Udara panas dari luar merembes masuk karena pintu rumah terbuka lebar. Gerah mulai menciptakan bulir-bulir keringat di lipatan badan kedua orang yang masih betah duduk berhadap-hadapan di ruang tamu. Namun agaknya, pembicaraan mengenai pinjam meminjam uang belum juga berlalu.
Butuh setengah jam lebih bagi Sriatun untuk menjelaskan kepada Denok bahwa kabar yang didengarnya tersebut tidak sepenuhnya benar. Namun, tetangganya itu sulit percaya. Sambil mendengarkan isak Denok yang belum juga reda, Sriatun akhirnya menyerah dan hanya diam mendengarkan. Punggungnya menempel di sandaran sofa dan kepalanya seperti dibandul batu, padahal dia sendiri belum melihat apalagi menerima uang warisan tersebut. Sesekali punggung Sriatun menegak kembali saat seorang tetangga lewat depan rumah dan menoleh. Dia membalas anggukan dan berdoa dalam hati supaya mereka tidak berpikiran macam-macam mendengar tangisan Denok.
“Nanti kalau bank plecit-nya datang ke rumah terus obrak-abrik barang-barangku, piye, Sri?” Denok berkata di sela-sela tangis yang tak kunjung habis.
Dengkus Sriatun terdengar agak keras hingga dia sungkan sendiri ketika Denok menjengit. “Maaf. Menurutku Yu Denok kebanyakan nonton berita kriminal,” katanya tidak sabaran.
“Tapi mereka memang bar-bar nagihnya.”
Sriatun mengangguk, tidak tahu harus menukas dengan kalimat seperti apa lagi.
“Coba kamu pinjamkan ke siapa gitu. Nanti aku ganti,” Denok mulai bermanuver.
Seperti lingkaran setan. Menambal lubang di rumah sendiri dengan melubangi dinding tetangga sungguh tak elok rupa. Dosanya bisa sampai tujuh turunan. Untungnya Sriatun tidak sebodoh itu, mengumpankan diri dalam skema utang menakutkan. Jelas dia yang akan ditagih oleh seseorang yang mengutanginya dan orang yang diutanginya itu akan membalas santai: Belum ada uang, Sri. Terus, bagaimana? Celaka dunia!
“Ya, jangan begitu, Yu Denok. Memangnya-” Sriatun menghentikan kalimatnya sendiri ketika teringat seseorang yang belum disebut-sebut lagi sejak bab utang-piutang ini tercetus. “Kok nggak pinjam anakmu dulu, Yu? Bandi sekarang kan kerja kantoran.”
“Sungkan aku, Sri, pinjam ke anak sendiri. Nanti Bandi pasti khawatir kalau aku bilang nggak punya duit.”
Ada sedetik rasa hampa di hati Sriatun usai mendengar alasan enggan berutang kepada anak sendiri ini. Sriatun mengerti jika ada sosok ibu yang tidak ingin merepotkan anak-anaknya sampai kapan pun. Dia juga paham jika seorang ibu selalu menampakan diri sedang baik-baik saja di hadapan anak-anaknya. Menyangkut perkara utang, dia sungguh-sungguh heran, kenapa lebih mudah membicarakan ini dengan orang lain daripada dengan saudara sendiri, apalagi anak?
“Yu Denok, saya benar-benar belum ada uang sekarang dan belum bisa pinjami sampean. Kalau ada uang, pasti saya pinjami. Kalau suruh pinjam orang lain, jelas saya nggak mau. Nanti saya yang repot ditagih-tagih,” Sriatun berkata sedikit keras sebab logikanya cukup terluka mendengar alasan Denok.
Sempat terkejut, Denok akhirnya berdiri dari sofa Sriatun. Sebelum beranjak pergi, dia sempat berujar dengan wajah kaku penuh emosi, “Jangan pelit-pelit jadi orang, nanti kuburanmu sempit,” lalu melangkah pergi tanpa memberi salam.
Asu! maki Sriatun dalam hati.
Serba-serbi bertetangga terkadang seperti ini jeluntrungannya. Sriatun tidak terlalu terkejut dengan balasan yang akan diterimanya, jika kelak dia butuh uang dan Denok tidak bisa meminjami. Namun, disumpahi makamnya sempit kalau mati jelas membuatnya geram. Sriatun sampai harus memijit pelipisnya karena mendadak pusing. Dia sampai tidak ingin berteriak, sekadar memanggil nama suaminya. Sebab, dia merasa pusingnya akan menjalar ke mana-mana.
Setelah sakit kepalanya mendingan, barulah Sriatun beranjak dari sofa menuju kamar tempat suaminya berada. Kalau sampai Moko tidak ada di tempat, dia bersumpah akan membuatkannya khitanan lagi supaya benda kesayangan suaminya itu hilang seluruhnya. Untungnya, Moko tetap di kamar. Pria itu sedang menunduk, siap menerima hukuman.
Menggunakan telunjuk dan geraman, Sriatun memberi isyarat kepada suaminya supaya mengekorinya ke ruang tamu. Begitu mereka duduk berhadap-hadapan, Moko belum berani memandang istrinya sebelum Sriatun mendengkus memberi tanda akan ada obrolan serius di antara mereka.
“Maaf, Sri. Aku kelepasan,” Moko tidak mungkin beralasan lain, apalagi mencari alasan tidak masuk akal. Bisa-bisa istrinya mengamuk.
“Cerita ke siapa saja?”
“Nggak banyak, kok.”
“Ke siapa saja, Mas Moko Ndoni?” desak Sriatun mulai kehilangan kesabaran.