Untuk memasuki sekawanan burung gagak dan keluar dari kelompok emprit, Miranda merasa harus melakukan niatnya dengan senorak mungkin. Namun, ada rasa mengganjal dalam hati ketika beberapa pasang mata mengikuti ke mana pun dia pergi. Beberapa kali Miranda sampai harus memeriksa penampilannya kembali di cermin toilet. Apakah potongan rambut baru sepundaknya masih cetar membahana? Apakah seragam barunya masih rapi atau kusut? Sampai dengan sepatu hitamnya apakah sudah terkena debu atau masih kinclong? Ketika selama sepuluh menit itu teman-teman sekolahnya bergantian keluar masuk toilet, selama itu pula Miranda terpaku di depan cermin. Ingin rasanya dia pulang dan berganti seragam lama, kemudian berlaku seperti Miranda yang kemarin, kemarin lusa, atau sebelum-sebelumnya. Namun, suara dari lorong hatinya berkata bahwa kita akan merasa gamang ketika hendak memutuskan sesuatu ke arah kemajuan. Miranda terus menimbang-nimbang.
Jika bukan karena Enggar yang mencari sampai ke toilet dan menemukannya sedang mematung—kebingungan memilih bolos sekolah atau tetap melanjutkan niatnya—mungkin Miranda akan memilih kabur saja.
Setelahnya, mereka kembali ke kelas tanpa saling mengobrol.
Ketika kedua siswi itu hendak masuk kelas, Miranda dan Enggar terpaku sejenak di ambang pintu, saling beradu tatap. Di bangku mereka, Wine seperti sedang menunggu kedatangan pemiliknya. Saat Wine melambaikan tangan dan memasang senyum, perasaan Miranda tak keruan. Dia kegirangan, tetapi hanya bisa menumpahkannya dalam hati. Sedangkan Enggar, mengernyit, curiga.
“Enggar, aku pinjam kursimu dulu, ya, mau ada urusan sebentar sama Miranda. Penting. Soal pekerjaan rumah,” Wine langsung mem-fetakompli setelah Miranda dan Enggar berjalan mendekat.
Kernyit di dahi Enggar bertambah dalam. “Terus, aku duduk di mana?”
“Kamu bisa duduk sementara di bangku Wine. Nanti kalau sudah selesai urusannya denganku, kamu balik lagi ke sini,” Miranda lancang menimpali, seperti juru bicara Wine.
Enggar mendengkus, tampak tidak senang, “Kenapa kalian nggak ke bangkunya Wine saja? Kan, lebih nyaman daripada ganggu orang lain?” dan tidak ambil pusing ketika mengatakannya.
Miranda memperhatikan Wine sebentar, sebelum menelaah ide Enggar. Akan tetapi, Wine sudah lebih dulu menimpali, “Sebentar saja, Enggar. Please, soalnya kakiku masih agak ngilu buat jalan. Tadi habis jatuh pas di rumah.”
“Kok bisa?” Miranda terenyuh, lalu mendekat untuk memberi dukungan supaya Wine kuat.
“Iya, gara-gara lantai basah,” Wine menerangkan sekilas.
Karena tidak menyukai idenya, tetapi harus mengedepankan menjadi orang baik, mau tidak mau Enggar menuruti permintaan Wine untuk menyingkir sementara. Dia pergi dengan mengentakkan kakinya. Setelah itu, Miranda duduk di sebelah Wine dengan jantung berdebar, sebab bisa sebangku dengan idolanya meskipun sementara.
“Aku pinjam PR-mu dulu ya, Mir,” kata Wine usai Miranda menempelkan pantatnya di tempat duduknya.
Miranda mengangguk-angguk, bersemangat.
“Memangnya kejadiannya di mana? Di kamar mandi?” seperti tidak ingin melewatkan mengobrol dengan idolanya, Miranda mencoba mencari pokok obrolan.
“Aku tadi bohong soal jatuh,” ujar Wine santai sambil meletakkan jarinya di depan bibir dan melirik ke arah Enggar, kemudian melanjutkan kesibukannya menyalin jawaban. “Soalnya kalau nggak begitu, Enggar nggak akan mau geser.”
“Kita kan bisa ke bangkumu? Persis yang diomongin Enggar tadi.”
Sebentar kemudian, Wine menghentikan kegiatannya. Dia lalu menatap Miranda cukup intens sebelum membalas, “Aku nggak pernah kalah atau mengalah dalam hal apa pun ya, Mir! Jadi, mau nggak mau, Enggar memang harus pindah tadi. Kalau nggak, aku bisa be-te seharian.”
Bukannya terganggu dengan pemikiran Wine, Miranda malah salut. Wine kok bisa keren begini, batinnya memuji, lalu mengakhirinya dengan decakan.
“Ada apa?” Wine masih memandangi Miranda. Namun kali ini dengan raut jengkel, usai mendengar decakan.
“Eh, bukan apa-apa, Win.” Miranda memutar otak, mencari jawaban yang tepat. “Menurutku, kamu itu… keren banget anaknya.”
Kedua sudut bibir Wine terangkat naik. Dikibaskannya rambut panjangnya yang berkilau dan dengan jemawa berkata, “Wine gitu, lho. Cewek tercantik se-sekolahan.” Hampir secara bersamaan mereka tergelak. Namun, tawa keduanya berangsur surut dan Wine-lah yang menghentikan tawanya duluan. Dia tidak juga segera kembali mengerjakan pekerjaan rumah yang ditekurinya beberapa menit lalu. Kedua alisnya kini bertaut, menatap lekat lawan bicaranya, “Rambut kamu baru, ya? Kelihatan fresh. Pipimu jadi kelihatan berisi,” kemudian mengamati penampilan Miranda secara intens. “Kamu juga beda sekarang. Lebih menarik. Ah, kamu rombak seragammu, ya?” tebaknya dan mengakhirinya dengan kerlingan.