Lompat Kelas

heriwidianto
Chapter #10

Sepuluh

Kemarahan Sriatun kepada suaminya sebelumnya, seolah tidak pernah terjadi. Kalimat pedasnya kepada Miranda juga menguap begitu saja. Tanpa berkata apa-apa, Sriatun beranjak dari sofa menuju tempat tas besar teronggok di sebelah meja makan, kemudian membawanya ke kamar seperti orang linglung.

Ditinggal berdua dengan sang putri di ruang tamu, Moko hanya berani memberi kode kepada putrinya dengan menaikkan kedua alis dan dibalas gelengan kecil Miranda. Langkah ringan Sriatun terlalu mencurigakan untuk tidak diindahkan. Apalagi ketika mereka mendengar siulan Sriatun begitu memasuki kamar dan menutup pintu. Sudah pasti, Sriatun gila karena warisan. Atau jangan-jangan, Sriyati berubah pikiran dan menarik hak waris adiknya hingga pukulan telak tak terhindarkan lagi mengenai mentalnya? Tapi kok cepat sekali memburuknya? Itu tidak boleh terjadi. Moko menggeleng-geleng, menolak memikirkan hal menyeramkan seperti itu.

Saat kedua orang yang masih duduk di ruang tamu tafakur dengan pikiran masing-masing, tiba-tiba Sriatun membuka pintu kamar dan berjalan mendekat kembali. Dia lalu berdiri dengan tatapan yang bisa diartikan seperti menahan amarah. “Kalian berdua ngapain masih di sini?”

Moko dan Miranda melongo mendengar pertanyaan tersebut.

“Eh, anu… iya, Mak. Aku mau ganti baju dulu terus makan siang, habis itu ngerjain PR lanjut tidur siang kalau bisa,” Miranda menyahut lebih dulu setelah sadar dari keterkejutannya.

Begitu Miranda hendak beranjak pergi dan Moko berniat menyusul, Sriatun menghentikan niatan keduanya dengan memanggil nama masing-masing.

“Ada apa?” Moko akhirnya ikut bersuara, dengan ketakutan yang tidak bisa disembunyikan wajahnya.

“Kalian berdua ganti baju yang bagus.” Sriatun mengalihkan pandang ke putrinya. “Kamu juga dapat baju baru dari Bude Yati. Pakai itu saja.”

“Memangnya mau ke mana, Mak?”

“Makan di luar,” Sriatun berkata santai.

“Bukannya kamu tadi sudah makan?” Moko mengingatkan.

Kedua tangan Sriatun seperti menata dengan anggun di pinggang, lalu menyeringai. Kesiut udara dingin yang entah datang dari mana seperti membelai tengkuk pria itu, hingga membuatnya ingat bahwa telah bertindak nekat. Memberi tahu kenyataan yang tidak perlu didengar oleh istrinya. Menyadarinya, membuat Moko memejam sejenak guna memikirkan langkah yang tepat supaya tidak sampai menjadi bumerang.

“Maksudku, tadi-”

“Nggak apa-apa kalau Mas Moko nggak mau ikut makan di luar,” Sriatun menyergah dengan setenang mungkin, tetapi dampaknya begitu menakutkan bagi Moko. Pikirannya melancong jauh mengingat perkataan Topo dan Bandi, mengenai Sriatun yang tidak akan membagi uang warisannya kepadanya karena hal yang kelihatannya sesepele berkata jujur.

“Maaf, Sri. Aku ikut makan di luar, ya. Anggap saja tadi aku nggak ngomong apa-apa.”

Seolah menimbang, Sriatun kemudian mengangguk sebagai tanda bahwa masalah telah menemukan solusinya. “Tapi sebelum kita makan di luar, aku mau ke rumah Yu Denok sebentar. Aku pengin dia tarik sumpahnya yang menakutkan tadi kalau masih pengin pinjam uangku.”

Mata Miranda dan Moko kompak melebar. Kedua ujung bibir bapak dan anak perempuannya itu berbarengan melengkung naik.

“Asyik. Uangnya cair.” Mereka berhamburan dengan tergelak seolah ikut-ikutan gila gara-gara warisan.

 

***

Lihat selengkapnya