Lompat Kelas

heriwidianto
Chapter #11

Sebelas

Sebelum memasuki medan perang bertema utang piutang, sebaiknya ada dua hal yang perlu persiapkan. Taktik dan latihan. Melalui sebuah penyamaran, Sriatun bertaktik akan berpakaian seperti biasa, bersepeda motor seperti sehari-harinya, dan menggunakan ponsel pintarnya dengan layar memprihatinkan itu, seperti sebelum berhasil lompat kelas. Intinya, tidak boleh mencolok. Tidak boleh menjadi bahan gunjingan.

Sisanya, semalaman Sriatun berlatih merangkai kata supaya terdengar meyakinkan sampai Moko mengumpatinya berisik ketika mereka telah beradu punggung di ranjang yang sama. Untung saja ketika meminjamkan uang kepada Denok, Sriatun tidak kelepasan bicara mengenai uang warisan. Dia beralasan Moko punya uang simpanan milik mantan bosnya dan harus dikembalikannya bulan depan. Beruntung lagi, Denok percaya dan tidak banyak bertanya. Kemudian ketika Sriatun, Moko, dan Miranda berada di Surabaya Bus, istrinya itu mewanti-wanti supaya Moko menanggalkan mulut embernya atau adik kecil kesayangan yang dinamainya Hulk, musnah! Miranda mengernyit ketika mendengarnya dan tidak sempat menutup telinga setelah mengerti arah pembicaraan orangtuanya.

Pagi ini Sriatun meracau di sepanjang jalan sampai tiba di kios pasar.

Kalau ada yang mau utang, bilang saja ada bunganya. Pasti orang langsung kabur, benaknya memberi ide sekelebat. Ide dari hasil menonton film televisi bertema azab sekian tahun lalu.

Kamu mau dapat sebutan lintah darat, heh? Itu riba! nuraninya mengingatkan. Kata Ustaz, nanti di hari kiamat, perut orang yang berani melakukan dosa riba akan membesar dan dipenuhi ular, tandasnya.

Gelengan Sriatun menggusah ide buruk tersebut. Dia saja masih merinding setiap kali teringat disumpahi Denok, kelak kuburannya akan sempit. Tidak juga dia mau mengandung bayi ular!

Tanpa mengundang kecurigaan, Sriatun menyapa setiap penjual di pasar dengan sapaan malas seperti biasanya. Kelakuan buruknya setiap kali bangun pagi yaitu kurang berminat bertemu orang jika tidak terpaksa. Dia lalu membuka gembok pada tangkainya dan melanjutkan membuka papan vertikal sebelum menyimpannya di pojok kios, juga seperti biasanya. Tidak lupa Sriatun menajamkan pendengaran, barangkali ada kasak-kusuk berembus melalui udara, bukannya aroma lembap sayur busuk mangkrak atau siraman air bekas mencuci ikan kembung tidak pada tempatnya.

Lirih, Sriatun mendengar Durikah mengobrol. Kemudian, Durikah seperti salah salah menyetel intonasi suaranya sehingga membesar volumenya. Atau, sengaja? “Kemarin kiosnya memang tutup.”

Ini pasti lagi bahas kiosku? Sriatun membatin. Jantungnya berdetak tangkas, menyaingi pikirannya yang bergerak bak pelari jarak pendek.

Ketukan di papan vertikal kios menyadarkan Sriatun dari lamunan. Dua papan vertikal yang dilepasnya bisa muat untuk dilewati kepala Durikah.

Opo, Yu? Berasmu di rumah habis? Aku masih ada stok beras lama, tapi nggak bau, kalau Yu Rikah mau,” tawar Sriatun setelah secepat kilat mencoba menenangkan detak jantungnya.

“Kiosmu tutup kemarin, ke mana, Sri?” tanya Durikah tanpa basa-basi.

“Aku pikir, Yu Rikah-”

“Ke rumah Mbakyu-mu, ya? Mbak… Yati?”

Sriatun lekas menimbang jawaban. Dia membongkar isi kepalanya secepat yang dia bisa. Sebab, perihal memancing pernyataan, Durikah adalah biangnya. Dia akan terus mendesakmu sampai kamu merasa tergencet dan tidak ada pilihan lain selain mengatakan yang sejujur-jujurnya. Kartik pernah jadi korbannya. Santoso bangkrut juga Durikah yang berhasil mengusut, sampai Kartik mengakhiri adu mulutnya dengan tangisan. Setelah itu, Durikah akan dengan tangan terbuka memeluk dan memberi Kartik petuah-petuah bijak, katanya, sebagai bukti pertemanan yang kokoh. Tahi kucing!

“Iya, aku kemarin ke Kemlokolegi naik bus. Ada urusan di kampung. Selamatan Pak dan Mbok-ku,” jawab Sriatun sesantai mungkin.

Namun, ada sedikit senyum tersungging di bibir Durikah yang menyebabkan gelenyar ketakukan mulai merambat memenuhi perut Sriatun. Dia tahu. Iya, perempuan ular ini pasti sudah mendengar urusan warisanku, Sriatun membatin sambil mengerang sebal.

Ketukan lain di papan vertikal kios mengubah arah pandang kedua orang yang masih terlibat dalam obrolan santai, tetapi serius, terlihat dari olah tubuh mereka. Perempuan ular lain muncul, pikir Sriatun sebelum menghela napas panjang. Kartik tersenyum lebar sambil menjulurkan kepalanya.

Lihat selengkapnya