Membonceng Bandi, benak Moko berlari-larian. Bukan karena akan diturunkan di depan gang dan Bandi melanjutkan mengojek. Bukan pula karena belum memiliki sepeda motor untuk dikendarainya mengojek, melainkan atas ucapan Pak Kaji setelah menebak masa depannya dengan asal. Membawa petaka? Jangan bercanda!
“Tadi aku tidak sedang bercanda,” ucap Pak Kaji dengan nada santai, lalu meminta kedua orang itu mengekorinya mengelilingi kolam ikan. Bagai centeng, mereka beradu lirik ketika beberapa orang mendatangi Pak Kaji seperti menginginkan berkah darinya dengan cara mencium punggung tangannya, sebelum berlalu dan melanjutkan kegiatan. “Nak Moko pasti bingung, kenapa orang-orang mencium punggung tanganku. Betul?”
Moko mengangguk.
“Karena aku bisa membaca masa depan, jadi mereka menghormatiku,” sambung Pak Kaji dengan raut datar. “Termasuk masa depanmu.”
Selepas Moko mengembuskan napas pendek dan mengaduk isi benaknya untuk mencari kalimat yang tepat sebelum membalas, tiba-tiba di atas kepalanya seakan muncul bohlam menyala setelah jarinya menjentik. “Boleh nggak, kita percaya ke orang yang bisa baca masa depan kita, tapi yang baik-baiknya saja.” Ide lain lagi muncul. “Kira-kira, ada kebaikan apa di masa depan saya, Pak Kaji?” tantangnya. “Kan, di dunia ini harus ada yang baik dan buruk supaya imbang.”
Pak Kaji berhenti melangkah, kemudian berbalik badan. Setelah tampak berpikir sejenak sambil memandangi Moko, dia menggeleng kecil. “Kecuali kamu mau melunturkan egomu, maka jalanmu akan kembali terang.”
“Mas!” Bandi memanggil dengan cipratan ludah ke mana-mana dan berhasil mengembalikan Moko dari lamunan. “Turun sini saja, ya,” katanya setelah menepikan sepeda motor. “Tinggal nyeberang aja, daripada aku putar balik. Jauh!”
Moko mengangguk dan turun dari sepeda motor.
Sebelum Bandi berlalu, dia berkata, “Mas, dulu Pak Kaji juga bilang yang nggak-nggak waktu aku temuin pertama kali. Jadi, omongannya yang tadi nggak usah terlalu dipikirkan.”
Bukannya tenang mendengarnya, Moko malah penasaran. “Memangnya dia bilang apa?”
“Kalau bakalan ada yang ngerepotin aku dengan minta ketemu Pak Kaji dan kemungkinan jadi tukang ojek sainganku.”
Mereka beradu pandang dalam diam. Bola mata Moko kemudian melebar setelah menyadari maksud perkataan Bandi. Sebelum sempat menepak helm atau mengumpati lawan bicaranya itu, Bandi telah berhasil melarikan diri dengan tawa terdengar dari posisi Moko berdiri. Merasa mengumpat dalam hati tidak ada gunanya dan tidak ingin mempermalukan diri sendiri, apalagi jadi tontonan, Moko kemudian melangkah memasuki gang untuk pulang. Dari jauh, dia melihat Santoso sedang duduk sendirian di saung. Sepertinya tengah melamun. Begitu jarak mereka mulai terkikis, pandangan keduanya berakhir segaris. Santoso tersenyum. Moko mengernyit. Tidak biasanya orang itu berlaku demikian.
“Baru pulang, Ko?” tanya Santoso begitu jarak mereka menipis.
“I-iya, Kang.”
Kejanggalan berikutnya adalah Santoso berdiri dari saung dan mendekati Moko. Setelah itu, dia rengkuh pundak Moko dan dengan hangat meminta dan menggiringnya duduk di saung. Dengan grogi dan kebingungan merajai, Moko menurut.
Cukup lama Moko mencoba mencerna situasi, tetapi tidak satu pun penjelasan masuk akal bertandang. Apalagi ketika menoleh, senyum Santoso belum juga luruh. Malahan, bertambah lebar saja cengirannya.
Udara panas Surabaya hari ini menambah kebat-kebit benak Moko. Dia mengingat-ingat kembali telah melakukan kesalahan apa, sehingga pengangguran seperti dirinya disambut sebegitu baiknya.
“Dari tadi di sini sendirian, Kang?” Moko mencoba memutus canggung yang terbentuk dengan bertanya.
“Iya, sengaja nunggu kamu.”
“Nunggu… aku?”
Santoso mengangguk-angguk. “Ada hal penting yang mau aku bagi sama kamu. Soal… bisnis-”