Aroma baju baru samar-samar menepak penciuman Sriatun, bersama aroma lain menyengat—bau got yang meluap lagi semalam. Diulurkannya jari lentiknya ketika menata bahan pokok jualan dan sibuk mengerakkan pergelangan tangannya supaya gelang-gelang emasnya bergemerincing. Sesekali Sriatun menggaruk lehernya yang tidak gatal untuk menunjukkan bahwa kalung emasnya layak untuk dipamerkan. Hanya cuping telinganya yang tidak disematkan anting atau giwang, sebab dia berhijab. Nggak ada gunanya, pikirnya.
Berbeda dengan Sriatun, Mianah kembali ke ke setelan pabrik. Dandanannya sederhana, pakaiannya sederhana, juga tidak ada emas-emasan yang melekat di badan. Sriatun sempat curiga Mianah menjual atau menggadaikan emas-emasnya, tetapi diusirnya pergi pikiran tersebut. Menantunya kan kaya, batinnya.
Dalam diam, ekor mata Mianah seakan mengikuti gerakan tangan Sriatun. Dia mencoba untuk tidak acuh, tetapi kelihatannya sukar. Sesuatu seolah-olah menekan dadanya. Ada perasaan aneh, menggelenyar dari dalam perut terus merangkak naik sampai ke tenggorokan saat melihat sorot perhiasan teman sekaligus saingannya di pasar itu. Dia bisa menebak, emas yang dikenakan Sriatun bukanlah emas imitasi. Dia hanya belum tahu, berapa karat dan berapa juta rupiah wanita itu menggelontorkan uangnya. Uang warisannya.
Basa-basi berserakan sebelum Mianah merasa harus mengurai rasa penasarannya.
“Beli di mana sih, Sri?” Akhirnya, Mianah tidak sanggup lagi menahan tanya di kepalanya.
Pergerakan tangan Sriatun yang sebelumnya lincah, perlahan berhenti ketika kesibukan menimbang kopi bubuk permintaan Mianah menghiasi obrolan mereka sebelumnya. Dia menatap Mianah sejenak sebelum bertanya kembali, “Apanya yang beli di mana, Yu?”
Dagu Mianah mengedik padanya.
“Baju baru atau perhiasanku?” tanya Sriatun asal. Sudut bibirnya sontak terangkat, menatapnya dengan seringai.
“Buat apa aku tanya-tanya bajumu? Ntar kedodoran kalau aku yang pakai,” balas Mianah sengak. “Emasmu itu lho, Sri!”
Bukannya marah, Sriatun malah tergelak dan menggeleng-geleng mendengarnya. Sementara Mianah mengumpatinya dalam hati. Dasar kampung!
“Kemarin pas jalan-jalan ke mal sama anak dan suamiku, kami berniat belanja baju baru, sandal baru, sepatu baru, dan tas baru buat Miranda. Sebelum itu, kami makan ken it ken it apa gitu nyebutnya, yang makanannya pilih-pilih sendiri itu loh, Yu, dimasak-masak sendiri.” Sriatun menjeda kalimatnya, berpikir. “Aku sempat heran ya, Yu. Soalnya pasti mahal kan makanan begitu itu. Tapi, kok kita sendiri yang disuruh masak? Kan, keterlaluan itu namanya. Apa kita ditipu sama mereka, ya-”
“Panjang betul pembukaannya,” Mianah memotong dengan cepat. “Aku kan tanya perhiasanmu belinya di mana? Aku nggak peduli kamu sekeluarga makan di all it all itu, kan, ya? Asal kamu tahu, aku juga pernah makan di sana!”
“Toko Emas Bulan Sabit,” Sriatun lekas membalas, takut kena damprat Mianah jika berani mengisenginya kembali. “Tokonya ada di mal, bukan yang jualan di ujung pasar sini.”
Telak, Mianah membisu. Dia tahu dua tempat yang disebutkan itu. Sesaat, Mianah menyesal telah bertanya.
“Harganya lumayan mahal, Yu,” sambung Sriatun. “Totalnya sekitar… tiga puluh juta-an,” ucapnya dengan rona bahagia.
“Ya, sudah. Agak cepat ya, bungkus kopi pesananku. Soalnya lagi ada tukang di rumah. Lagi renovasi….” Mianah menjeda kalimatnya. Sebuah ide melintas. “Soalnya kan aku mau mantu, jadi rumah harus bersih dan kinclong. Kemarin aku juga habis ganti tivi di rumah. Tivi lamaku kayaknya kecil banget.”
Sriatun bergerak tangkas menyerahkan bubuk kopi Mianah supaya orang itu cepat pergi.
Sembari pamit, Mianah tahu kali ini dialah pemenangnya, meski untuk membeli tivi baru, membeli bahan bangunan dan cat, dan jasa tukang harus mengorbankan cincin, gelang, dan kalungnya untuk sekolah dulu ke teman baiknya yaitu pegadaian. Mianah yakin, Mr. Darsy akan menggantinya berkali-kali lipat. Kelak, dia akan memborong toko emas. Kalau perlu, mengenakan semuanya sekaligus, mulai dari tiara sampai bindi.
Setelah punggung Mianah menghilang di balik kerumun pengunjung pasar, Sriatun kembali sibuk mengurusi pembelinya.
Pasar hari ini ramai. Beberapa tawar menawar belangsung dan membuatnya pusing seperti biasa. Apalagi ada pembeli yang menyerahkan uang seratus ribu sementara belanjaannya tidak lebih dari sepuluh ribu rupiah. Niatnmu tukar uang, ya? tanya Sriatun dalam hati.