Guna mengusir rasa jengkel, Moko memasukkan ponsel pintarnya ke dalam saku. Di teras depan sambil mengembuskan pelan asap rokok membentuk cincin bertumpuk, Moko mendengkus kasar. Dia baru saja menghubungi beberapa temannya untuk meminta informasi pekerjaan. Serabutan juga tidak apa-apa, katanya. Akan tetapi, dari puluhan nomor yang dipencetnya, tidak satu pun menyelipkan kabar baik di telinganya. Mulut Moko mendadak kecut. Padahal, di tidak minta muluk-muluk. Moko hanya ingin bekerja untuk menyelamatkan mukanya. Sebagai kepala keluarga, sudah sepantasnya tugasnya menafkahi, membahagiakan anak-istri. Kalau bisa, bergelimang harta dan bisa memberi uang jajan kepada Miranda. Agaknya, permintaan tersebur terlalu berat untuk dikabulkan Sang Pemilik Semesta. Moko mulai menyalahkan orangtuanya yang tidak membukakannya jalan untuknya menuju kesuksesan. Sejak kecil Moko digembleng untuk tidak boleh gembeng meniti hari demi hari. Pasar adalah jawaban atas doa-doa orangtuanya, yang hanya bisa mereka janjikan dengan memintakan pekerjaan sebagai kuli panggul kepada salah satu kenalan mereka. Nepotisme kecil-kecilan.
Desah panjang Moko mencoba mengusir benak penuh pikiran buruknya. Dia tidak ingin hari ini bertambah suram mengingat-ingat perihal menyebalkan. Alhasil, Moko beranjak dari duduk di lantai terasnya.
Sembari membawa asbak penuh puntung rokok untuk dibuang ke tempat sampah, Moko kembali masuk rumah. Selain tidak ingin kena marah istrinya yang akan pulang hari ini, niat selanjutnya adalah menyelesaikan pekerjaan yang dilungsurkan putrinya kepadanya. Sebelum itu, Moko berniat mengisi bahan bakar terlebih dulu untuk maju ke medan perang bersama cucian selepas perutnya kenyang.
Siang ini, terik matahari begitu luar biasa. Baru setengah jalan menjemur pakaian basah yang seperti tidak ada habisnya, Moko harus mengusap peluh yang mulai terbentuk di dahi. Atau, sudah terlalu siang? Dia pura-pura lupa.
Terdengar salam dari depan. Kemudian, langkah dan seruan dari ruang tamu terdengar sampai area menjemur pakaian karena jaraknya tidak terlalu jauh.
Senyum Moko tertarik dari ujung ke ujung bibir, maksimal, mengingat siapa yang datang hari ini. Mengingat lantai rumahnya sudah kinclong, piring kotor sudah musnah, cucian kotor beres, dan sarapan masih tersisa. Moko tampak tenang, hendak menyambut kedatangan istrinya.
Girang, Moko berniat meninggalkan pekerjaannya terlebih dulu. Akan tetapi, baru selangkah maju, sepertinya Sriatun mencium aroma pekerjaan yang belum selesai. Mata Sriatun melebar, bagai kode alam untuk tidak membantah. Moko mengkeret, sontak melanjutkan pekerjaannya dengan kecepatan luar biasa. Sepuluh menit berlalu, dia menyusul istrinya di ruang makan sedang menikmati sarapan. Atau, makan siang? Entahlah.
Begitu tiba di hadapan Sriatun, dan dengan hanya pindaian mata dari ujung rambut sampai ujung kaki, Moko sudah tahu apa yang harus dilakukannya selanjutnya. Mandi dan gosok gigi, kalau perlu keramas.
Hari ini tidak ada bantahan atau sekadar decakan dari bibir tipis Moko ketika istrinya memerintah, meskipun Sriatun belum berkata apa-apa.
Saat debur air dari dalam kamar mandi terdengar, dalam hati Sriatun ingin tertawa melihat kelakuan suaminya. Manusia mudah berubah jika mengendus aroma uang di sekitarnya. Padahal, uangnya belum ada.
***
Tanpa banyak cakap, Sriatun memberi kode kepada Moko melalui kedikkan dagu ke arah tempat duduk di hadapannya. Dan tanpa banyak bertanya, suaminya menurut meskipun hanya handuk yang melilit di pinggangnya. Moko bahkan sampai melipat kedua tangan di atas meja, duduk tegak, memulas senyum, dan menunggu berita baik yang dibawa dari kampung halaman istrinya.
“Aku selesaikan dulu sarapanku, ya,” Sriatun berkata lembut sembari mengunyah.
Moko tidak percaya dengan pendengarannya. “Memangnya nggak dikasih sarapan sama Mbak Yati?”
“Sudah, tapi aku masih lapar.”