Lompat Kelas

heriwidianto
Chapter #7

Tujuh

Semalaman Moko tidak bisa tidur. Sampai mendengar ayam jago berkokok, dia masih terjaga dengan kedua tangan menyangga belakang kepala sembari memandangi plafon rumah kontrakannya yang mulai menunjukkan tanda-tanda berjamur. Segala rasa tumpang tindih dalam benak. Tebersit penyesalan karena terlalu terbuka kepada kedua orang tetangganya itu-Topo dan Bandi. Bisa-bisanya tanpa pikir panjang, Moko menceritakan bagaimana dan dari mana istrinya mendapatkan uang warisan, kecuali berapa jumlah rupiah yang akan diperolehnya nanti. Untuk urusan jumlah memang Moko tidak atau belum mengetahuinya. Barangkali ucapan Sriatun benar setiap kali mereka bertengkar dan berakhir saling mengupas aib selayaknya mengupas bawang jahat. Karena Moko hanya melaksanakan wajib belajar 9 tahun, jadi Sriatun kerap mengolok-oloknya dengan sebutan bodoh. Dan sekarang, Moko semakin memercayai olok-olokan itu.

Moko mengusap wajah dengan kasar, berharap karut marut di dalam benaknya tersingkir dengan sendirinya. Dia tidak bisa membayangkan, separah apa kemarahan Sriatun nantinya jika sampai kabar tersebut menyebar dan menyambangi telinganya. Bisa-bisa, bibir tipis Moko akan semakin tipis bentuknya karena dirajam.

Selain bersiap-siap mendapatkan amukan Sriatun, Bandi yang selama ini dianggapnya tolol, tiba-tiba menimpali akhir ceritanya dengan: Apa Moko juga akan mendapatkan uang tersebut karena secara hukum, rumah warisan tersebut adalah milik orangtua istrinya, dan ketika Moko hadir di hidup Sriatun, rumah itu sudah berdiri dengan kokoh.

Tubuh Moko seperti terpasung di amben saung selepas mendengar kenyataan pahit yang menamparnya telak. Kerjapan matanya seolah berhenti seirama. Dia tidak berpikir sejauh itu. Moko masih berpikiran positif bahwa istrinya tidak akan setega itu meninggalkannya, ketika sudah kaya raya. Namun, jaminannya apa? Cinta? Kira-kira, rasa cinta Sriatun apakah masih sebesar dulu? Tidak ada yang tahu, tidak ada yang bisa menakar, dan tidak ada yang bisa menjawabnya, kecuali waktu.

Pertanyaan Bandi mendapatkan perlawanan setimpal Topo, dan hal tersebut menambah keterguncangan mental Moko. Topo berpendapat, biasanya, orang kalau sudah kaya raya tuh semena-mena ketika memandang orang lain, apalagi suaminya yang tidak bekerja seperti dirinya. Gembel. Bisa-bisa, masalah sekecil apa pun akan diungkit tepat di depan hidungnya!

Moko gelapan menanggapi semua itu. Dia bahkan tidak menemukan kalimat yang tepat untuk menyanggahnya. Segala hal seperti patut diperbincangkan dan diperdebatkan, tetapi dia sudah lelah duluan sebelum buka suara. Hatinya mendadak koyak.

Memanglah Moko percaya, jika dalam hidup ini tidak ada yang namanya kepastian. Termasuk rezeki, apalagi kematian. Bahkan jauh sebelum mengobrol dengan Topo dan Bandi yang membuka wawasannya mengenai secuil akibat dari harta warisan, Moko telah menyadarinya. Sebagai tamatan SMP dan sejak dulu tidak pernah menetap dalam satu pekerjaan yang membanggakan, membuatnya maju-mundur ketika memutuskan sesuatu. Namun, tidak dengan perkara hati yang menautkannya kepada Sriatun. Nama perempuan yang diketahuinya melalui orang-orang yang mengenal kerabatnya.

Kala itu, Sriatun sedang merayakan liburan sekolah dengan mengunjungi salah satu misanannya, sementara Moko sedang bekerja sebagai tukang angkut bawang jahat di pasar.

Pujaan hatinya itu tampak memesona dengan punggung menempel pada gapura pasar. Tubuh lencir dan gigi kelinci yang anehnya malah mempermanis penampilannya, berpadu anggun dengan lesung pipi yang hanya tampak di bagian kiri. Aduhai, memikat. Penampilannya seperti gadis desa pada umumnya. Kalem, bersahaja, dan menawan. Kala itu, Sriatun belum berhijab.

Di trotoar dekat gapura Pasar Jembrana, Sriatun berdiri menunggu saudara perempuannya sedang membeli kebutuhan rumah tangga di salah satu toko kelontong. Sejak beberapa waktu lalu, sebenarnya ekor mata mereka kerap bertemu. Akan tetapi, Sriatun segan mengakui bahwa dadanya sedang bergemuruh, ditatap seorang pemuda manis bertubuh liat tampak dari kaos putihnya yang basah berpeluh. Setiap kali sang pemuda mengangguk dan senyum manisnya tidak juga kering membalut bibirnya yang tipis, membuat desir jantungnya meneriakkan tanda bahaya karena bisa meledak kapan saja. Meskipun kulit pemuda itu beraura Magrib, tampaknya berhasil membuat Sriatun tidak bisa berpikir jernih-apakah dia benar-benar memberikan sedikit perhatian atau sekadar menggoda. Ingin rasanya Sriatun mendekat dan bertanya terus terang, apakah pemuda itu tertarik padanya atau hanya iseng. Namun, dia tidak mungkin senekat itu. Ada norma yang harus dijaga. Norma kesopanan. Dia selalu ingat kata-kata Simboknya, perempuan itu ditakdirkan untuk menolak, sementara laki-laki ditakdirkan untuk memilih. Jadi, istilahnya, perempuan hanya boleh menunggu.

Ketika akhirnya Moko melecutkan kenekatannya untuk mendekati seseorang yang diyakininya adalah sang pujaan hati, Sriatun mendadak kaku-kakinya seperti terpaku di bumi begitu punggungnya terlepas dari bersandar pada gapura.

“Hai. Lagi nunggu siapa?” Moko bertanya sembari mengusap wajahnya yang berkeringat. Ketika sedikit mengangkat ketiaknya, rasa malu menyambangi. Wajahnya sampai sedikit memerah, mengempit kembali ketiaknya supaya aromanya tidak menguar. Sebab, baunya kecut mirip cuka kadaluwarsa. Dan Moko sedikit menyesali kenekatannya karena dia ingat belum mandi dari pagi karena bangun kesiangan.

Dilema sontak mengadang.

Seperti ada keinginan untuk melarikan diri sebab keringat dingin mulai mengalir di pelipis, tetapi ketika Sriatun membuka mulutnya dan membalas sapaan Moko, niatan itu langsung ambyar.

Lihat selengkapnya