun ada urusan ke Kemlokolegi, Kang,” Moko menjawab sekilas, kemudian mengisap dan mengembuskan asap rokoknya. “Palingan Sriatun juga sudah telepon sendiri Yu Mianah-nya.”

Santoso mengangguk-angguk. “Kenapa kamu nggak bantu-bantu istrimu di pasar, Moko?” lanjutnya, bertanya.

Sejenak Moko tidak memercayai pendengarannya. “Apa, Kang?” ulangnya.

“Kata Kartik, istrimu kadang sambat kalau capek ngelayanin pembeli. Daripada kamu nunggu kerjaan yang nggak jelas, mendingan kamu bantu-bantu istrimu di pasar. Hidupmu lebih ada gunanya. Nggak seperti gombalan.”

Engsel yang menahan rahang Moko seolah lepas sampai dia merasa tidak bisa mengatupkannya lagi. Waktu seakan membeku.

“Maaf, aku kelepasan ngomong,” sambung Santoso.

Sontak Moko mengatupkan rahangnya kembali dan kini berganti dengan matanya yang memelotot. Otaknya menerjang segala kemungkinan yang terbentang. Dia yakin, di belakang punggungnya, orang-orang tengah berperasangka buruk padanya. Dan, yang paling membuatnya muak, keberadaan Sriatun beririsan dengan orang-orang ini. Jadi, selama ini Sriatun keberatan dengan pekerjaan serabutannya? Moko menyesal seharian ini telah berbaik hati mengerjakan pekerjaan rumah, yang bukan pekerjaannya. Tidak pernah dalam otaknya, laki-laki memegang talenan atau sudip, bahkan kain pel. Lelaki di keluarganya dihormati dan dihargai. Moko meradang. Masih untung dia mau datang ketika Sriatun memintanya membantu warga gotong royong membersihkan aliran got. Masih untung Moko mau membetulkan atap bocor, keran mampet, mengganti gas, atau mencari nafkah. Nanti, dia harus membuat perhitungan dengan Sriatun. Dikiranya gampang jadi laki-laki? Harga dirinya mendadak terluka.

“Kamu jadi kepikiran, ya?” Santoso berkata usai menjentikkan abu rokoknya.

“Bu-bukan, Kang. Tadi cuma melamun.”

“Jangan dibiasakan, Moko. Melamun itu pekerjaan pemalas. Makanya kamu nggak kaya-kaya.”

“Baik, Kang.”

Lalu, kenapa kamu ada di sini, menyuruhku nggak boleh melamun sementara sejak aku belum datang kamu sudah bengong sendirian? Moko terheran-heran dalam hati, merasa mendengar kalimat kontradiktif terlontar dari mulut seorang yang dulunya sempat kaya dan kariernya pernah bagus, sekarang sama-sama menganggur seperti dirinya. Gombalan. Memang, menceramahi orang itu sangat mudah. Tinggal membuka mulut, lalu lupakan berkaca diri.

“Kerjaan serabutanmu bagaimana? Akhir-akhir ini sepertinya kamu lebih banyak menganggur, ya. Seingatku-”

Lihat selengkapnya