Lompat Kelas

heriwidianto
Chapter #12

Dua Belas

Semalam Miranda susah tidur. Selain mendengar racauan Sriatun menembus sampai dinding kamar, benaknya juga sibuk menimbang akan diapakan kartu debit yang dipinjamkan Emak kepadanya, selain untuk membeli ponsel pintar baru. Sebenarnya banyak barang yang diinginkannya, tetapi kompas moralnya seperti mengingatkan. Kamu bukan pencuri. Akibatnya, mirip kuda nil, Miranda sembunyi-sembunyi menguap supaya tidak ditegur gurunya yang sedang mengajar.

Begitu bel istirahat berbunyi, kantuk Miranda perlahan lenyap. Mungkin karena efek euforia. Dia kembali sibuk berselancar di dunia maya. Sembari menghabiskan roti sisa dari mal semalam meski agak keras, Miranda mencari beberapa toko ponsel daring untuk perbandingan harga ponsel pintar yang diinginkannya, dengan lebih dulu khatam mempelajari spesifikasinya.

Ketika asyik menggulir laman sosial media, mirip ekor komet yang menghilang dalam hitungan detik, sebuah peringatan menghampiri benak Miranda. Kamu kan belinya pakai uang emakmu? Mau berapa pun harganya kayaknya nggak masalah. Tinggal gesek. Miranda melemparkan ponsel bututnya ke dalam laci dengan raut jengkel. Buat apa aku begadang sampai mata pandaku membengkak menonton konten Youtube, mulai dari David GadgetIn sampai Putu Reza, sekadar untuk mencari pembanding?

Belum juga kekesalannya menghilang, Enggar meraih kue yang akan digigitnya dan mencaploknya sampai mulutnya penuh. Bola mata Miranda melebar dibuatnya. Umpatan sudah merangkak naik dari dalam perut.

“A… ku la… par,” kata Enggar di sela-sela kunyahan. Nyam… nyam… nyam. “A… ku… nggak… ke... kan… tin so… al… nya… u… ang sa… ku… ku ke… ting… ga… lan di… rumah,” tandasnya, berbarengan dengan lumatan geliginya.

Tiba-tiba Enggar mendelik dan memukul-mukul lengan Miranda sambil memegangi tenggorokannya.

“Jangan bilang kamu ketempelan jin pemakan kue orang,” kata Miranda sambil menghindari tepakan ringan yang berubah menjadi tinjuan.

“Minta air, bego!”

Lekas, Miranda meraih botol air minum yang dibawa dan disembunyikannya di dalam tas, kemudian menyodorkan dan membantu mengurut punggung teman satu bangkunya itu supaya klep antara jalan napas dan jalan makan segera terpisah kembali.

Begitu Enggar bisa bernapas lega, Miranda juga ikut-ikutan menghela napas panjang.

Mereka membisu, mencoba mencerna situasi.

“Kalau lihat di Instagram atau Youtube, harusnya kamu nggak kasih aku minum, tapi langsung kasih metode Manuver Hail… Heil… Heim… apalah itu namanya, aku lupa. Yang aku harus berdiri, terus dari belakang kamu peluk pinggangku sampai lenganmu itu melingkar. Terus, kamu kepalkan satu tangan tepat di tengah perut lalu tekan sampai keluar sendiri yang bikin orang itu tersedak. Untuk kasusku, kue kerasmu tadi. Duh, bego banget jadi orang!”

Miranda tidak memercayai pendengarannya. Dia sampai terdiam dan mengerjap beberapa kali, sebelum memilih bereaksi. “Memangnya siapa tadi yang bego minta air?”

Begitu mendengarnya, Enggar pura-pura tidak tuli. “Near death experience banget hari ini,” dia berceloteh, karena setelah mengatakannya, Enggar tertawa. Lebih tepatnya, mentertawakan kebodohannya sendiri. “Pasti kamu nggak ikhlas kasih kuenya,” ditatapnya Miranda dengan picingan begitu menoleh.

“Menurutmu?”

“Iya.”

“Aku malah lebih takut kamu ketempelan daripada mati tersedak.”

“Setan!”

Mereka tergelak dan saling memukul pelan bahu masing-masing. Keduanya tidak lagi peduli beberapa pasang mata terarah dan mengumpat dalam hati: Berisik!

Karena jam istirahat hampir berakhir, teman-teman mereka mulai merengsek masuk ke kelas.

Kegiatan tawa Miranda dan Enggar baru terhenti ketika serombongan Wine masuk ke kelas dengan tawa mengalahkan gelak kedua orang itu. Semua mata tertuju ke gerombolan Wine, tetapi jelas tidak ada tatapan menghakimi. Lagi-lagi, orang cantik mah, bebas.

Lihat selengkapnya