Lompat Kelas

heriwidianto
Chapter #13

Tiga Belas

Di teras rumah, Moko berswafoto mulai dari gaya biasa, bibir dimonyongkan, sampai galeri foto ponsel pintarnya hampir penuh. Moko seolah sedang balas dendam karena memiliki kamera ponsel lawas dan butut telah merenggut cita-citanya menjadi seorang model karena tidak bisa tampil. Ya, benar. Seorang model. Sriatun terbahak ketika suaminya itu memberi tahu. Sriatun merasa Moko tidak memiliki potongan model. Tampak buluk, bahkan sehabis mandi. Selepas mendengar kejujuran itu, Moko mutung, tidak berminat menanggapi omongan Sriatun barang sekecap. Dia mogok bicara, berkeliaran di teras dengan rokok dan ponsel bututnya. Moko baru mau bicara lagi setelah perutnya keroncongan dan Sriatun meneriakinya untuk makan malam. Rasa jengkel yang meluap-luap sebelumnya mendadak landai ketika Moko menyeret langkahnya menuju meja makan. Dia telan harga dirinya.

Selesai berswafoto tanpa satu pun diunggah ke sosial media, Moko kembali memantik rokok yang sedari tadi menganggur di jepitan jari telunjuk dan jempol. Sembari melamun dan mengembuskan asap rokok melalui hidung, Moko tidak menyadari sepasang mata mengawasi sedari tadi. Sepertinya dia terlalu sibuk memikirkan banyak hal, terutama soal pekerjaan. Sebab, sejujurnya ada perasaan sungkan setiap kali melihat istrinya dan mengingat belum menyumbang sepeser pun uang untuk kebutuhan rumah tangga. Moko bahkan berani menilep uang kembalian belanja di mal semalam untuk membeli kopi dan rokok pagi tadi. Sungguh luar biasa susahnya menjadi kepala keluarga, keluh Moko dalam hati.

“Mas Moko Ndoni,” seseorang memanggilnya. Matanya yang jail, berkedip-kedip sembari lidahnya memulas bibir seolah sedang menggoda.

Bola mata Moko menyasar ke segala arah sebelum menemukan kepala dengan potongan rambut cepak menyembul dari balik pagar tanaman beluntas, sembari memamerkan gigi-giginya yang mulai menguning akibat tempaan kafein dan nikotin.

“Matamu!”

Bukannya marah atau balas memaki, Bandi tergelak sembari melangkah mendekat. “Lagi ngitung dapat bagian berapa juta dari warisan Yu Sri, ya? Atau, sama sekali nggak dapat uangnya makanya melamun?” tebaknya usil.

Moko menggeram, jengkel.

“Sudah bisa dipastikan nggak dapat apa-apa ya, Mas?” Bandi kembali tertawa. Namun, dia tidak berlari lintang pukang menghindari tepakan atau pukulan Moko usai mengatakannya, melainkan memilih duduk di sebelah tetangganya itu. “Damai ya, Mas,” katanya setelah tawanya kering.

“Damai, damai. Gampang banget ngomongnya. Gara-gara cangkem-mu itu juga, aku dimarahi habis-habisan sama Sri.” Moko menjeda kalimatnya sambil mengembuskan asap rokok. “Soalnya Ibukmu pagi tadi ke rumah, mau ngutang duit, padahal kita belum pegang duit warisannya.”

“Ibukku?”

“Ah, sudahlah. Aku mau tenang merokok. Nggak mau diganggu. Ndasku mumet!” tandasnya.

“Aku temani ya, Mas. Tapi minta sebatang rokokmu dulu, yo. Soalnya lagi nggak punya duit.”

“Kere!” sambil memaki, Moko tetap menyodorkan bungkus rokok dan geretan miliknya. Bandi menerimanya dengan suka cita. Mereka kemudian melanjutkan kegiatan siang itu sambil sesekali menghela napas panjang, mengembuskan asap rokok dari hidung setelah menyedotnya lambat-lambat, lalu membayangkan seperti apa hidup ini akan berjalan.

Mereka meraih sebatang rokok dan memantiknya kembali, kemudian mengulanginya lagi dengan penuh penghayatan, sesekali dengan memejam.

“Ah, aku mau narik dulu,” kata Bandi tiba-tiba usai menggilas puntung rokok yang masih membara menggunakan sandal jepit.

“Narik apa?” tanya Moko ketika Bandi hendak berdiri.

“Ojek daring, Mas. Buat tambahan setoran ke Ibuk. Akhir-akhir ini kebutuhan lagi banyak. Gajiku belum cukup buat nanggung kebutuhan Ibuk dan Adikku.”

“Suaminya suruh nanggung kebutuhan adikmu.”

Lihat selengkapnya